“Jaksa, Mediasi, dan Korupsi: Batas Tipis Antara Restorasi dan Kompromi”

- Penulis

Rabu, 27 Agustus 2025 - 20:26

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Spread the love

M-J. Jakarta – Dewan Pimpinan Pusat Peduli Nusantara Tunggal (PPNT) Jakarta menyoroti langkah Jaksa Pengacara Negara Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat yang memilih jalur mediasi dalam kasus dugaan korupsi kredit fiktif Bank DKI tahun 2012. Korupsi yang notabene adalah extraordinary crime justru diperlakukan dengan mekanisme yang cenderung “menggampangkan”-alih-alih diproses tegas di meja hijau, malah dibawa ke meja damai dengan alasan keadilan restoratif. Jika korupsi yang telah menggerogoti keuangan negara bisa dinegosiasikan, lalu di mana letak efek jera? Apakah ini wajah baru penegakan hukum kita-yang lebih ramah kepada pelaku, tapi abai terhadap rasa keadilan publik?

Dasar Hukum Mediasi Penal dan Keadilan Restoratif
Konsep mediasi dalam ranah penegakan hukum bukanlah wacana liar tanpa pijakan. Kejaksaan, melalui Peraturan Jaksa Agung (Perja) Nomor 15 Tahun 2020, secara eksplisit mengatur mekanisme penyelesaian perkara melalui jalur keadilan restoratif. Tujuannya: mencari solusi damai yang memulihkan kerugian tanpa selalu mengandalkan jalur pidana formal.

Namun, di sinilah persoalan krusialnya. Keadilan restoratif yang sejatinya didesain untuk kasus-kasus tertentu berpotensi menjadi “karpet merah” bagi kejahatan luar biasa jika diterapkan tanpa batasan yang ketat-termasuk dalam kasus korupsi yang jelas-jelas merugikan negara.

ADVERTISEMENT

ads

SCROLL TO RESUME CONTENT

Peran Jaksa Pengacara Negara (JPN)
Secara normatif, Jaksa Pengacara Negara memiliki mandat melakukan tindakan hukum di luar pengadilan demi kepentingan negara-termasuk mediasi-tetapi mandat itu lebih ditekankan pada ranah perdata dan tata usaha negara. Ketika fungsi tersebut merambah ke wilayah tindak pidana korupsi, publik patut bertanya: apakah ini inovasi penegakan hukum atau justru “jalan pintas” yang mengaburkan esensi pemidanaan?

Baca Juga:  “Antara Legalitas dan Kepastian Hukum: Ketika SHM Masih Bisa Dibatalkan di PTUN”

Kasus Korupsi dan Kontroversi Mediasi
Korupsi bukanlah kejahatan biasa. Ia adalah tindak pidana berat yang merampas hak publik, menggerogoti keuangan negara, dan melemahkan fondasi keadilan. Oleh karena itu, penegakannya semestinya tetap ditempuh melalui jalur pidana yang tegas, demi menghadirkan efek jera nyata bagi pelakunya dan keadilan substantif bagi masyarakat.

Namun, celah interpretasi hukum kembali terbuka ketika jaksa mulai mengusung pendekatan keadilan restoratif dengan dalih mengembalikan kerugian negara. Di sinilah garis batas menjadi kabur: apakah keadilan restoratif dalam konteks korupsi adalah inovasi penegakan hukum atau justru pintu kompromi yang berpotensi menggerus makna penghukuman?

Berbeda dengan mediasi dalam perkara perdata yang memang bertumpu pada kesepakatan antar pihak, penerapan keadilan restoratif pada kasus korupsi hanya dapat dilakukan dalam kondisi yang sangat ketat sesuai peraturan perundang-undangan. Jika prinsip ini disalahartikan, publik berhak khawatir bahwa ruang “damai-damai saja” bisa menjadi tameng bagi kejahatan yang seharusnya diproses hingga tuntas di pengadilan.

Mediasi Bukan Jalan Pintas Penghapus Dosa Pidana
Mediasi dalam kerangka keadilan restoratif tidaklah dimaksudkan sebagai pengganti proses pidana. Ia hanya berperan sebagai jalur alternatif atau pelengkap yang dirancang untuk mencapai penyelesaian yang lebih berkeadilan, khususnya dalam konteks pemulihan kerugian negara.

Namun, di sinilah garis kritisnya: ketika mediasi dijadikan tameng untuk meredam kasus besar, bukankah hal itu justru menciptakan persepsi publik bahwa keadilan bisa dinegosiasikan? Keadilan restoratif seharusnya menjadi instrumen korektif, bukan karpet merah yang menghaluskan jalan para pelaku tindak pidana berat untuk lolos dari jeratan hukum yang seharusnya tegas.

Arthur Noija SH

Berita Terkait

Air Bersih, Upeti, dan Kekacauan Regulasi: Menguliti Polemik PAM JAYA-PPK Kemayoran
Duit Sitaan Koruptor, Ujian Janji Keadilan
Darurat Kedaulatan Ekonomi Indonesia
Mengurai Mitos Kebal Hukum: Ketika Pusat Pengelolaan Komplek Kemayoran (PPK Kemayoran) Dikatakan “Tak Tersentuh”
Rampas Uang, Tutup Mata Korupsi Negara
Pertumbuhan 5 Persen, Tapi Siapa yang Untung?
Pahlawan atau Pengampunan Politik yang Tertunda
Marak Debitur Dijerat Pasal Penggelapan Objek Fidusia, Pakar Hukum: “Jangan Campur Urusan Perdata dengan Pidana”
Berita ini 26 kali dibaca

Berita Terkait

Kamis, 6 November 2025 - 04:03

Air Bersih, Upeti, dan Kekacauan Regulasi: Menguliti Polemik PAM JAYA-PPK Kemayoran

Kamis, 6 November 2025 - 03:30

Duit Sitaan Koruptor, Ujian Janji Keadilan

Rabu, 5 November 2025 - 19:27

Darurat Kedaulatan Ekonomi Indonesia

Rabu, 5 November 2025 - 19:03

Mengurai Mitos Kebal Hukum: Ketika Pusat Pengelolaan Komplek Kemayoran (PPK Kemayoran) Dikatakan “Tak Tersentuh”

Rabu, 5 November 2025 - 17:56

Rampas Uang, Tutup Mata Korupsi Negara

Rabu, 5 November 2025 - 17:24

Pahlawan atau Pengampunan Politik yang Tertunda

Selasa, 4 November 2025 - 16:56

Pengamat Hukum Didi Sungkono: Pemimpin yang Ditolak Rakyat Sebaiknya Mundur Secara Ksatria

Selasa, 4 November 2025 - 16:29

UIN Jakarta Kucurkan Rp2,85 Miliar Beasiswa untuk Dosen dan Tendik: Dorong Kualitas SDM dan Layanan Kampus

Berita Terbaru

Hukum

Duit Sitaan Koruptor, Ujian Janji Keadilan

Kamis, 6 Nov 2025 - 03:30

Berita

Darurat Kedaulatan Ekonomi Indonesia

Rabu, 5 Nov 2025 - 19:27

Berita

Rampas Uang, Tutup Mata Korupsi Negara

Rabu, 5 Nov 2025 - 17:56

0
Would love your thoughts, please comment.x
()
x