Cerpen: Dua Palu Satu Panggung, Demokrasi Tertukar Logika

- Penulis

Minggu, 28 September 2025 - 06:48

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Spread the love

Jakarta, Majalahjakarta.com – Di dunia politik Konoha, apa pun bisa terjadi. Seolah-olah panggung kekuasaan hanyalah pentas sandiwara yang dipentaskan berulang. Kali ini, Partai Daun Rindang menggelar muktamar di tepi pantai. Publik berharap lahir satu pemimpin baru yang bisa membawa harapan. Namun, yang lahir justru dua ketua umum dalam satu forum, dua palu yang mengetuk logika.

Malam di Pantai Rantau Biru terasa lembap, udara bercampur asin ombak dan aroma jagung bakar. Di sanalah Partai Daun Rindang menggelar Muktamar X yang katanya akan menjadi tonggak sejarah baru. Sejak sore, spanduk hijau tua dengan lambang daun terulur ke segala arah. Ratusan kader berdesakan masuk, sementara wartawan sibuk mencari sudut terbaik agar drama yang sebentar lagi meletup tidak terlewatkan.

Ketua sidang pertama, Harun Sakti, tampak gagah berdiri di podium. Tangannya memegang palu sidang dengan penuh percaya diri. Di bawah sorotan lampu, ia mengumumkan: “Dengan ini, kami menetapkan Kakanda Mahendra Surya sebagai Ketua Umum Partai Daun Rindang!” Serentak, 1.304 muktamirin berdiri, sebagian bertepuk tangan, sebagian hanya terdiam mungkin bingung, mungkin lelah. Palu diketukkan, tok! Maka resmi sudah Mahendra sebagai pemimpin baru.

ADVERTISEMENT

ads

SCROLL TO RESUME CONTENT

Namun, politik tak pernah tidur. Dini hari, ketika sebagian peserta sudah lelap, muncul lagi gelombang lain. Dipimpin tokoh flamboyan, Raden Ananta, mereka menggelar aklamasi sendiri. Di podium yang sama, meski kursi-kursi sudah berserakan akibat keributan semalam, Ananta berdiri tegak. “Saya punya mandat, saya punya dukungan DPW dan DPC!” katanya lantang. Lalu, tok! Palu lain diketukkan. Lahirlah ketua umum kedua: Aditya Kusuma.

Satu muktamar, dua palu, dua ketua. Logika runtuh, demokrasi berubah jadi parodi.

Kursi yang semula hanya untuk diduduki, berubah jadi senjata malam itu. Lempar kursi pertama meluncur seperti shuriken, diikuti teriakan dan dorongan. Beberapa kader harus dilarikan ke klinik. Panitia buru-buru menyalahkan “penyusup politik,” meski entah siapa sebenarnya. Kabar liar beredar: mungkin agen Partai Serigala Putih, atau hanya tukang parkir tersesat. Polisi dipanggil, seolah kursi terbang butuh laporan resmi.

Dalam chaos itu, publik makin bingung. Mahendra Surya sudah sah secara prosedur, hadir di hari pertama, didukung mayoritas. Tapi Aditya Kusuma juga mengklaim mandat, sah dengan versi berbeda. Ini seperti pertandingan bola: peluit sudah berbunyi, skor final sudah tercatat, tapi ada penonton masuk lapangan, bawa bola sendiri, bikin gol tambahan, lalu klaim piala.

Kedua tokoh sama-sama punya alasan mulia. Mahendra meminta maaf karena partai gagal masuk parlemen pada pemilu 2024. Ia berjanji membenahi internal. Aditya, dengan nada tak kalah percaya diri, berjanji membawa Partai Daun Rindang kembali ke Senayan Konoha. Dua sopir rebutan setir, padahal mobil sudah mogok, bensin habis, ban gembos. Tapi keduanya yakin bisa menyalip kereta cepat.

Baca Juga:  Ketua Parpol Beli Artis Sangat Mahal Jadi DPR, Jangan Tanyakan Pintar atau Punya Integritas!

Sebagai klimaks, panitia tetap mengundang Presiden Hanzo dan Wakil Presiden Minato hadir di penutupan muktamar. Bayangkan suasana: di depan panggung, Hanzo menatap tajam, Minato tersenyum kaku. Lalu MC berkata, “Hadirin sekalian, mari sambut Ketua Umum Partai Daun Rindang: Mahendra Surya… dan juga Aditya Kusuma!” Dua-duanya sah. Penonton menahan napas, berharap ada duel tinju politik.

Publik menertawakan, media menjadikan meme. “Demokrasi Kuantum,” kata seorang komentator. Seperti kucing Schrödinger, partai punya dua ketua sekaligus: Mahendra hidup, Aditya hidup. Yang mati hanyalah logika.

