Kredit Fiktif, Negara Jadi Sandera Bank

- Penulis

Sabtu, 20 September 2025 - 10:41

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Spread the love

Jakarta, Majalahjakarta.com – Pernyataan Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa soal potensi kredit fiktif Rp200 triliun terdengar seperti candaan pahit di ruang rapat yang seharusnya serius. Ia yakin pejabat bank tak akan berani main-main dengan angka sebesar itu. Pertanyaannya: sejak kapan ketakutan jadi benteng terakhir keuangan negara?

Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa mungkin percaya diri ketika menegaskan, “Kalau ketahuan, ditangkap, dipecat!” (CNBC Indonesia, 19 September 2025). Kalimat itu seolah jadi mantra ajaib: cukup ancaman hukum, maka pejabat perbankan otomatis akan lurus-lurus saja. Sayangnya, sejarah panjang kasus perbankan di Indonesia justru menunjukkan, yang lurus itu biasanya cuma garis di papan tulis.

Di atas kertas, Rp200 triliun uang negara tersimpan di lima bank terdengar aman. Namun, KPK memberi peringatan keras soal potensi kredit fiktif. Artinya, uang itu bisa saja berubah jadi kertas kosong bersampul rapi. Kecurigaan ini bukan tanpa alasan. Kasus BLBI, Century, hingga Jiwasraya jadi pengingat bahwa dalam dunia keuangan nasional, angka nol bisa lebih licin dari belut. (Kompas, 18 September 2025).

ADVERTISEMENT

ads

SCROLL TO RESUME CONTENT

Kekhawatiran publik bukannya tanpa dasar. Netizen menyoroti bahwa masalah sebenarnya bukan pada angka besar Rp200 triliun, tapi pada praktik kecil-kecilan yang justru sulit terdeteksi. Kredit Usaha Rakyat (KUR) misalnya. Plafonnya sering habis, lalu “diguyur” lagi, dan entah bagaimana, sebagian bisa menguap lewat permainan pegawai bank. (Detik, 17 September 2025).

Jika kredit besar bisa menarik sorotan, maka kredit kecil sering lolos radar. Inilah yang disebut netizen sebagai “kredit kecil tapi banyak, jadi gak kelihatan.” Ironisnya, yang kecil justru berbahaya karena menumpuk dan sulit diawasi. Bagi rakyat kecil, angka jutaan rupiah bisa jadi nyawa usaha. Tapi bagi bank nakal, itu hanya batu bata untuk membangun istana fiktif. (Tempo, 16 September 2025).

Respons Menkeu terkesan simplistis. Seolah-olah, solusi paling ampuh menghadapi potensi korupsi perbankan adalah ancaman pidana. Padahal, hukum di negeri ini bukan hanya soal pasal, tapi juga soal siapa yang berani menegakkannya. Jika aparat hukum bisa dinegosiasi, ancaman pidana hanya jadi hiasan buku undang-undang. (CNN Indonesia, 15 September 2025).

Sementara itu, di balik layar, para pengusaha mengeluh tentang iklim usaha yang makin sumpek. Mereka menilai pemerintah terlalu fokus mendorong ekspansi kredit, tanpa memperbaiki fondasi ekonomi. Hasilnya? Kredit macet makin berisiko. Bagi rakyat, ini bukan sekadar teori makroekonomi, tapi kenyataan pahit yang dirasakan ketika cicilan menjerat leher. (Bisnis Indonesia, 14 September 2025).

Dalam konteks ini, komentar Purbaya yang menekankan “apa mereka berani” terdengar naif. Sejak kapan koruptor berhitung keberanian? Mereka justru piawai menjadikan ketakutan sebagai komoditas: takut kehilangan jabatan, takut kehilangan muka, bahkan takut kehilangan aliran dana. Dan jika Rp200 triliun itu memang bisa dimainkan, percayalah, akan selalu ada yang cukup “berani” untuk mencobanya. (Republika, 13 September 2025).

Baca Juga:  Tradisi Mundur Pejabat, Seaneh Hujan Es di Musim Kemarau

Skeptisisme publik juga berakar pada pengalaman panjang. Kasus-kasus besar selalu berujung pada satu pola: pejabat tinggi melenggang, pegawai kecil jadi tumbal. Dalam setiap skandal, ada orang-orang yang “dipetik” untuk menunjukkan keseriusan penegakan hukum, tapi jarang sekali yang benar-benar menyentuh lingkaran inti kekuasaan. (Kompas, 12 September 2025).

Lalu, apakah Menkeu sungguh yakin bahwa “ditangkap, dipecat” akan jadi tameng Rp200 triliun? Atau ini hanya bagian dari retorika klasik pejabat: melempar ancaman sambil berharap publik percaya bahwa negara masih berdaulat atas uangnya sendiri? Kenyataannya, rakyat sudah terlalu sering melihat uang negara berubah jadi kisah duka, bukan cerita sukses. (Detik, 11 September 2025).

