Lurah Bukan Sekadar Mandor Proyek Kelurahan

- Penulis

Senin, 28 Juli 2025 - 21:57

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Spread the love

Fhoto: Pembangunan Dapur Makan Gratis di wilayah Rt.06 Rw.08 Kel. Kebon Kosong, Kemayoran, Jakarta Pusat (tanpa ijin)

M-J. Jakarta – Dalam sistem pemerintahan Indonesia, Rukun Warga (RW) diposisikan sebagai lembaga kemasyarakatan yang berfungsi sebagai mitra pemerintah dalam pelaksanaan pembangunan, pelayanan masyarakat, dan upaya menciptakan ketertiban sosial. Hal ini sejalan dengan ketentuan Permendagri Nomor 18 Tahun 2018 tentang Lembaga Kemasyarakatan Desa dan Lembaga Adat Desa, yang menegaskan bahwa RW dibentuk untuk membantu kepala desa atau lurah dalam meningkatkan partisipasi dan pemberdayaan masyarakat.

Namun, dalam praktiknya, peran RW tidak seideal yang diatur dalam regulasi. RW justru kerap terjebak dalam posisi ambigu: dituntut berperan besar, namun diberi kewenangan dan sumber daya yang minim.

ADVERTISEMENT

ads

SCROLL TO RESUME CONTENT

1. RW sebagai Penghubung Strategis, tapi Minim Otoritas
Menurut Permendagri 18/2018 Pasal 3, RW dan RT berfungsi sebagai perpanjangan tangan pemerintah dalam menyampaikan informasi, menampung aspirasi, dan meningkatkan keswadayaan masyarakat. Namun dalam kenyataannya, fungsi ini lebih bersifat satu arah. RW lebih sering menjadi saluran informasi dari atas ke bawah ketimbang sebagai penyambung aspirasi warga ke atas.

Misalnya, dalam program bantuan sosial, RW hanya ditugaskan memverifikasi data atau membagikan bantuan. Padahal, banyak kasus salah sasaran justru bisa dicegah jika RW diberi ruang untuk bersuara dan menyampaikan keberatan atas data yang dikompilasi sepihak oleh instansi di atasnya. RW menjadi pelaksana administratif, bukan mitra deliberatif.

2. Tugas Multisektor, Tanpa Alokasi Anggaran Tetap
Banyak RW harus memikul beban kerja besar seperti mengorganisasi vaksinasi, menyalurkan bantuan sosial, menyelenggarakan kerja bakti, hingga mediasi konflik warga. Ironisnya, semua ini dilakukan dalam kondisi tanpa honor tetap, tanpa SK fungsional resmi dari pemerintah daerah, dan tanpa perlindungan hukum.

Menurut survei LIPI tahun 2020 mengenai efektivitas lembaga kemasyarakatan, lebih dari 65% pengurus RW menyatakan tidak pernah mendapatkan pelatihan atau pendampingan teknis dari pemerintah. Bahkan lebih dari 72% RW tidak mendapatkan insentif yang layak, meskipun mereka menjalankan peran yang krusial dalam implementasi kebijakan di tingkat lokal.

3. Beban Administratif dan Digitalisasi yang Setengah Hati
RW juga dibebani tanggung jawab pendataan warga, pelaporan kegiatan, validasi dokumen untuk bantuan, dan distribusi informasi kebijakan. Namun, mereka dihadapkan pada sistem pelaporan yang manual, tidak terintegrasi, dan sangat rentan terhadap kesalahan. Di kota-kota besar yang mengklaim sebagai “Smart City”, RW masih menulis laporan dengan tangan, menggunakan buku besar, tanpa dukungan perangkat digital yang memadai.

Ini kontras dengan semangat Peraturan Presiden Nomor 95 Tahun 2018 tentang Sistem Pemerintahan Berbasis Elektronik (SPBE) yang mendorong digitalisasi layanan publik. Jika digitalisasi hanya terjadi di tingkat pusat dan daerah tanpa menjangkau RW dan RT, maka sistem akan terus timpang dan tidak efektif.

4. Keamanan dan Ketertiban: RW Berada di Titik Rawan Konflik Sosial
RW sering menjadi penengah dalam konflik warga, permasalahan sosial, dan bahkan penanganan kasus-kasus kekerasan rumah tangga atau kenakalan remaja. Namun, tanpa pelatihan mediasi dan perlindungan hukum, RW kerap menjadi sasaran ketidakpuasan warga atau tekanan dari kelompok tertentu.

