Purbaya, Utang Whoosh, dan Drama APBN: Ketika logika publik diuji dengan kalkulator BUMN

- Penulis

Sabtu, 11 Oktober 2025 - 06:17

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Spread the love

Jakarta, Majalahjakarta.com – Ketegasan Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa menolak pembiayaan utang proyek kereta cepat Whoosh lewat APBN membuka babak baru dalam drama panjang relasi negara dan perusahaan pelat merah. Di satu sisi, ia ingin menjaga disiplin fiskal; di sisi lain, publik menatap sinis: bukankah selama ini, setiap kali rugi, APBN juga yang jadi “pahlawan terakhir”?

Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa menolak dengan nada datar tapi berapi-api: utang proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung bukan urusan APBN. Tanggung jawab itu, tegasnya, berada di tangan Danantara, entitas holding BUMN yang seharusnya sudah cukup makmur dengan dividen Rp80 triliun per tahun. Satu kalimatnya memotong ilusi lama: “Kalau untung dinikmati swasta, kalau rugi minta diselamatkan negara.”

Begitulah wajah sinis kapitalisme bercampur sosialisme khas negeri ini. Ketika proyek strategis nasional mulai kehabisan napas, tiba-tiba muncul usulan agar APBN turun tangan. Namun kali ini, Purbaya memilih berdiri di garis yang jarang diambil pejabat: menolak menjadi dompet darurat bagi manajemen yang salah urus.

ADVERTISEMENT

ads

SCROLL TO RESUME CONTENT

1. Pemecahan Tanggung Jawab yang Tak Pernah Selesai
Purbaya ingin menarik garis batas yang tegas antara uang publik dan uang korporasi negara. Ia tahu, di bawah payung Danantara, berderet nama perusahaan yang gemuk dan berpenghasilan besar—dari energi hingga infrastruktur. Maka logikanya sederhana: jika sudah diberi keleluasaan mengelola, mereka juga harus berani menanggung risiko sendiri.

Namun publik tidak begitu saja percaya. Banyak yang menilai penolakan itu sekadar bentuk “pencucian tanggung jawab fiskal”. Sebab di atas kertas, semua proyek strategis BUMN masih membawa embel-embel “nasional”. Ketika rugi, bukankah rakyat juga ikut rugi? Maka, ketika Purbaya menolak permintaan Danantara, sebagian masyarakat bersorak, sebagian lagi menatap dengan curiga: apakah ini benar soal prinsip, atau sekadar strategi politik fiskal menjelang tahun anggaran baru?

2. Transparansi yang Masih Gelap di Terowongan
Purbaya menegaskan, belum ada komunikasi resmi antara Kemenkeu dan Danantara terkait wacana pembiayaan utang lewat APBN. Tapi publik tahu, isu yang muncul di media bukan tiba-tiba. Seseorang pasti sudah membisikkan sesuatu ke ruang publik. Dari “usulan” yang belum resmi, lahirlah opini yang gaduh.

Dan di sinilah problem klasik muncul lagi: komunikasi ekonomi publik yang selalu setengah hati. Rakyat keburu emosi sebelum data jelas, pejabat buru-buru klarifikasi setelah gaduh. Polanya berulang seperti jadwal kereta yang telat, tapi tetap disambut dengan tepuk tangan.

3. Paradoks Dividen dan Beban Utang
Di atas kertas, Danantara punya dividen Rp80 triliun per tahun. Tapi pertanyaan muncul: kenapa dana sebesar itu belum cukup untuk menutup utang proyek seperti Whoosh? Di mana saja dana itu dialokasikan selama ini? Apakah untuk proyek baru, gaji direksi, atau sekadar jadi angka manis di laporan tahunan?

Purbaya mengingatkan agar dividen itu dimanfaatkan untuk menyelesaikan utang sendiri, bukan minta belas kasihan APBN. Tapi kalimat itu justru membuka ruang sinisme: kalau dividen benar sebesar itu, mengapa setiap kali proyek macet, rakyat juga yang diminta menanggung beban lewat pajak, tiket mahal, atau subsidi silang? Retorika efisiensi jadi terdengar seperti candaan di tengah rapat anggaran.

Baca Juga:  Kapolri Pimpin Apel Gelar Pasukan Operasi Ketupat 2025 Di Surabaya

4. Warisan Regulasi dan Beban Sejarah
Permasalahan ini tak berdiri sendiri. Dalam Peraturan Menteri Keuangan No. 89 Tahun 2023, pemerintah memang membuka peluang bagi APBN untuk menjamin utang proyek yang mengalami cost overrun. Artinya, pintu sudah pernah dibuka. Kini, Purbaya ingin menutupnya. Masalahnya, sulit menutup pintu yang sudah lama dibuka tanpa mengundang pertanyaan: siapa yang dulu memberi izin?

Penolakan Purbaya, dalam konteks ini, tampak seperti pencabutan hak istimewa yang sudah telanjur dimanfaatkan. Ia ingin mengembalikan tanggung jawab ke ranah korporasi, tapi sistem birokrasi dan regulasi masih menyimpan celah agar negara tetap bisa diseret masuk. Seolah-olah, negara ini tidak pernah benar-benar bisa keluar dari jebakan: “kalau proyek gagal, negara wajib ikut campur.”

