M-J. Jakarta – Di tengah gegap gempita pemberitaan kasus hukum, ada satu instrumen yang jarang benar-benar menjadi sorotan publik, padahal keberadaannya sangat krusial untuk melindungi hak-hak warga negara: Praperadilan.
Dewan Pimpinan Pusat Peduli Nusantara Tunggal (DPP PNT) Jakarta-organisasi yang fokus pada kajian dan advokasi kebijakan publik-menegaskan bahwa Praperadilan bukan sekadar “jalur teknis” di pengadilan, melainkan benteng pertahanan terakhir ketika hak asasi seseorang terancam oleh tindakan sewenang-wenang aparat.
Landasan hukumnya jelas. Diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dan diperkuat oleh Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014, Praperadilan memberi kewenangan kepada Pengadilan Negeri untuk memeriksa dan memutus:
1. Sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penuntutan, penetapan tersangka, penggeledahan, dan penyitaan.
2. Permohonan ganti kerugian dan/atau rehabilitasi bagi seseorang yang perkaranya dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Dalam bahasa sederhana, Praperadilan adalah “ruang darurat” bagi keadilan. Ketika ada warga yang merasa diperlakukan tidak adil-ditangkap tanpa alasan jelas, ditetapkan sebagai tersangka tanpa bukti cukup, atau mengalami penggeledahan yang melanggar prosedur-Praperadilan hadir untuk menguji, bukan membiarkan.
Mekanisme Singkat, Nyawa Panjang bagi Hak Warga
Mekanisme Praperadilan diatur rinci, mulai dari Pasal 82 KUHAP, Putusan MK Nomor 102/PUU-XII/2015, hingga Peraturan Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2016 yang menegaskan sifat pemeriksaannya singkat namun fokus.
Penetapan Hakim
Pemeriksaan dilakukan oleh hakim tunggal karena sifatnya yang cepat dan hanya memeriksa aspek formil. Tujuannya jelas: agar perlindungan hak tidak berlarut-larut di meja sidang.
Penetapan Hari Sidang
Hanya tiga hari sejak permohonan masuk, hakim sudah harus menetapkan hari sidang. Tidak ada alasan birokrasi untuk menunda.
Pemeriksaan
Hakim mendengar kedua belah pihak-pemohon dan pejabat berwenang-untuk memastikan apakah penangkapan, penahanan, atau penetapan tersangka dilakukan sesuai hukum. Pemeriksaan ini hanya menilai formil, yakni keberadaan minimal dua alat bukti yang sah, tanpa menyentuh substansi perkara.
Putusan Cepat
Dalam tujuh hari sejak sidang, putusan harus dijatuhkan. Waktu singkat ini adalah komitmen bahwa keadilan tidak boleh menunggu sampai terlambat.
Lebih dari Sekadar Prosedur
Seringkali publik melihat Praperadilan hanya sebagai “senjata” pengacara untuk membebaskan kliennya. Pandangan ini keliru. Esensi Praperadilan adalah menjaga agar hukum tidak menjadi alat kekuasaan yang semena-mena.
Tanpa mekanisme ini, seseorang bisa saja ditahan berminggu-minggu tanpa bukti cukup, rumahnya digeledah tanpa surat resmi, atau asetnya disita tanpa prosedur. Dalam sejarah hukum Indonesia, kita sudah berkali-kali melihat bagaimana kekuasaan, jika tidak diawasi, cenderung melanggar batas.
Gugurnya Permohonan Praperadilan
Tidak semua perjuangan hukum bisa sampai ke garis akhir. Ada kalanya, langkah yang sudah disiapkan matang harus terhenti sebelum sempat diuji. Begitulah nasib permohonan Praperadilan yang gugur karena perkara pokok sudah lebih dulu disidangkan di pengadilan negeri.
Aturan ini tegas tertuang dalam Pasal 2 ayat (5) Peraturan Mahkamah Agung (Perma) Nomor 4 Tahun 2016 jo. Pasal 82 ayat (1) huruf d KUHAP jo. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 102/PUU-XII/2015. Sederhananya: jika sidang perkara utama sudah dimulai, panggung Praperadilan otomatis ditutup.
Mengapa Bisa Gugur?
Logika hukumnya adalah efisiensi. Praperadilan dirancang sebagai “pemeriksaan pendahuluan” untuk menguji sah atau tidaknya tindakan penegak hukum sebelum kasus masuk ke tahap pemeriksaan materi perkara. Begitu sidang perkara pokok berjalan, fokus pengadilan beralih pada substansi perkara, bukan lagi prosedur awalnya.
Namun, dari kacamata hak asasi, mekanisme gugurnya permohonan ini mengandung dilema. Bagaimana jika penangkapan atau penahanan memang sejak awal cacat hukum, tetapi proses sidang pokok dimajukan hanya untuk “mengamankan” posisi penegak hukum? Potensi ini membuat sebagian kalangan menganggap gugurnya Praperadilan bisa menjadi celah bagi praktik ketidakadilan.