Kasus di beberapa wilayah Jakarta dan Surabaya menunjukkan bagaimana RW diseret ke ranah hukum karena dianggap tidak netral saat membantu proses pendataan bansos atau penyelesaian konflik keluarga. Padahal, RW hanya menjalankan tugasnya tanpa dilengkapi dengan standar operasional prosedur yang baku.

5. Mendorong Partisipasi Warga: RW adalah Agen Demokrasi Basis
RW juga berperan dalam membangun semangat gotong royong dan partisipasi warga dalam pembangunan lokal. Dari kerja bakti, kegiatan sosial keagamaan, hingga pendirian fasilitas publik berbasis swadaya, RW adalah motor penggerak partisipasi.

Namun jika partisipasi masyarakat terus dieksploitasi tanpa dukungan anggaran dan penghargaan struktural, maka gotong royong yang dijadikan jargon pembangunan hanya akan jadi ilusi semu. Negara seolah melemparkan tanggung jawab pembangunan ke pundak masyarakat tanpa akuntabilitas.

Saatnya RW Diberi Status Hukum dan Kewenangan Jelas
Sudah saatnya RW tidak hanya dijadikan alat pelaksana kebijakan, tetapi sebagai mitra sejati dalam pembangunan lokal. Beberapa langkah yang perlu dipertimbangkan:

1. Status hukum yang jelas dalam peraturan daerah (Perda) mengenai tugas, wewenang, dan perlindungan pengurus RW.
2. Alokasi anggaran tetap dalam APBD untuk operasional RW, termasuk pelatihan, perangkat digital, dan insentif kerja.
3. Sistem pelaporan terpadu berbasis digital, agar RW dapat menjalankan fungsi administratif secara efisien dan akurat.
4. Pelatihan dan penguatan kapasitas bagi pengurus RW dalam bidang mediasi, tata kelola, keamanan lingkungan, dan pengelolaan data.

RW Bukan Anak Tiri Demokrasi Lokal
Jika kita mengaku sebagai negara yang membangun dari bawah, maka penguatan RW adalah keharusan. RW adalah simpul terkecil yang menopang demokrasi, pelayanan, dan pembangunan. Tidak ada transformasi sosial tanpa penguatan institusi paling dasar ini.

Jangan biarkan RW hanya jadi tukang tempel spanduk, pembagi bansos, atau saksi pasif konflik sosial. RW adalah benteng pertahanan terakhir dari keterlibatan warga dalam pemerintahan. Bila RW dibiarkan berjalan sendiri tanpa dukungan, maka kita sedang mencabut akar partisipasi itu sendiri.

LMK, RW/RT, dan Lurah: Pilar Kebijakan Publik yang Dibiarkan Berdiri Tanpa Fondasi
Dalam lanskap kebijakan publik di tingkat lokal, struktur pemerintahan seperti Lembaga Musyawarah Kelurahan (LMK), Rukun Warga (RW), Rukun Tetangga (RT), dan Lurah diposisikan sebagai penghubung vital antara negara dan rakyat. Namun sayangnya, di balik jargon partisipasi dan desentralisasi, peran mereka justru sering kali dibelenggu-baik oleh lemahnya dukungan hukum, minimnya alokasi anggaran, maupun tumpang tindih kewenangan.

Padahal, dalam teori kebijakan publik, aktor lokal semacam ini sangat krusial sebagai street-level implementers atau pelaksana kebijakan langsung di lapangan. Mereka bukan hanya pelayan teknis, tetapi juga perumus mikro dari realisasi visi pembangunan nasional.

1. LMK: Lembaga yang Dipasang, Tapi Tak Diberdayakan
Keberadaan LMK diatur dalam Peraturan Gubernur DKI Jakarta Nomor 22 Tahun 2022 tentang LMK. Fungsi idealnya adalah menyerap dan menyalurkan aspirasi masyarakat, serta menjadi mitra kerja Lurah dalam penyampaian kebijakan. LMK seharusnya menjadi instrumen demokrasi lokal yang memperkuat kanal aspirasi publik.