Waktu bergulir. Beberapa minggu kemudian, drama itu masih jadi bahan ejekan. Tapi bagi kader bawah, kebingungan berubah jadi ketidakpastian. Dua surat instruksi turun, dua tanda tangan berbeda, dua cap basah yang sama-sama mengaku asli. Di daerah, pengurus bingung: rapat ke versi Mahendra atau versi Aditya?

Sementara itu, isu lain berembus. Ada rumor muktamar ini sengaja diatur. Katanya, ada kelompok bayangan yang memang ingin Partai Daun Rindang hancur. “Biarkan mereka saling berebut, nanti kita tinggal ambil sisanya,” bisik seorang tokoh politik dari partai lain.

Di sebuah kafe kecil dekat pantai, seorang wartawan senior bernama Raka menutup laptopnya. Ia baru saja menulis artikel berjudul “Satu Muktamar, Dua Ketua: Opera Daun Rindang.” Ia tersenyum getir, menyeruput kopi pahit. Lalu temannya bertanya, “Apa kau yakin semua ini nyata? Atau hanya permainan yang mereka sengaja ciptakan?”

Raka terdiam. Ia ingat satu hal: semalam sebelum muktamar, ia melihat panitia menurunkan dua palu dari kotak kayu yang sama. Dua palu identik, seolah memang dipersiapkan sejak awal.

Dan benar saja. Minggu berikutnya, terbongkar fakta mengejutkan. Ternyata, Mahendra Surya dan Aditya Kusuma bukan musuh, melainkan saudara sepupu yang sudah lama bersekongkol. Mereka sengaja menciptakan drama dua aklamasi untuk menguji kesetiaan kader, sekaligus mencuri perhatian media. Strategi “dua ketua” hanyalah sandiwara.

Kejutan-nya lebih pahit: saat publik sibuk menertawakan, sebuah dokumen bocor menunjukkan Partai Daun Rindang sebenarnya sudah menandatangani kesepakatan fusi dengan Partai Serigala Putih sejak bulan lalu. Dengan begitu, drama dua palu hanyalah pengalihan isu.

Ketika berita itu pecah, rakyat Konoha baru sadar: kursi-kursi yang dilempar di pantai itu hanyalah properti teater. Demokrasi pun rupanya bisa dijual sebagai hiburan murahan.

Dwi Taufan Hidayat

Berita Terkait

Gubernur, Plat Nomor, dan Negara Bagian
Muktamar PPP di Ancol: Opera Politik Dua Palu, Dua Ketua, Nol Kursi DPR
Ribuan Anak Keracunan, Negara Anggap Wajar
Politik Dinasti: Satire di Negeri Demokrasi
Prof. Sutan Nasomal Desak Presiden Prabowo Pimpin Langsung Pemberantasan Korupsi
Oligarki Menyusup Meritokrasi Jadi Basa Basi
Diplomasi Retorika, Gaza Tetap Berdarah
Reformasi Polri: Membangun Kepercayaan, Bukan Sekadar Merombak Struktur
Berita ini 19 kali dibaca

Berita Terkait

Selasa, 30 September 2025 - 18:33

Kakanwil Ditjenpas Aceh Laksanakan Bintorwasdal di Lapas Lhoksukon

Selasa, 30 September 2025 - 16:56

Aipda Antoni Ajak Pelajar Jadi Duta Donor Darah di HUT ke-80 PMI Gorontalo

Selasa, 30 September 2025 - 16:37

BPKH-BMM Gelar Operasi Katarak Gratis untuk 100 Warga Pandeglang

Selasa, 30 September 2025 - 15:30

Debut Internasional Redho, Indonesia Siap Bangga

Selasa, 30 September 2025 - 15:11

Tragis, Sejumlah Santri Tertimbun Reruntuhan Masjid Ponpes Al Khozini yang Ambruk di Sidoarjo

Selasa, 30 September 2025 - 09:13

Apel ASN di Kantor Gubernur NTT, Melki Laka Lena Tekankan Disiplin dan Komunikasi Publik

Selasa, 30 September 2025 - 08:33

JPU Tolak Pledoi Terdakwa Tabrak Lari Grisenda, Keadilan Dicari di PN Jakarta Utara

Senin, 29 September 2025 - 20:15

Demokrasi Digebuk Pers Dicabut Hak

Berita Terbaru

Berita

Prajurit Kostrad Ziarah Ke Makam Presiden Soeharto

Rabu, 26 Feb 2025 - 20:35

Nasional

Petugas KUA Dilibatkan Awasi Program MBG

Rabu, 1 Okt 2025 - 15:02

0
Would love your thoughts, please comment.x
()
x