M-J. Jakarta – Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Peduli Nusantara Tunggal, sebagai organisasi yang memiliki konsentrasi pada advokasi kebijakan publik, khususnya sektor pertanahan, menyoroti pentingnya pemahaman yang utuh terhadap instrumen hukum yang mengatur pendaftaran tanah di Indonesia. Salah satu regulasi penting yang menjadi rujukan historis dan yuridis adalah Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 10 Tahun 1961 tentang Pendaftaran Tanah.
PP ini merupakan pelaksanaan dari amanat Pasal 19 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA), yang menyatakan bahwa pendaftaran tanah diselenggarakan untuk menjamin kepastian hukum hak atas tanah bagi seluruh warga negara.
PP 10/1961 dan Peran Sentral Warkah Tanah
Dalam kerangka hukum tersebut, terdapat hubungan yang erat antara PP 10/1961 dengan eksistensi warkah tanah—yakni dokumen administratif yang menjadi bagian dari proses pendaftaran tanah dan menjadi bukti kepemilikan yang sah secara hukum.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
1. Ketentuan Pendaftaran Tanah
PP 10/1961 secara rinci mengatur prosedur pendaftaran tanah, mulai dari pengukuran, pemetaan, pembukuan tanah, hingga pendaftaran hak dan penerbitan tanda bukti hak. Prosedur ini menjadi tahapan esensial dalam menciptakan tertib administrasi pertanahan di Indonesia.
2. Warkah Tanah sebagai Bukti Kepemilikan
Dalam proses pendaftaran, setiap hak atas tanah yang didaftarkan akan menghasilkan dokumen resmi, yang disebut warkah tanah. Warkah ini memuat informasi yuridis maupun teknis atas suatu bidang tanah, dan menjadi bukti otentik dalam hal terjadi sengketa atau klaim kepemilikan.
3. Jaminan Kepastian Hukum
Pendaftaran tanah yang dilengkapi dengan warkah tanah yang sah memberikan jaminan kepastian hukum atas hak kepemilikan. Status hukum dan identitas pemegang hak menjadi jelas, sekaligus melindungi dari risiko tumpang tindih klaim atau pemalsuan dokumen.
4. Peran Buku Tanah
PP 10/1961 juga memperkenalkan sistem buku tanah, yang mencatat seluruh data tentang hak atas tanah, termasuk subjek hukum (pemilik), objek (tanah), serta jenis hak yang melekat. Buku tanah menjadi instrumen negara dalam melakukan pengawasan dan pengendalian kepemilikan lahan secara sistematis.
Penyempurnaan Melalui PP 24/1997
Sebagai bagian dari evolusi hukum pertanahan, PP Nomor 10 Tahun 1961 telah disempurnakan dengan PP Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah. PP terbaru ini hadir dengan penyempurnaan substansi dan prosedur yang lebih modern dan responsif terhadap dinamika kebutuhan hukum masyarakat.
PP 24/1997 memperkenalkan sistem sertifikat hak atas tanah sebagai bukti kepemilikan yang lebih kuat dan terintegrasi dengan sistem informasi pertanahan nasional. Meskipun PP 10/1961 sudah tidak lagi berlaku, peranannya dalam membentuk fondasi awal administrasi pertanahan tidak dapat diabaikan.
Dalam konteks inilah, dua peraturan penting patut menjadi sorotan, yakni Peraturan Pemerintah (PP) No. 10 Tahun 1961 dan penyempurnaannya melalui PP No. 24 Tahun 1997.
Keduanya menjadi tonggak penting dalam penataan administrasi pertanahan nasional. Melalui proses pendaftaran tanah dan penerbitan warkah tanah yang sah, negara hadir untuk memberikan jaminan hukum terhadap kepemilikan dan pemanfaatan lahan oleh warga negara.
Pendaftaran Tanah dan Warkah sebagai Pilar Kepemilikan Sah
PP No. 10 Tahun 1961 merupakan dasar hukum pertama yang mengatur tata cara pendaftaran tanah secara nasional, mencakup proses pengukuran, pemetaan, pencatatan, dan pemberian tanda bukti hak atas tanah. Proses ini menghasilkan dokumen yang disebut warkah tanah, yakni kumpulan berkas yang menjadi bukti administratif dan hukum kepemilikan atas sebidang tanah.
Warkah tanah yang didaftarkan secara sah berfungsi sebagai bukti otentik kepemilikan, dan keberadaannya menjadi landasan kuat bagi perlindungan hukum terhadap pemilik tanah dari klaim sepihak, sengketa, maupun praktik mafia tanah.