Namun, laporan Badan Kesbangpol DKI Jakarta (2023) menyebutkan bahwa lebih dari 58% LMK tidak mendapatkan pelatihan peningkatan kapasitas, dan 70% tidak memiliki mekanisme baku dalam menjaring aspirasi warga. Alhasil, LMK hanya menjadi lembaga “pengisi struktur”, tanpa fungsi deliberatif yang berarti.

2. RW/RT: Gigi Sistem yang Berputar Tanpa Pelumas
RW dan RT adalah unit paling dekat dengan warga, bahkan melebihi LMK atau Lurah. Perannya diatur dalam Permendagri Nomor 18 Tahun 2018, yang menekankan fungsi mereka sebagai wadah komunikasi, pelaksana kegiatan kemasyarakatan, dan penggerak swadaya masyarakat.

Namun realitas di lapangan berbeda. Survei Komnas HAM dan LIPI (2021) menunjukkan bahwa lebih dari 65% RW/RT tidak memiliki dana operasional rutin, dan hanya 17% yang mendapatkan pelatihan administratif atau hukum dari pemerintah daerah. Mereka diharapkan bekerja seperti motor pembangunan sosial, tetapi diberi bahan bakar ala kadarnya.

Yang lebih ironis, dalam berbagai kasus konflik kebijakan seperti penolakan proyek infrastruktur atau pembagian bansos yang diskriminatif, RW/RT kerap dijadikan tameng oleh pemerintah, tanpa dilibatkan dalam tahap perencanaan. Ini menyalahi prinsip partisipasi yang substansial.

3. Lurah: Kepala Wilayah yang Terikat di Tengah Hirarki Birokrasi
Lurah adalah figur administratif yang menjalankan peran pemerintahan tingkat kelurahan sesuai dengan Permendagri Nomor 130 Tahun 2018 tentang kegiatan pembangunan sarana dan prasarana kelurahan. Tugasnya antara lain menyusun program, mengkoordinasi kegiatan lintas elemen, serta melaporkan pelaksanaan kepada Camat.

Namun, di tengah kompleksitas kebutuhan masyarakat urban dan keterbatasan anggaran kelurahan, Lurah sering kali hanya berperan sebagai distributor kebijakan, bukan pelaku transformasi lokal. Menurut data Kemendagri (2022), rata-rata kelurahan hanya mendapat anggaran operasional Rp370 juta per tahun-jumlah yang sangat kecil jika dibandingkan dengan beban pelayanan publik dan dinamika sosial yang harus dikelola.

4. Fungsi Strategis yang Tertahan dalam Sistem Birokrasi Vertikal
Dalam konteks kebijakan publik, LMK, RW/RT, dan Lurah memiliki empat fungsi strategis:
a. Jembatan Informasi
Mereka menyampaikan kebijakan dari atas ke bawah, dan sebaliknya, menyuarakan keluhan serta aspirasi warga. Namun, ketika saluran informasi ini tidak didukung transparansi, aspirasi warga hanya berhenti di meja rapat kelurahan.
b. Fasilitator Partisipasi
Lewat forum seperti Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang), aktor lokal seharusnya memperjuangkan aspirasi warga. Sayangnya, hasil Musrenbang kerap dikalahkan oleh agenda proyek prioritas pemerintah daerah. Musrenbang menjadi seremoni tahunan, bukan ruang advokasi kebijakan.
c. Agen Pelaksana
Ketika kebijakan seperti pembagian bantuan, program vaksinasi, atau pendataan sosial dijalankan, RW/RT dan LMK menjadi garda terdepan. Tapi ketika terjadi kegagalan distribusi, mereka pula yang dikambinghitamkan. Sistem ini cacat sejak perancangannya.
d. Mediator Konflik
Ketika warga berkonflik karena tanah, drainase, atau data bantuan, mereka mendatangi RW atau Lurah. Tapi mereka tidak dibekali perangkat hukum atau mediasi. Mereka diminta menyelesaikan konflik tanpa diberi alat damai.

Apakah Desentralisasi Sudah Menjangkau Akar Rumput?

Pertanyaan mendasarnya: Apakah semangat desentralisasi dan partisipasi publik telah benar-benar menjangkau LMK, RW/RT, dan Lurah?

Jawabannya: belum.