Ada ironi di sini. Pemerintah menggembar-gemborkan KUR sebagai jalan keluar bagi usaha mikro, kecil, dan menengah. Tapi di sisi lain, kredit itu juga jadi celah permainan kotor di tingkat operasional bank. Target ekspansi kredit sering dipaksakan, seolah pertumbuhan bisa dipacu dengan menekan pedal gas tanpa rem. Padahal, di balik angka pertumbuhan, ada tumpukan risiko kredit macet yang siap meledak. (CNBC Indonesia, 10 September 2025).

Sinisme publik pun makin sulit dibendung. Di media sosial, komentar miring bermunculan: “Kalau uang rakyat hilang, selalu ada alasan. Tapi kalau rakyat telat bayar cicilan, tidak ada ampun.” Ungkapan ini bukan sekadar keluhan, tapi potret nyata ketimpangan relasi antara negara, bank, dan rakyat kecil. (Tempo, 9 September 2025).

Pertanyaan yang tersisa: apakah kita masih bisa percaya bahwa uang negara aman di bank-bank itu? Atau sebaliknya, kita sedang menyaksikan bab awal dari drama panjang yang akan berakhir dengan headline: “Skandal Rp200 Triliun, Siapa Tersangka?”

Dan kalau benar itu yang terjadi, jangan kaget bila pejabat kembali berkata dengan enteng: “Kalau ketahuan, ditangkap, dipecat.” Karena dalam kamus politik kita, kata “ketahuan” adalah pintu yang sangat sempit. Selama belum ketahuan, uang negara tetap bisa berubah wujud dari angka di neraca jadi dongeng di berita utama.

Analisis Sinis: Relasi KPK–Pemerintah–Bank

KPK dalam kasus ini tampil seperti satpam yang rajin bersiul, tapi tangannya diikat. Peringatan soal potensi kredit fiktif Rp200 triliun terdengar keras, namun semua orang tahu, keberanian KPK kerap berakhir di meja politik. Pemerintah, melalui Menkeu, memilih gaya optimistis atau lebih tepatnya, menutup mata dengan harapan masalah selesai sendiri.

Bank, di sisi lain, tetap tenang di kursi empuknya. Mereka tahu, selama negara butuh stabilitas keuangan, keberadaan bank selalu akan dianggap vital. Dengan posisi itu, bank menjadi “too big to jail” terlalu penting untuk disentuh, apalagi dihukum.

Relasi tiga serangkai ini ibarat drama klasik: KPK jadi aktor pendukung yang vokal, pemerintah jadi narator yang gemar meredam, sementara bank adalah pemeran utama yang jarang tersentuh kamera. Sinisnya, rakyat selalu diposisikan sebagai penonton setia dipaksa membeli tiket, tapi tak pernah ikut menentukan alur cerita. (Dwi TH)

Berita Terkait

Duit Sitaan Koruptor, Ujian Janji Keadilan
Darurat Kedaulatan Ekonomi Indonesia
Rampas Uang, Tutup Mata Korupsi Negara
Pertumbuhan 5 Persen, Tapi Siapa yang Untung?
Pahlawan atau Pengampunan Politik yang Tertunda
Status DKI Berubah Menjadi DKJ Arah Kebijakan Hukum Publik Jakarta Utara
Kebijakan Pelabuhan Dimata Hukum DKJ Di Jakarta Utara
Jalan Licin di Balik Janji Pembangunan Riau
Berita ini 9 kali dibaca
4 1 vote
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

0 Comments
Inline Feedbacks
View all comments

Berita Terkait

Kamis, 6 November 2025 - 04:03

Air Bersih, Upeti, dan Kekacauan Regulasi: Menguliti Polemik PAM JAYA-PPK Kemayoran

Kamis, 6 November 2025 - 03:30

Duit Sitaan Koruptor, Ujian Janji Keadilan

Rabu, 5 November 2025 - 19:27

Darurat Kedaulatan Ekonomi Indonesia

Rabu, 5 November 2025 - 19:03

Mengurai Mitos Kebal Hukum: Ketika Pusat Pengelolaan Komplek Kemayoran (PPK Kemayoran) Dikatakan “Tak Tersentuh”

Rabu, 5 November 2025 - 17:56

Rampas Uang, Tutup Mata Korupsi Negara

Rabu, 5 November 2025 - 17:24

Pahlawan atau Pengampunan Politik yang Tertunda

Selasa, 4 November 2025 - 16:56

Pengamat Hukum Didi Sungkono: Pemimpin yang Ditolak Rakyat Sebaiknya Mundur Secara Ksatria

Selasa, 4 November 2025 - 16:29

UIN Jakarta Kucurkan Rp2,85 Miliar Beasiswa untuk Dosen dan Tendik: Dorong Kualitas SDM dan Layanan Kampus

Berita Terbaru

Hukum

Duit Sitaan Koruptor, Ujian Janji Keadilan

Kamis, 6 Nov 2025 - 03:30

Berita

Darurat Kedaulatan Ekonomi Indonesia

Rabu, 5 Nov 2025 - 19:27

Berita

Rampas Uang, Tutup Mata Korupsi Negara

Rabu, 5 Nov 2025 - 17:56

0
Would love your thoughts, please comment.x
()
x