Jakarta, Majalahjakarta.com – Kekuasaan yang rapuh mencabut kartu liputan wartawan hanya karena pertanyaan soal program makan bergizi tanda bahwa demokrasi di negeri ini justru alergi terhadap pertanyaan sederhana. Ketika suara kritis dianggap gangguan kita dihadapkan pada demokrasi sandiwara yang rapuh dan pers dianggap musuh narasi tunggal.
Demokrasi kita sekali lagi dipertontonkan sebagai pertunjukan kekuasaan yang takut cermin. Ketika seorang wartawan CNN Indonesia Diana Valencia bertanya soal keracunan program makan bergizi gratis MBG kepada Presiden Prabowo di Bandara Halim Istana langsung mencabut kartu liputannya (Detik 28 September 2025).
Alasan yang dikemukakan pertanyaan tersebut dianggap di luar konteks agenda Presiden (CNN Indonesia 28 September 2025).
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Tindakan ini menjadi simbol bagaimana kekuasaan semakin tak toleran terhadap media sebagai pengawas dan kolektor pertanyaan publik.
Langkah mencabut kartu liputan bukan sekadar persoalan administratif melainkan sinyal bahwa kekuasaan melihat pers sebagai lawan. Jika wartawan didiamkan atau diusir maka narasi tunggal kekuasaan akan lebih mudah hidup. Inilah paradoks demokrasi kita media yang seyogianya menjadi penyeimbang justru dianggap duri dalam daging.
Persatuan Wartawan Indonesia PWI mengecam keras tindakan ini dan menyebutnya sebagai pelanggaran terhadap kemerdekaan pers (Detik 28 September 2025).
Dewan Pers turut bersuara menerima aduan mengenai pencabutan ID liputan dan meminta penjelasan agar kebebasan pers tetap terjaga (Detik 28 September 2025).
Tapi apakah kritik dan protes ini cukup untuk meredam gelombang represi semacam ini
Yang menarik kekuasaan berhati hati memilih kata di luar konteks sebagai pembenaran. Kata itu seperti obat penenang pembenaran bahwa media telah melampaui batas yang diperbolehkan. Tapi siapa yang menetapkan batas itu Dan siapa yang berani mempertanyakan batasan itu jika instansi yang sama yang mencabut kartu juga yang menetapkan batas
Ada ironi tersendiri demokrasi disebut sebagai panggung di mana suara rakyat beradu namun ketika pertanyaan hadir panggung itu langsung diam diam ditata ulang agar tak berguncang. Narasi publik dipoles agar tak memperlihatkan cacat padahal cacat itu nyata.
Mungkin kekuasaan takut sekali pada keracunan narasi. Bukankah lebih berbahaya jika publik menyadari bahwa kegagalan program gizi bukan sekadar soal distribusi tetapi soal transparansi dan akuntabilitas Jika narasi bisa dikontrol maka kegagalan bisa diredam dalam kabut propaganda.
Sikap mencabut kartu liputan ini juga memperlihatkan bahwa kekuasaan ingin persoalan disembunyikan bukan dijawab. Jika wartawan bisa dibungkam maka fakta yang mereka gali dapat dibungkam juga. Ketika ruang pertanyaan dibatasi maka imajinasi kekuasaan semakin leluasa menyusun kisah rakyat yang pasrah.
Sebagaimana dalam teori pers klasik media seharusnya menjadi suara rakyat pengawas kekuasaan bukan tunggul propaganda. Tapi di sini media ditekan agar berubah fungsi bukan sebagai kritikus atau kontrol melainkan bagian panggung kekuasaan itu sendiri hanya menyampaikan suara yang diizinkan.
Pertanyaan soal keracunan MBG bukanlah hinaan bukan juga provokasi melainkan tugas jurnalistik. Ketika masyarakat makan kita perlu tahu apakah gizi itu sampai Apakah ada masalah kesehatan Siapa yang bertanggung jawab Tapi ketika wartawan bertanya tindakan represiflah yang menyambutnya.
Kita harus mencatat tindakan mencabut kartu liputan itu memiliki efek jera. Wartawan lain akan ragu menanya. Pemimpin daerah akan berlahan menutup akses. Media akan bermain aman memilih pertanyaan lunak tajam dieliminasi. Demokrasi pun tereduksi menjadi pertunjukan monolog kekuasaan.
Negara demokratis yang sehat tidak bermusuhan dengan pertanyaan. Justru hanya lewat pertanyaan yang tajam negara dapat tumbuh lebih bertanggung jawab. Kekuasaan yang takut pertanyaan ialah kekuasaan yang haus lukanya ditutupi. Kekuasaan yang alergi kritik ialah kekuasaan yang rentan rapuh.
Tentu pencabutan ini harus dikawal. Media harus bersatu publik harus protes lembaga negara harus ditekan agar menjamin kebebasan pers. Tapi tak cukup suara protes harus ada institusi kuat yang secara sistemik melindungi hak wartawan dan mencegah tindakan sewenangwenang.
Kita juga harus bertanya apakah sesungguhnya jerat resmi yang digunakan akan dikaitkan secara konstitusional Apakah Biro Pers Istana akan dijerat UU Pers atas tindakan ini Jika tidak maka ancaman itu akan terulang. Kemerdekaan pers tak bisa digadaikan hanya karena kekuasaan merasa terganggu.
Dan akhirnya kekuasaan yang sibuk memecahkan cermin akan meretakkan dirinya sendiri. Ketika media ditekan yang hancur bukanlah medianya melainkan kepercayaan publik pada panggung kekuasaan itu. Jika panggung itu retak siapa takut untuk menjatuhkannya.
Dwi Taufan Hidayat