Desentralisasi selama ini lebih banyak menyasar kepala daerah, sementara sistem di bawahnya tetap sentralistik, administratif, dan tidak deliberatif. Partisipasi warga didelegasikan, bukan difasilitasi. Aspirasi warga hanya masuk dalam dokumen, bukan dalam kebijakan.

Rekomendasi: Politik Anggaran dan Regulasi Baru untuk Penguatan Akar
Agar LMK, RW/RT, dan Lurah menjadi aktor efektif dalam kebijakan publik, maka negara harus berhenti memperlakukan mereka sebagai pekerja sukarela. Dibutuhkan:
1. Regulasi baru tingkat nasional yang memperkuat legitimasi kelembagaan LMK dan RW/RT, bukan hanya dalam bentuk Pergub atau Perwali.
2. Standarisasi insentif dan pelatihan, sebagaimana diamanatkan dalam Permendagri 18/2018 Pasal 5 dan 6.
3. Integrasi sistem digital, agar pelaporan dan pendataan tak lagi berbasis kertas, melainkan tersambung langsung ke sistem daerah.
4. Dana alokasi khusus (DAK) lokal untuk kelembagaan masyarakat, agar mereka tidak tergantung pada kebijakan kepala daerah semata.
5. Monitoring independen atas implementasi Musrenbang dan fungsi mediasi RW/RT yang sering diabaikan.

Baca Juga:  Tindak Pidana Pemalsuan Dokumen

Demokrasi Tak Bisa Dijalankan oleh Elit Saja
Jika demokrasi ingin hidup di republik ini, maka ia harus tumbuh dari kelurahan, dari RT, dari RW, dari LMK, dan dari Lurah yang bekerja dengan kepercayaan publik. Jangan jadikan mereka alat legitimasi. Jadikan mereka mitra transformasi.

Lurah Bukan Sekadar Kepala Administrasi: Saatnya Peran Manajerial di Kelurahan Diakui dan Diperkuat
Sudah terlalu lama jabatan Lurah hanya dipandang sebagai posisi administratif belaka-mengurusi surat pengantar, memimpin rapat seremonial, atau sekadar melanjutkan instruksi dari Camat. Padahal, dalam konteks tata kelola pemerintahan modern, Lurah adalah manajer wilayah. Sayangnya, peran manajerial ini hingga kini masih sebatas wacana yang tak kunjung ditopang secara sistematis.

Lurah: Kepala Wilayah yang Dihadang Sistem
Secara normatif, peran dan tanggung jawab Lurah diatur dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) Nomor 130 Tahun 2018 tentang Kegiatan Pembangunan Sarana dan Prasarana Kelurahan, serta dalam Permendagri Nomor 83 Tahun 2015 tentang Pengangkatan dan Pemberhentian Perangkat Kelurahan. Dalam aturan tersebut, Lurah bertanggung jawab atas pelaksanaan urusan pemerintahan, pembangunan, pelayanan publik, hingga pemberdayaan masyarakat.

Namun kenyataannya, peran Lurah sebagai manajer wilayah masih jauh dari kata ideal. Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) dalam laporan evaluasinya tahun 2022 menyatakan bahwa lebih dari 60% Lurah di Indonesia belum memiliki pelatihan manajerial dasar, seperti perencanaan strategis, pengelolaan sumber daya, pengorganisasian tim, atau sistem monitoring dan evaluasi.

