Jakarta, majalahjakarta.com – Senja merambat pelan di sebuah desa kecil. Angin sore membawa aroma tanah basah setelah hujan. Di beranda rumah kayu sederhana, seorang pemuda bernama Ilham duduk termenung. Di hadapannya, secarik kertas berjudul “Untaian Nasehat, Untukku & Untukmu” tergeletak, berisi kalimat yang menusuk hati: “Jagalah pikiranmu, karena dia akan menjadi perkataanmu…”
Ilham mendapatkannya dari seorang kawan di mushala. Entah mengapa, kalimat itu terasa mengunci dadanya. Ia menatap kosong ke arah sawah, teringat akan kebiasaan buruk yang masih melekat dalam hidupnya: menunda shalat, gemar bergunjing, dan sering menghabiskan waktu tanpa arah.
Namun, ada sesuatu yang lebih mengusik. Ibunya yang sakit keras di dalam kamar, seolah menjadi cermin betapa rapuhnya hidup. Dokter sudah menyerah, tapi entah kenapa ibunya masih bertahan. Ilham mendengar suara batuk ibunya, lalu buru-buru masuk.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
“Ilham…” suara itu lirih, “ingatlah… kebiasaanmu akan ikut bersamamu di akhir hayat. Jangan sia-siakan waktu…”
Ilham menggenggam tangan ibunya yang dingin. Kalimat itu menancap dalam-dalam, tapi tetap saja ia merasa sulit berubah.
Hari-hari berikutnya, Ilham mencoba memperbaiki diri. Ia memaksa diri shalat tepat waktu, belajar menahan lidah, dan mulai membaca Al-Qur’an. Tapi kebiasaan lama kerap menyeretnya kembali. Kadang ia kalah oleh godaan gawai, kadang ia lengah dalam pergaulan.
Di satu sisi, ia ingin berubah. Di sisi lain, ia merasa sudah terlambat. Bayangan ibunya yang makin lemah membuatnya semakin resah.
Suatu malam, ketika hujan deras mengguyur, ibunya memanggil dengan suara nyaris tak terdengar. “Nak… kematian itu nyata. Lebih dahsyat dari yang kau bayangkan bukan ajalnya, tapi lalainya manusia menghadapinya.”
Ilham menangis. Kata-kata itu terasa seperti wasiat terakhir. Malam itu ibunya berpulang, dengan senyum tenang di bibirnya. Ilham terhenyak. Ibunya wafat dengan kalimat tasbih di ujung napasnya.
Waktu berjalan. Kehidupan terus menuntut. Ilham makin giat memperbaiki diri. Ia sering mengulang nasehat dari surat Al-‘Ashr, juga hadis tentang kubur sebagai pintu pertama akhirat. Namun di balik semangatnya, ada ketakutan yang selalu menghantui: bagaimana ia sendiri akan menghadapi sakaratul maut kelak?
Ia sering merenung di pemakaman, menatap nisan ibunya. Di situ, ia merasa setiap doa yang ia panjatkan sekaligus menjadi pengingat untuk dirinya.
Tahun berlalu. Ilham kini dikenal lebih taat. Ia sering memberi tausiyah singkat pada pemuda kampungnya. Kata-katanya lembut, tidak menggurui, hanya mengingatkan. Banyak yang kagum dengan perubahan itu.
Namun, di balik ketenangan wajahnya, ada rahasia yang tak pernah ia bagikan.
Suatu malam, dalam tidurnya, Ilham bermimpi. Ia melihat dirinya sedang menghadapi sakaratul maut. Nafasnya sesak, keringat dingin mengalir. Namun anehnya, yang muncul pertama kali di kepalanya bukanlah ayat-ayat Allah, bukan pula doa-doa yang ia pelajari.
Yang terngiang justru kebiasaan lamanya: suara tawa saat bergunjing, detik-detik ia menunda shalat hanya demi menonton film, bahkan kata-kata kasar yang pernah ia lontarkan. Semua berputar seperti rekaman yang tak bisa dihentikan.
Ia berusaha melawan, ingin mengingat kalimat “laa ilaaha illallah”, tapi lidahnya kelu.
Ia terbangun dengan tubuh gemetar. Malam itu, ia sadar: kebiasaan lama yang dianggap kecil ternyata meninggalkan jejak dalam.
Sejak saat itu, ia berjuang lebih keras. Ia menulis di dinding kamarnya: “Kebiasaanmu adalah takdirmu.” Ia tak mau kalah oleh bayangan buruk di mimpinya.
Namun hidup terus bergulir, dan manusia tetap tempatnya salah. Sesekali ia tergelincir lagi. Di situlah rasa takutnya semakin besar. Ia sering berdoa panjang, “Ya Allah, matikan aku dalam kebiasaan yang baik, bukan dalam kebiasaan buruk.”
Framing cerita itu ditutup pada suatu sore, ketika hujan turun rintik. Para tetangga berkerumun di rumah Ilham. Ia ditemukan meninggal tiba-tiba di beranda rumah, dengan posisi duduk bersila, mushaf terbuka di hadapannya. Wajahnya tampak tenang, seperti orang tertidur.
Semua orang meneteskan air mata. Mereka berkata, “Betapa indah akhir hidupnya, wafat bersama Al-Qur’an.”
Namun tak seorang pun tahu, di genggaman tangannya bukanlah mushaf yang baru ia baca. Saat jenazahnya diangkat, kertas lusuh terjatuh dari balik mushaf itu secarik catatan lama berjudul “Untaian Nasehat, Untukku & Untukmu.”
Di bawahnya, dengan tulisan tangannya sendiri, tertulis kalimat terakhir:
“Aku masih takut. Jangan-jangan kebiasaanku yang lama lebih kuat menjemputku daripada kebiasaan baikku yang baru.”
Dwi Taufan Hidayat