Putusan Praperadilan: Bukan Sekadar Formalitas
Sebelum memahami dampak gugurnya permohonan, kita perlu kembali pada esensi putusan Praperadilan.
Praperadilan adalah upaya hukum yang diajukan oleh pihak yang merasa dirugikan dalam proses peradilan pidana. Putusannya dapat menentukan apakah tindakan aparat-mulai dari penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penuntutan, penetapan tersangka, penggeledahan, hingga penyitaan-dilakukan secara sah atau melanggar hukum.
Dengan kata lain, Praperadilan adalah filter awal untuk memastikan bahwa proses hukum tidak mengorbankan hak warga negara demi sekadar “menangkap” atau “memproses” seseorang.
Dampak Gugurnya Praperadilan bagi Warga
Bagi masyarakat awam, gugurnya permohonan Praperadilan seringkali berarti hilangnya kesempatan emas untuk membuktikan bahwa proses hukum yang dialaminya cacat sejak awal. Tidak sedikit kasus di mana pihak yang merasa haknya dilanggar akhirnya harus menghadapi sidang perkara pokok tanpa sempat menguji legalitas prosedur yang menjeratnya.
Dalam situasi ini, Praperadilan kehilangan fungsinya sebagai garda terdepan perlindungan hukum. Padahal, keberadaannya adalah bentuk komitmen negara bahwa hukum harus dimulai dari proses yang benar, bukan sekadar hasil yang terlihat “adil” di atas kertas.
Putusan Praperadilan: Di Antara Keadilan Prosedural dan Harapan Warga Negara
Bagi sebagian orang, putusan Praperadilan hanyalah sederet pasal yang kaku dan formal. Namun bagi mereka yang pernah berhadapan dengan proses hukum, setiap pasal itu bisa berarti kebebasan, harga diri, bahkan kehidupan yang kembali utuh.
Dalam praktiknya, KUHAP dan Peraturan Mahkamah Agung telah mengatur cukup detail tentang dampak putusan Praperadilan. Setidaknya ada enam poin penting yang patut dipahami publik, bukan hanya pengacara atau aparat penegak hukum.
1. Praperadilan Bisa Diulang di Tahap Berbeda
Putusan Praperadilan pada tahap penyidikan tidak menutup kemungkinan dilakukan kembali di tahap penuntutan-selama ada permintaan baru. Artinya, ruang koreksi prosedur tetap terbuka, karena kesalahan atau pelanggaran prosedural bisa saja terjadi di setiap tahap proses hukum. (Pasal 82 ayat (1) huruf e KUHAP)
2. Jika Penangkapan atau Penahanan Tidak Sah, Bebaskan!
Jika hakim memutuskan bahwa penangkapan atau penahanan tidak sah, penyidik atau jaksa wajib segera membebaskan tersangka. Tidak ada ruang untuk “tunggu besok” atau “nanti sore”. Kecepatan di sini adalah wujud nyata dari keadilan yang berpihak pada hak asasi manusia. (Pasal 82 ayat (3) huruf a KUHAP)
3. Penghentian Penyidikan atau Penuntutan yang Tidak Sah Harus Dilanjutkan
Jika penghentian penyidikan atau penuntutan dinyatakan tidak sah, proses hukum wajib dilanjutkan. Ini mencegah praktik “main tutup kasus” yang bisa merugikan korban dan menggerus kepercayaan publik pada sistem hukum. (Pasal 82 ayat (3) huruf b KUHAP)
4. Ganti Kerugian dan Rehabilitasi: Pemulihan Martabat
Putusan yang menyatakan penangkapan atau penahanan tidak sah harus memuat besaran ganti kerugian dan rehabilitasi. Sebaliknya, jika penghentian penyidikan atau penuntutan dinyatakan sah dan tersangka tidak ditahan, putusan harus mencantumkan rehabilitasi. Ini penting untuk memulihkan nama baik-sesuatu yang seringkali lebih berharga daripada uang. (Pasal 82 ayat (3) huruf c KUHAP)
5. Penetapan Tersangka Bisa Diulang (Jika Bukti Baru Ada)
Putusan yang membatalkan penetapan tersangka tidak menghilangkan kewenangan penyidik untuk menetapkan kembali seseorang sebagai tersangka, asalkan kali ini bukti yang digunakan berbeda dan memenuhi syarat minimal dua alat bukti sah. Di sini terlihat keseimbangan: melindungi hak warga, tapi tetap membuka jalan bagi penegakan hukum yang objektif. (Pasal 2 ayat (3) Perma No. 4/2016)
6. Barang Sitaan yang Tidak Relevan Harus Dikembalikan
Jika hakim memutuskan bahwa barang yang disita tidak termasuk alat bukti, maka barang tersebut wajib dikembalikan kepada pemiliknya. Ini mencegah penyalahgunaan wewenang dalam bentuk penyitaan yang tidak tepat sasaran. (Pasal 82 ayat (3) huruf d KUHAP)
Lebih dari Sekadar Pasal
Jika kita tarik garis besar, poin-poin di atas menunjukkan bahwa Praperadilan bukanlah formalitas hukum. Ia adalah instrumen kontrol yang memastikan proses pidana berjalan adil sejak langkah pertama.