Faktor-Faktor Penghambat Peran Manajerial Lurah
1. Tugas dan Tanggung Jawab yang Terlalu Luas, Tapi Tidak Spesifik
Lurah tidak hanya melayani administrasi kependudukan, tapi juga harus menjalankan peran dalam keamanan lingkungan, penanganan konflik sosial, koordinasi pembangunan, hingga menggerakkan partisipasi warga. Beban ini kian berat karena tidak disertai dengan struktur manajemen internal yang memadai.
2. Keterbatasan Sumber Daya: Anggaran Minim, SDM Terbatas
Kelurahan bukan lembaga yang otonom anggarannya. Rata-rata kelurahan di kota besar seperti Jakarta, Surabaya, dan Bandung hanya mendapatkan anggaran sekitar Rp400 juta-Rp600 juta per tahun, yang harus dibagi untuk operasional, kegiatan sosial, dan pembangunan. Belum lagi, kelurahan sering kekurangan tenaga teknis seperti perencana, analis data, atau pendamping masyarakat.
3. Birokrasi yang Hierarkis dan Lamban
Lurah harus tunduk pada prosedur vertikal dari kecamatan dan kota. Banyak keputusan dan pengadaan program harus menunggu persetujuan di level atas. Ini menyebabkan inisiatif lokal sering kali mandek. Bahkan, program prioritas warga yang diusulkan melalui Musrenbang (Musyawarah Perencanaan Pembangunan) kerap tereliminasi oleh agenda proyek top-down.
4. Kurangnya Pelatihan Manajerial dan Kepemimpinan
Tidak semua Lurah datang dari latar belakang manajemen publik. Banyak yang tidak dibekali dengan pelatihan mengenai bagaimana merumuskan visi, memobilisasi warga, menyusun indikator kinerja, atau melakukan evaluasi kebijakan publik. Hasilnya, kelurahan lebih bersifat administratif, bukan strategis.
5. Keterbatasan Partisipasi Masyarakat
Peran Lurah akan semakin sulit bila tidak disertai dukungan dan partisipasi masyarakat. Namun, tanpa fasilitasi, keterlibatan warga dalam pembangunan hanya menjadi slogan. Data dari Bappenas (2023) menunjukkan bahwa partisipasi warga dalam forum-forum perencanaan kelurahan masih di bawah 30% secara nasional.

Mengapa Peran Manajerial Lurah Harus Diperkuat?
Efisiensi dan Efektivitas Pelayanan Publik
Lurah yang memiliki kapasitas manajerial akan lebih mampu menyusun prioritas, mengelola anggaran, dan mengkoordinasikan program lintas sektor. Ini berdampak langsung pada peningkatan kualitas layanan publik.

Pendorong Partisipasi dan Pemberdayaan
Seorang manajer wilayah seharusnya mampu menjadi fasilitator warga, bukan sekadar perpanjangan tangan pemerintah kota. Lurah yang aktif akan membuka ruang dialog, musyawarah terbuka, dan pelibatan komunitas dalam perumusan serta pelaksanaan kebijakan.

Penjamin Stabilitas dan Kesejahteraan Sosial
Dengan manajemen yang baik, kelurahan bisa menjadi benteng pertama dalam penanganan persoalan seperti kemiskinan, konflik sosial, bencana, atau pengangguran. Lurah yang memiliki sistem kerja yang tertata bisa bergerak lebih cepat dan tepat.

Tantangan dan Rekomendasi ke Depan
Untuk menciptakan kepemimpinan Lurah yang tangguh dan profesional, sejumlah langkah strategis perlu dilakukan:
1. Peningkatan Kapasitas Lurah
Program pelatihan wajib tahunan berbasis kompetensi manajerial (perencanaan, keuangan publik, manajemen konflik).
Sertifikasi jabatan lurah berbasis merit system dan uji kelayakan kompetensi.
2. Desain Ulang Struktur Organisasi Kelurahan
Penambahan jabatan fungsional seperti perencana wilayah, analis data sosial, dan fasilitator masyarakat.
3. Penyederhanaan Birokrasi
Reformasi alur koordinasi antara Lurah, Camat, dan OPD agar lebih responsif terhadap kebutuhan lokal.
4. Alokasi Anggaran Mandiri
Kelurahan harus memiliki blok anggaran tersendiri dalam APBD yang dikelola secara transparan dan akuntabel.
5. Peningkatan Keterlibatan Warga
Optimalisasi forum RW/RT dan LMK untuk menyusun agenda pembangunan berbasis komunitas.

Lurah Harus Jadi Manager Wilayah, Bukan Tukang Stempel
Lurah adalah ujung tombak pemerintahan kota. Ia bukan sekadar petugas administrasi, melainkan manajer publik yang dituntut menyatukan visi warga dengan program negara. Maka jangan biarkan Lurah terus bekerja dalam sunyi-dibebani banyak peran, tapi dilengkapi dengan fasilitas dan otoritas yang minim.

Negara yang ingin membangun dari bawah, harus serius memperkuat kelurahan sebagai poros desentralisasi yang sesungguhnya.

