Tradisi Mundur Pejabat, Seaneh Hujan Es di Musim Kemarau

- Penulis

Selasa, 12 Agustus 2025 - 20:30

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Spread the love

M-J. Jakarta – Di negeri ini, pejabat mundur ibarat unicorn: katanya ada, tapi jarang terlihat di alam bebas. Kalaupun muncul, biasanya karena terpojok kasus atau terjerat skandal. Maka, ketika ada pejabat mundur tanpa drama KPK, tanpa desakan publik, dan tanpa sandiwara pencitraan, reaksinya jelas: publik kaget, pejabat lain keringat dingin.

Senin, 11 Agustus 2025, Joao Angelo De Sousa Mota nama yang lebih mirip striker timnas Portugal daripada pejabat BUMN mengumumkan pengunduran dirinya dari jabatan Direktur Utama Agrinas Pangan Nusantara. Kompas (11/8/2025) menulis ini sebagai kejadian bersejarah: pengunduran diri pertama dari Dirut BUMN di era Prabowo. Sungguh langka. Di negeri kita, yang lebih umum adalah “pejabat lengser setelah dilengserkan” atau “pejabat lengser setelah divonis inkrah”, dan itu pun kadang masih bandel mempertahankan kursi.

Joao hanya enam bulan menjabat sejak 10 Februari 2025. Tidak ada drama pengawalan polisi, tidak ada foto borgol di halaman depan, tidak ada dalih “saya korban politik”. Alasannya? Tidak mendapat dukungan maksimal dari stakeholder. Dalam konferensi pers (Kompas, 11/8/2025), ia membungkuk, meminta maaf kepada presiden, petani, dan rakyat. Mengaku gagal memberi kontribusi. Presiden sudah mau tancap gas, tapi mesin di bawahnya mogok, rem parkir masih terpasang, dan setengah sopir sibuk main ponsel.

ADVERTISEMENT

ads

SCROLL TO RESUME CONTENT

Kalau di negeri ini, alasan seperti itu biasanya malah jadi bahan pembenaran untuk bertahan. Pejabat kita punya logika unik: kalau semua orang nggak mendukung, justru harus tetap bertahan agar “program bisa berjalan”. Terjemahannya: tetap duduk manis sambil membiarkan kapal karam pelan-pelan, selama gajinya masih masuk dan mobil dinas masih kinclong.

Agrinas Pangan Nusantara sendiri punya riwayat absurd. CNN Indonesia (12/8/2025) mencatat BUMN ini lahir dari PT Yodya Karya, perusahaan konstruksi. Logikanya begini: kalau bisa bikin jembatan, pasti bisa bikin sawah. Kalau bisa bangun gedung, pasti bisa bangun lumbung pangan. Ibarat bilang, “Kamu jago bikin mie instan, berarti bisa operasi otak.” Tapi ya, di negeri ini, logika bukan syarat utama pengambilan kebijakan.

Joao punya latar belakang konstruksi dan engineering. Misinya mulia: bikin Indonesia swasembada pangan. Tapi begitu nyemplung, ia menemukan bahwa sawah birokrasi lebih becek daripada sawah padi. Anggaran yang dijanjikan tak kunjung turun, izin berlapis-lapis seperti tumpukan kue lapis legit basi, dan stakeholder lebih sibuk memanen proyek pribadi daripada padi rakyat. Pada titik itu, Joao sadar: bertahan hanya akan menjadikannya patung pajangan indah difoto, tidak berguna di lapangan.

Keputusannya mundur adalah tamparan keras ke wajah budaya politik kita. Di sini, mundur dianggap aib yang harus dihindari seperti utang di warung yang belum dibayar. CNN Indonesia (12/8/2025) melaporkan reaksi publik: ada yang sinis, “Kalau semua pejabat kayak dia, nanti siapa yang mau tanda tangan anggaran?” Ada yang pura-pura prihatin sambil menghitung peluang untuk merebut kursinya.

Baca Juga:  Kota dan Kesenian: Dinamika Estetika dalam Bayang-Bayang Industrialisasi Surabaya

Bagi rakyat, ini tontonan langka. Coba bayangkan jika tradisi ini menular: menteri yang gagal mundur, dirut BUMN yang mangkrak mundur, anggota DPR yang tidur saat sidang mundur. Dalam sebulan, gedung-gedung pemerintahan bisa kosong, rapat kabinet tinggal separuh anggota, dan berita korupsi mingguan bisa menurun drastis. Tapi sayangnya, mundur di negeri ini dianggap penyakit menular yang harus segera diisolasi.

