Fhoto: Ilustrasi (Antara)
Jakarta, Majalahjakarta.com – Polemik serius mewarnai relasi kekuasaan dan kebebasan pers setelah Biro Pers, Media, dan Informasi (BPMI) Sekretariat Presiden mencabut kartu identitas Pers Istana milik jurnalis CNN Indonesia, Diana Valencia, pada Sabtu (27/9).
Langkah yang dilakukan secara langsung-seorang staf BPMI mengambil kartu tersebut di kantor CNN Indonesia, Jalan Kapten P. Tendean, Jakarta-menyulut tanda tanya besar: apakah pencabutan ini sekadar prosedural, atau ada sinyal politik yang lebih dalam?
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Pemimpin Redaksi CNN Indonesia, Titin Rosmasari, menyebut pihaknya terkejut dan mempertanyakan dasar keputusan itu. “Pertanyaan Diana ke Presiden Prabowo justru kontekstual dan relevan dengan kepentingan publik, yakni soal Program Makan Bergizi Gratis (MBG),” ujarnya dalam keterangan tertulis, Minggu (28/9). CNN Indonesia bahkan telah melayangkan surat resmi ke BPMI dan Mensesneg untuk meminta klarifikasi.
Intervensi Kekuasaan atau Prosedur Teknis?
Kasus ini menghidupkan kembali diskursus klasik: sejauh mana kekuasaan negara dapat mengatur lalu lintas kerja jurnalistik di lingkungan Istana? Bila pencabutan ID Pers hanya karena pertanyaan kritis terkait MBG, maka publik berhak khawatir: apakah Istana sedang membangun benteng eksklusivitas dengan cara menyaring suara yang tak nyaman bagi pemerintah?
Sikap Dewan Pers: Mengingatkan Istana
Ketua Dewan Pers, Komaruddin Hidayat, mengonfirmasi telah menerima pengaduan CNN Indonesia. Ia menegaskan bahwa kebebasan pers adalah amanah konstitusi dan dilindungi Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.
“Biro Pers Istana perlu memberikan penjelasan terbuka agar tidak menimbulkan preseden buruk. Pers tidak boleh dihambat, apalagi di pusat kekuasaan negara,” katanya.
Komaruddin menegaskan agar kasus ini tidak berulang demi terjaganya iklim kebebasan pers. Ia bahkan menyerukan agar akses liputan Diana Valencia segera dipulihkan.
Istana Bungkam, Publik Bertanya
Sementara itu, Menteri Sekretaris Negara Prasetyo Hadi enggan menjawab langsung persoalan ini. “Kita fokus yang penting beres MBG dulu ya, jangan sampai ada kejadian lagi,” singkatnya ketika ditemui di Kementerian Kesehatan, Jakarta.
Pernyataan tersebut justru memperkuat kesan bahwa pemerintah memilih menutup diskusi substansial terkait kebebasan pers, dan mengalihkan fokus pada program politik populis.
Kasus ini bukan sekadar administrasi pencabutan ID Pers, melainkan ujian etis, politik, dan akademik bagi demokrasi Indonesia. Istana adalah simbol keterbukaan sekaligus pusat legitimasi kekuasaan. Jika akses pers di sana dibatasi tanpa alasan transparan, maka demokrasi kehilangan salah satu tiang penopangnya: kontrol publik melalui jurnalisme kritis.
Pertanyaannya kini: apakah pencabutan ini akan menjadi preseden berbahaya bagi wartawan lain yang berani mengajukan pertanyaan tak nyaman, atau justru menjadi momentum publik untuk menuntut keterbukaan lebih besar dari pemerintah? (Red)
Sumber: CNN Indonesia