Lurah Bukan Sekadar Pelaksana: Kepemimpinan di Akar Pemerintahan yang Kerap Diabaikan
Dalam konteks tata kelola pemerintahan lokal, Lurah adalah aktor strategis-pemimpin wilayah sekaligus koordinator pelaksanaan urusan otonomi daerah di tingkat kelurahan. Namun ironisnya, peran penting ini kerap dikerjakan dalam kondisi serba terbatas, baik dari sisi kewenangan, anggaran, hingga penghargaan terhadap peran kepemimpinannya.

Lurah: Pemegang Delegasi, tapi Tak Selalu Diberi Kendali
Secara normatif, posisi Lurah ditegaskan dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) Nomor 130 Tahun 2018, yang menyatakan bahwa Lurah menjalankan sebagian kewenangan Walikota/Bupati dalam urusan pemerintahan umum dan pelayanan publik di wilayah kerjanya. Dengan kata lain, Lurah adalah pemegang mandat otonomi daerah tingkat mikro.

Namun dalam praktiknya, mandat itu sering kali bersifat administratif, bukan strategis. Lurah hanya menjadi pelaksana teknis, bukan pengambil kebijakan. Banyak kebijakan top-down yang harus dijalankan lurah tanpa ruang partisipasi maupun fleksibilitas penyesuaian dengan konteks lokal. Ini menyalahi semangat local government empowerment yang semestinya menguatkan otoritas lokal.

Kepemimpinan Lurah: Antara Katalisator dan Operator
Kepemimpinan Lurah sejatinya memuat berbagai dimensi:
Sebagai katalisator, Lurah harus mampu mempercepat proses pembangunan lokal dengan mendorong sinergi antarwarga dan pemangku kepentingan.
Sebagai fasilitator, Lurah harus menjembatani kebutuhan masyarakat dengan kapasitas pemerintah.
Sebagai pemecah masalah, ia dituntut menyelesaikan konflik sosial, kesenjangan pelayanan, hingga disinformasi publik.
Sebagai komunikator, ia mesti menyampaikan kebijakan pusat dan daerah secara tepat sasaran dan mudah dipahami.

Dan sebagai pemimpin organisasi, ia wajib menjaga semangat kerja aparatur kelurahan melalui pemberian tempat yang layak, penghargaan, kesempatan berkembang, dan lingkungan kerja yang sehat.

Sayangnya, tidak semua lurah dibekali dengan kapasitas manajerial dan kepemimpinan yang mumpuni. Laporan Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia Kemendagri (2022) menunjukkan bahwa hanya 28% dari Lurah se-Indonesia pernah mengikuti pelatihan kepemimpinan tingkat dasar (PKD) secara menyeluruh. Sementara sisanya menjalankan fungsi leadership secara otodidak-berjalan di medan yang kompleks tanpa peta dan kompas.

Faktor Kunci: Semangat Kerja Pegawai Juga Bergantung pada Gaya Kepemimpinan
Semangat kerja aparatur di tingkat kelurahan sangat dipengaruhi oleh gaya kepemimpinan Lurah. Teori motivasi kerja Herzberg menegaskan bahwa kepuasan kerja sangat ditentukan oleh dua faktor: motivator (kesempatan berkembang, pengakuan, pencapaian) dan hygiene factors (lingkungan kerja, gaji, supervisi).

Ketika Lurah hanya bertindak sebagai “penyampai perintah” tanpa memberi ruang penghargaan, refleksi, dan pengembangan, maka kelurahan berubah menjadi mesin birokrasi tanpa jiwa. Pegawai sekadar menyelesaikan tugas, bukan membangun wilayah.

Kepemimpinan Lokal adalah Pondasi Bangsa
Dalam teori kepemimpinan publik, John Kotter menekankan bahwa pemimpin di level akar sangat menentukan keberhasilan reformasi struktural. Pemimpin bukan hanya yang memegang jabatan tinggi, tetapi juga yang mampu mempengaruhi opini, membentuk perilaku, dan menginspirasi perubahan di lingkungan kerja.

Lurah yang visioner dan komunikatif akan melahirkan budaya kerja kolektif, gotong royong, dan responsif terhadap kebutuhan warga. Inilah yang membedakan antara kelurahan yang melayani, dan kelurahan yang sekadar “mengarsipkan surat”.