Tempo (12/8/2025) menyebut langkah Joao sebagai preseden baik. Tapi kita tahu, preseden baik di negeri ini biasanya hanya bertahan sebentar, lalu dibantai oleh tradisi buruk yang lebih mapan. Lebih banyak pejabat yang memilih bertahan sampai pensiun bahkan kalau perlu bikin aturan baru biar bisa diperpanjang. Prinsipnya: selama kursi empuk, AC dingin, dan jatah fasilitas ada, kenapa harus mundur?

Mundur itu sederhana di kertas: bikin surat, tanda tangan, serah terima. Tapi di pikiran politisi, ini proses traumatis setara amputasi kaki. Karena mundur artinya melepaskan status, kehilangan akses, dan yang paling menakutkan kehilangan spotlight. Joao memilih langkah ini, dan itu membuatnya seperti panda di kebun binatang politik: langka, imut, tapi kemungkinan cepat punah.

Bedanya, kalau di luar negeri politisi melakukan kesalahan, mereka biasanya memilih mundur sambil menunduk, menggelar konferensi pers penuh air mata, lalu menghilang ke hutan untuk menulis buku “pertobatan politik.” Sementara di sini, kalau ketahuan salah, politisi justru makin sering muncul di TV, tersenyum lebar, dan bilang “ini semua hanya miskomunikasi.” Di luar negeri, minta maaf itu seperti mekanisme tanggung jawab. Di sini, minta maaf sering hanya sekadar password untuk masuk ke periode jabatan berikutnya. Kalau di sana skandal mematikan karier, di sini justru bisa menaikkan elektabilitas mirip seperti menonton serial drama politik, tapi plot twist-nya selalu bisa ditebak: tokoh utamanya tetap duduk manis di kursi kekuasaan.

Besok atau lusa, berita ini akan tenggelam, digantikan isu baru. Pejabat lain akan kembali memegang teguh prinsip “bertahan sampai kiamat”, rakyat kembali menyesuaikan diri, dan kata “mundur” kembali terkubur di halaman belakang kamus politik Indonesia. Tradisi? Tetap. Perubahan? Mimpi. Satire ini? Sayangnya, mungkin masih relevan lima tahun lagi.

Dwi TH

Berita Terkait

Air Bersih, Upeti, dan Kekacauan Regulasi: Menguliti Polemik PAM JAYA-PPK Kemayoran
Darurat Kedaulatan Ekonomi Indonesia
Mengurai Mitos Kebal Hukum: Ketika Pusat Pengelolaan Komplek Kemayoran (PPK Kemayoran) Dikatakan “Tak Tersentuh”
Rampas Uang, Tutup Mata Korupsi Negara
Pertumbuhan 5 Persen, Tapi Siapa yang Untung?
Pahlawan atau Pengampunan Politik yang Tertunda
Pengamat Hukum Didi Sungkono: Pemimpin yang Ditolak Rakyat Sebaiknya Mundur Secara Ksatria
UIN Jakarta Kucurkan Rp2,85 Miliar Beasiswa untuk Dosen dan Tendik: Dorong Kualitas SDM dan Layanan Kampus
Berita ini 6 kali dibaca

Berita Terkait

Kamis, 6 November 2025 - 04:03

Air Bersih, Upeti, dan Kekacauan Regulasi: Menguliti Polemik PAM JAYA-PPK Kemayoran

Kamis, 6 November 2025 - 03:30

Duit Sitaan Koruptor, Ujian Janji Keadilan

Rabu, 5 November 2025 - 19:27

Darurat Kedaulatan Ekonomi Indonesia

Rabu, 5 November 2025 - 19:03

Mengurai Mitos Kebal Hukum: Ketika Pusat Pengelolaan Komplek Kemayoran (PPK Kemayoran) Dikatakan “Tak Tersentuh”

Rabu, 5 November 2025 - 17:56

Rampas Uang, Tutup Mata Korupsi Negara

Rabu, 5 November 2025 - 17:24

Pahlawan atau Pengampunan Politik yang Tertunda

Selasa, 4 November 2025 - 16:56

Pengamat Hukum Didi Sungkono: Pemimpin yang Ditolak Rakyat Sebaiknya Mundur Secara Ksatria

Selasa, 4 November 2025 - 16:29

UIN Jakarta Kucurkan Rp2,85 Miliar Beasiswa untuk Dosen dan Tendik: Dorong Kualitas SDM dan Layanan Kampus

Berita Terbaru

Hukum

Duit Sitaan Koruptor, Ujian Janji Keadilan

Kamis, 6 Nov 2025 - 03:30

Berita

Darurat Kedaulatan Ekonomi Indonesia

Rabu, 5 Nov 2025 - 19:27

Berita

Rampas Uang, Tutup Mata Korupsi Negara

Rabu, 5 Nov 2025 - 17:56

0
Would love your thoughts, please comment.x
()
x