Bayangkan seseorang yang ditahan tanpa bukti kuat, atau rumahnya digeledah tanpa alasan sah, atau hartanya disita tanpa relevansi dengan kasus. Tanpa Praperadilan, semua itu bisa berlalu tanpa koreksi-dan korban hanya bisa menelan pahitnya ketidakadilan.
Kesadaran publik untuk memahami poin-poin putusan Praperadilan adalah kunci. Sebab, hak yang tidak diketahui sama saja dengan hak yang hilang.
Putusan Praperadilan: Final, Mengikat, dan Tanpa Jalan Banding
Bagi sebagian besar perkara di pengadilan, selalu ada “jalur penyelamat” jika pihak yang kalah merasa tidak puas: banding, kasasi, atau peninjauan kembali (PK). Tapi Praperadilan adalah pengecualian. Sekali diputus, pintu untuk menggugatnya kembali tertutup rapat.
Aturannya jelas. Pasal 83 ayat (1) KUHAP jo. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 65/PUU-IX/2011 menegaskan: putusan Praperadilan tidak dapat dimintakan banding. Tidak berhenti di situ, Pasal 45A ayat (2) huruf a Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 jo. UU Nomor 3 Tahun 2009 bahkan menegaskan bahwa terhadap putusan Praperadilan juga tidak dapat diajukan kasasi.
Lalu bagaimana dengan PK? Di sini pun jalannya buntu. Peraturan Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2016 menutup rapat kemungkinan pengajuan peninjauan kembali atas putusan Praperadilan. Pasal 3 ayat (1) menegaskan larangan PK, dan Pasal 3 ayat (2) memerintahkan agar permohonan PK yang diajukan langsung dinyatakan tidak dapat diterima oleh Ketua Pengadilan Negeri-bahkan berkasnya tidak perlu dikirim ke Mahkamah Agung.
Mengapa Tidak Ada Upaya Hukum?
Alasannya adalah sifat Praperadilan itu sendiri: cepat, singkat, dan fokus hanya pada aspek formil. Ia bukan untuk membedah substansi perkara, melainkan untuk menguji prosedur awal penegakan hukum.
Jika dibuka ruang banding atau kasasi, pemeriksaan cepat itu akan kehilangan maknanya. Bayangkan jika sengketa soal sah atau tidaknya penangkapan harus melalui proses banding hingga kasasi-saat putusan keluar, masa penahanannya mungkin sudah selesai dan hak yang hendak dilindungi pun sudah terlanjur dilanggar.
Perspektif Kritis: Cepat, tapi Apakah Selalu Adil?
Meski logika efisiensi ini masuk akal, ada pertanyaan yang sering diajukan oleh para pemerhati hukum: bagaimana jika putusan Praperadilan keliru atau tidak objektif?
Ketiadaan upaya hukum berarti putusan yang salah tetap final. Satu-satunya “perbaikan” adalah jika pihak penyidik mengulang proses penetapan tersangka atau penyitaan dengan bukti baru. Namun, untuk pihak pemohon yang dirugikan, kesempatan mengoreksi putusan nyaris nol.
Di sinilah muncul dilema antara kecepatan dan akurasi. Negara memilih kecepatan demi menjaga efektivitas perlindungan hukum, tapi risikonya adalah tidak semua putusan final itu benar-benar adil.
Pelajaran untuk Publik: Waktu adalah Segalanya
Karena Praperadilan hanya sekali dan final, warga yang hendak mengajukan harus memastikan semua bukti dan argumen disiapkan dengan matang sejak awal. Tidak ada ruang “coba-coba” atau “nanti kita lengkapi di banding”.
Kesadaran ini penting. Banyak permohonan Praperadilan gugur hanya karena kurang bukti atau salah strategi, dan itu berarti kesempatan melindungi hak sudah tertutup selamanya.
Praperadilan adalah instrumen unik dalam hukum acara pidana Indonesia-cepat, final, dan tanpa banding. Ia ibarat pintu darurat: hanya berguna jika kita tahu cara membukanya pada waktu yang tepat.
Keadilan dalam Praperadilan bukan soal panjangnya proses, tetapi ketepatan langkah. Dan untuk itu, publik perlu melek hukum-karena hak yang tidak dimengerti sama saja dengan hak yang hilang.
Arthur Noija SH

