5. Politik, Publik, dan Moral Hazard
Dampak politik dari sikap ini tidak kecil. Jika proyek kereta cepat dianggap proyek strategis nasional, menolak keterlibatan APBN bisa dibaca sebagai “pembiaran atas kegagalan negara sendiri.” Tapi jika APBN ikut menanggung, muncul risiko moral hazard: perusahaan merasa bebas berutang karena tahu negara siap menalangi.

Maka, pilihan Purbaya seperti menari di antara dua tebing. Jika ia menyelamatkan proyek, rakyat marah. Jika ia menolak, rakyat curiga. Ujungnya tetap sama: rakyatlah yang akhirnya membayar, entah lewat tiket, pajak, atau inflasi.

6. Sinisme Publik: Dari Meme hingga Sindiran
Reaksi publik di media sosial lebih cepat dari kereta cepat itu sendiri. “Pak Kemenkeu, bukan Jokowi?”, “Suruh bayar Gibran aja”, “Biar tiket kereta mahal sekalian”—komentar-komentar ini menunjukkan tingkat kejenuhan masyarakat terhadap narasi “APBN bisa”. Publik tak lagi percaya pada janji, mereka menuntut bukti bahwa uang negara benar-benar tak akan bocor ke proyek yang salah urus.

Sinisme itu tumbuh dari pengalaman panjang: rakyat sudah terlalu sering jadi juru selamat terakhir. Dari bailout bank sampai penyelamatan BUMN merugi, semua ujungnya satu: pajak rakyat. Maka, ketika Purbaya berkata tegas, sebagian publik hanya mengangkat alis. Kata-kata indah tanpa mekanisme pengawasan hanyalah dekorasi fiskal.

7. Kesimpulan: Tegas, Tapi Akan Diuji Waktu
Purbaya layak diapresiasi karena menegakkan prinsip disiplin fiskal: jangan jadikan APBN tong sampah proyek gagal. Namun perjuangannya baru dimulai. Ia harus memastikan Danantara benar-benar menggunakan dividen untuk menutup utang, bukan menumpuknya di rekening aman tanpa strategi jangka panjang.

Keberaniannya akan diuji bukan di depan kamera, tapi di ruang rapat yang sunyi, tempat angka berbicara tanpa mikrofon. Di sana, publik berharap Purbaya tetap konsisten: tidak tergoda untuk menjadikan APBN “bantalan” demi citra stabilitas. Karena di negeri ini, yang cepat bukan hanya keretanya tapi juga cara proyek bermasalah mencari jalan menuju kas negara.

Dwi Taufan Hidayat

Berita Terkait

Duit Sitaan Koruptor, Ujian Janji Keadilan
Darurat Kedaulatan Ekonomi Indonesia
Mengurai Mitos Kebal Hukum: Ketika Pusat Pengelolaan Komplek Kemayoran (PPK Kemayoran) Dikatakan “Tak Tersentuh”
Rampas Uang, Tutup Mata Korupsi Negara
Pertumbuhan 5 Persen, Tapi Siapa yang Untung?
Pahlawan atau Pengampunan Politik yang Tertunda
UIN Jakarta Kucurkan Rp2,85 Miliar Beasiswa untuk Dosen dan Tendik: Dorong Kualitas SDM dan Layanan Kampus
Jakarta Jadi Kota Kedua Terbanyak Pembeli Jersey Persib
Berita ini 21 kali dibaca
4 1 vote
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

0 Comments
Inline Feedbacks
View all comments

Berita Terkait

Kamis, 6 November 2025 - 04:03

Air Bersih, Upeti, dan Kekacauan Regulasi: Menguliti Polemik PAM JAYA-PPK Kemayoran

Kamis, 6 November 2025 - 03:30

Duit Sitaan Koruptor, Ujian Janji Keadilan

Rabu, 5 November 2025 - 19:27

Darurat Kedaulatan Ekonomi Indonesia

Rabu, 5 November 2025 - 19:03

Mengurai Mitos Kebal Hukum: Ketika Pusat Pengelolaan Komplek Kemayoran (PPK Kemayoran) Dikatakan “Tak Tersentuh”

Rabu, 5 November 2025 - 17:56

Rampas Uang, Tutup Mata Korupsi Negara

Rabu, 5 November 2025 - 17:24

Pahlawan atau Pengampunan Politik yang Tertunda

Selasa, 4 November 2025 - 16:56

Pengamat Hukum Didi Sungkono: Pemimpin yang Ditolak Rakyat Sebaiknya Mundur Secara Ksatria

Selasa, 4 November 2025 - 16:29

UIN Jakarta Kucurkan Rp2,85 Miliar Beasiswa untuk Dosen dan Tendik: Dorong Kualitas SDM dan Layanan Kampus

Berita Terbaru

Hukum

Duit Sitaan Koruptor, Ujian Janji Keadilan

Kamis, 6 Nov 2025 - 03:30

Berita

Darurat Kedaulatan Ekonomi Indonesia

Rabu, 5 Nov 2025 - 19:27

Berita

Rampas Uang, Tutup Mata Korupsi Negara

Rabu, 5 Nov 2025 - 17:56

0
Would love your thoughts, please comment.x
()
x