M-J. Jakarta – Dewan Pimpinan Pusat Peduli Nusantara Tunggal (PPNT) Jakarta menyoroti langkah Jaksa Pengacara Negara Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat yang memilih jalur mediasi dalam kasus dugaan korupsi kredit fiktif Bank DKI tahun 2012. Korupsi yang notabene adalah extraordinary crime justru diperlakukan dengan mekanisme yang cenderung “menggampangkan”-alih-alih diproses tegas di meja hijau, malah dibawa ke meja damai dengan alasan keadilan restoratif. Jika korupsi yang telah menggerogoti keuangan negara bisa dinegosiasikan, lalu di mana letak efek jera? Apakah ini wajah baru penegakan hukum kita-yang lebih ramah kepada pelaku, tapi abai terhadap rasa keadilan publik?
Dasar Hukum Mediasi Penal dan Keadilan Restoratif
Konsep mediasi dalam ranah penegakan hukum bukanlah wacana liar tanpa pijakan. Kejaksaan, melalui Peraturan Jaksa Agung (Perja) Nomor 15 Tahun 2020, secara eksplisit mengatur mekanisme penyelesaian perkara melalui jalur keadilan restoratif. Tujuannya: mencari solusi damai yang memulihkan kerugian tanpa selalu mengandalkan jalur pidana formal.
Namun, di sinilah persoalan krusialnya. Keadilan restoratif yang sejatinya didesain untuk kasus-kasus tertentu berpotensi menjadi “karpet merah” bagi kejahatan luar biasa jika diterapkan tanpa batasan yang ketat-termasuk dalam kasus korupsi yang jelas-jelas merugikan negara.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Peran Jaksa Pengacara Negara (JPN)
Secara normatif, Jaksa Pengacara Negara memiliki mandat melakukan tindakan hukum di luar pengadilan demi kepentingan negara-termasuk mediasi-tetapi mandat itu lebih ditekankan pada ranah perdata dan tata usaha negara. Ketika fungsi tersebut merambah ke wilayah tindak pidana korupsi, publik patut bertanya: apakah ini inovasi penegakan hukum atau justru “jalan pintas” yang mengaburkan esensi pemidanaan?
Kasus Korupsi dan Kontroversi Mediasi
Korupsi bukanlah kejahatan biasa. Ia adalah tindak pidana berat yang merampas hak publik, menggerogoti keuangan negara, dan melemahkan fondasi keadilan. Oleh karena itu, penegakannya semestinya tetap ditempuh melalui jalur pidana yang tegas, demi menghadirkan efek jera nyata bagi pelakunya dan keadilan substantif bagi masyarakat.
Namun, celah interpretasi hukum kembali terbuka ketika jaksa mulai mengusung pendekatan keadilan restoratif dengan dalih mengembalikan kerugian negara. Di sinilah garis batas menjadi kabur: apakah keadilan restoratif dalam konteks korupsi adalah inovasi penegakan hukum atau justru pintu kompromi yang berpotensi menggerus makna penghukuman?
Berbeda dengan mediasi dalam perkara perdata yang memang bertumpu pada kesepakatan antar pihak, penerapan keadilan restoratif pada kasus korupsi hanya dapat dilakukan dalam kondisi yang sangat ketat sesuai peraturan perundang-undangan. Jika prinsip ini disalahartikan, publik berhak khawatir bahwa ruang “damai-damai saja” bisa menjadi tameng bagi kejahatan yang seharusnya diproses hingga tuntas di pengadilan.
Mediasi Bukan Jalan Pintas Penghapus Dosa Pidana
Mediasi dalam kerangka keadilan restoratif tidaklah dimaksudkan sebagai pengganti proses pidana. Ia hanya berperan sebagai jalur alternatif atau pelengkap yang dirancang untuk mencapai penyelesaian yang lebih berkeadilan, khususnya dalam konteks pemulihan kerugian negara.
Namun, di sinilah garis kritisnya: ketika mediasi dijadikan tameng untuk meredam kasus besar, bukankah hal itu justru menciptakan persepsi publik bahwa keadilan bisa dinegosiasikan? Keadilan restoratif seharusnya menjadi instrumen korektif, bukan karpet merah yang menghaluskan jalan para pelaku tindak pidana berat untuk lolos dari jeratan hukum yang seharusnya tegas.
Arthur Noija SH

