Menuju Reformasi Kepemimpinan Lurah: Apa yang Harus Diperbaiki?
1. Pelatihan Kepemimpinan Sistematis
Pemerintah daerah wajib mengadakan pelatihan kepemimpinan publik, manajemen SDM, dan pelayanan prima bagi setiap Lurah, bukan hanya menjadikannya jabatan politis atau warisan birokrasi.
2. Desain Insentif dan Evaluasi Kinerja Berbasis Kompetensi
Lurah harus dinilai bukan hanya dari administrasi, tetapi juga dari keberhasilan dalam membangun partisipasi warga, inovasi pelayanan, dan pengelolaan konflik lokal.
3. Penguatan Otonomi Kewilayahan
Lurah harus diberi ruang untuk menyusun program kerja kelurahan berbasis potensi lokal, bukan sekadar menerima DPA dari atas.
4. Reformasi Birokrasi Vertikal
Hubungan antara lurah, camat, dan OPD harus bersifat koordinatif, bukan hirarkis satu arah. Kepemimpinan lurah tidak boleh dikerdilkan oleh regulasi yang hanya melayani struktur, bukan hasil.

Kepemimpinan Lurah adalah Cermin Kesehatan Demokrasi Lokal
Jika negara ingin membangun dari pinggiran, maka kualitas kepemimpinan Lurah harus ditingkatkan secara sistemik. Jangan biarkan Lurah hanya menjadi petugas lapangan, padahal ia pemimpin masyarakat. Kelurahan adalah titik temu antara negara dan rakyat-di sanalah wajah negara pertama kali dilihat oleh warganya.

Maka, memperkuat kepemimpinan Lurah bukan sekadar kebijakan teknis. Itu adalah keharusan politik jika kita benar-benar ingin membangun bangsa dari akar.

Arthur Noija SH

Berita Terkait

Air Bersih, Upeti, dan Kekacauan Regulasi: Menguliti Polemik PAM JAYA-PPK Kemayoran
Duit Sitaan Koruptor, Ujian Janji Keadilan
Darurat Kedaulatan Ekonomi Indonesia
Mengurai Mitos Kebal Hukum: Ketika Pusat Pengelolaan Komplek Kemayoran (PPK Kemayoran) Dikatakan “Tak Tersentuh”
Rampas Uang, Tutup Mata Korupsi Negara
Pertumbuhan 5 Persen, Tapi Siapa yang Untung?
Pahlawan atau Pengampunan Politik yang Tertunda
Marak Debitur Dijerat Pasal Penggelapan Objek Fidusia, Pakar Hukum: “Jangan Campur Urusan Perdata dengan Pidana”
Berita ini 112 kali dibaca

Berita Terkait

Kamis, 6 November 2025 - 04:03

Air Bersih, Upeti, dan Kekacauan Regulasi: Menguliti Polemik PAM JAYA-PPK Kemayoran

Kamis, 6 November 2025 - 03:30

Duit Sitaan Koruptor, Ujian Janji Keadilan

Rabu, 5 November 2025 - 19:27

Darurat Kedaulatan Ekonomi Indonesia

Rabu, 5 November 2025 - 19:03

Mengurai Mitos Kebal Hukum: Ketika Pusat Pengelolaan Komplek Kemayoran (PPK Kemayoran) Dikatakan “Tak Tersentuh”

Rabu, 5 November 2025 - 17:56

Rampas Uang, Tutup Mata Korupsi Negara

Rabu, 5 November 2025 - 17:24

Pahlawan atau Pengampunan Politik yang Tertunda

Selasa, 4 November 2025 - 16:56

Pengamat Hukum Didi Sungkono: Pemimpin yang Ditolak Rakyat Sebaiknya Mundur Secara Ksatria

Selasa, 4 November 2025 - 16:29

UIN Jakarta Kucurkan Rp2,85 Miliar Beasiswa untuk Dosen dan Tendik: Dorong Kualitas SDM dan Layanan Kampus

Berita Terbaru

Hukum

Duit Sitaan Koruptor, Ujian Janji Keadilan

Kamis, 6 Nov 2025 - 03:30

Berita

Darurat Kedaulatan Ekonomi Indonesia

Rabu, 5 Nov 2025 - 19:27

Berita

Rampas Uang, Tutup Mata Korupsi Negara

Rabu, 5 Nov 2025 - 17:56

0
Would love your thoughts, please comment.x
()
x