Melalui PP No. 24 Tahun 1997, sistem ini disempurnakan dengan pendekatan yang lebih modern. Pendaftaran tanah tidak hanya menghasilkan warkah, tetapi juga sertifikat hak atas tanah sebagai dokumen resmi yang diakui secara nasional. Sertifikat ini merupakan bentuk legalisasi tertinggi dari proses pendaftaran tanah.
Landform: Dimensi Fisik yang Mempengaruhi Kebijakan Hukum Pertanahan
Yang sering kali terlupakan dalam diskursus hukum pertanahan adalah peran landform—yakni bentuk fisik permukaan lahan seperti dataran rendah, lereng curam, lembah, atau perbukitan—yang ternyata sangat berpengaruh terhadap kebijakan penguasaan dan pemanfaatan tanah.
PP No. 10 Tahun 1961, dalam implementasinya, sangat bergantung pada hasil pengukuran dan pemetaan tanah, yang tentu saja berkaitan erat dengan kondisi fisik lahan atau landform. Hal ini berdampak langsung pada:
1. Klasifikasi tanah
2. Peruntukan dan pemanfaatan lahan
3. Jenis hak yang dapat diberikan atas tanah tersebut
Sebagai contoh, lahan dengan kemiringan curam mungkin tidak layak untuk budidaya pertanian intensif atau pembangunan permukiman karena faktor keamanan dan ekologi. Sebaliknya, lahan datar lebih mudah dikembangkan untuk pemukiman, kawasan industri, atau fasilitas umum.
Karena itu, hukum pertanahan-baik PP 10/1961 maupun PP 24/1997-harus mempertimbangkan karakteristik geospasial dan bentuk lahan dalam menetapkan hak dan fungsi tanah, agar tidak terjadi konflik penggunaan dan degradasi lingkungan di masa depan.
Pendaftaran Tanah dan Landform: Hubungan yang Saling Menguatkan
1. Menjamin Kepastian Hukum atas Lahan Sesuai Karakteristik Fisiknya
Pendaftaran tanah yang dilakukan secara akurat dan berbasis data spasial akan memastikan bahwa penggunaan lahan sesuai dengan kondisi fisik atau bentuk lahan (landform). Misalnya, tanah di wilayah dataran rendah yang cocok untuk permukiman dan infrastruktur harus dibedakan secara hukum dengan lahan miring atau curam yang lebih cocok untuk konservasi atau kehutanan.
Tanpa pendaftaran yang berbasis pada analisis landform, rawan terjadi penyalahgunaan lahan seperti pembangunan di wilayah rawan longsor atau konversi lahan hijau secara ilegal, yang pada akhirnya dapat merugikan masyarakat dan lingkungan.
2. Mendukung Pemerintah dalam Tata Kelola Lahan yang Efektif dan Tepat Guna
Melalui pendaftaran tanah, pemerintah dapat memetakan dengan jelas pemanfaatan lahan berdasarkan potensi dan keterbatasan bentuk lahan. Dengan kata lain, landform menjadi faktor pertimbangan penting dalam perencanaan penggunaan tanah secara nasional maupun daerah, termasuk dalam kebijakan zonasi ruang, mitigasi bencana, dan pengendalian pembangunan.
Kontribusi Pendaftaran Tanah terhadap Pengelolaan Lahan Berkelanjutan
PP No. 10 Tahun 1961 menekankan pentingnya pengukuran dan pemetaan sebagai tahapan awal pendaftaran tanah. Hal ini sejalan dengan pendekatan modern dalam manajemen lahan yang menuntut keterpaduan antara informasi yuridis (hak kepemilikan) dan informasi fisik (kondisi lahan).
Dengan mengintegrasikan kedua informasi tersebut, pendaftaran tanah berkontribusi besar dalam:
Menjaga kelestarian lingkungan dengan mencegah konversi lahan yang tidak sesuai fungsi ekologisnya.
Meningkatkan nilai ekonomi tanah yang terdaftar secara legal dan sesuai peruntukan.
Mencegah konflik agraria akibat tumpang tindih klaim atau ketidaksesuaian penggunaan.
Dewan Pimpinan Pusat Peduli Nusantara Tunggal menegaskan bahwa pendaftaran tanah bukan sekadar legalisasi kepemilikan, melainkan juga strategi pembangunan berkelanjutan yang memperhatikan aspek fisik, ekologis, dan sosial dari sebidang tanah. Integrasi antara sistem pendaftaran tanah dengan data geospasial seperti landform harus terus dikembangkan agar kebijakan pertanahan Indonesia menjadi lebih adaptif dan bertanggung jawab.

















