M-J. Jakarta – Ketika KPK menggeledah rumah dinas milik seorang pejabat kontroversial, mereka tidak hanya menemukan barang bukti, tetapi juga membuka tabir gelap yang tak pernah disangka publik. Empat ponsel yang disembunyikan di balik plafon menjadi saksi bisu, menyimpan rahasia yang mampu mengguncang lebih dari sekadar karier politik. Namun, siapa sebenarnya yang sedang bermain di balik layar?
Hujan turun deras sore itu, membasahi halaman rumah dinas bergaya kolonial di kawasan Jakarta Selatan. Lampu-lampu penerangan halaman tampak redup, seakan ikut menyimpan rahasia yang selama ini dikubur rapat oleh pemilik rumah: Leonard Bramasta, seorang pejabat yang dikenal vokal dalam isu integritas dan keadilan sosial. Ia pernah menjadi simbol perlawanan terhadap korupsi, bahkan sering tampil di layar televisi sebagai sosok yang berani. Tapi sore itu, nama dan citranya terancam hancur.
Di balik kaca jendela ruang tamu, Leonard duduk dengan napas tertahan. Di hadapannya, tiga penyidik KPK dengan rompi hitam bertuliskan “Penyidik KPK” sedang memeriksa setiap sudut ruangan. Salah satu dari mereka, seorang pria berambut cepak bernama Raka, menatap ke arah Leonard sambil bertanya singkat.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
“Pak Leonard, kami mendapat informasi ada barang yang Anda sembunyikan. Kami akan memeriksa sampai tuntas.”
Leonard hanya mengangguk, mencoba menjaga ekspresi tenang, meskipun keringat dingin sudah membasahi pelipisnya. Matanya sesekali melirik ke arah plafon ruang kerja di lantai dua. Di sanalah rahasia terbesarnya disimpan.
Rahasia itu bukan sekadar ponsel.
Semuanya berawal tiga bulan lalu, ketika Leonard menghadiri sebuah pertemuan informal dengan seorang pengusaha besar bernama Adrian Prakoso. Pertemuan itu awalnya hanya membahas proyek pengadaan fasilitas keselamatan kerja untuk industri migas. Namun, seiring obrolan yang semakin malam, Adrian menyinggung sesuatu yang lebih rumit.
“Pak Leonard, saya butuh sertifikat K3 untuk proyek ini. Cepat, tanpa ribet. Tentu saja, saya tahu Anda orang yang tepat.” Adrian tersenyum tipis sambil meneguk kopi hitamnya.
Leonard menatapnya lekat-lekat. Ia tahu permintaan itu berbahaya. Ia juga tahu, jika menolak, Adrian bisa menjadi musuh yang berbahaya. Dan jika menerima, kariernya bisa tamat. Tapi di balik tatapan Adrian, Leonard melihat sebuah jebakan yang sulit dihindari.
Sejak malam itu, telepon-telepon misterius mulai datang. Nomor yang tidak dikenal, suara yang selalu berbeda-beda, tetapi dengan pesan yang sama: “Mainkan peranmu, Leonard, atau kau akan menyesal.”
Leonard panik. Ia menyadari bahwa dirinya sudah masuk dalam lingkaran permainan kotor. Ia mulai merekam semua percakapan, semua pesan, semua bukti ancaman. Ia menyimpan semuanya dalam empat ponsel berbeda ponsel yang tidak pernah tersambung ke identitasnya, disembunyikan rapi di balik plafon rumah dinasnya.
Ia berpikir, jika suatu hari semuanya meledak, ponsel-ponsel itu bisa menjadi tameng. Ia hanya lupa satu hal: tamu tak diundang datang lebih cepat dari rencananya.
Suara langkah penyidik membuyarkan lamunannya. Raka kini berdiri di tangga, menatap plafon ruang kerja.
“Pak Leonard, boleh kami periksa ruangan ini?” tanyanya datar.
“Silakan…” suara Leonard bergetar.
Tangga lipat dibawa. Obeng dan senter sudah siap. Dalam hitungan menit, sebuah panel plafon terbuka, menampakkan ruang kecil yang selama ini menjadi gudang rahasia Leonard. Dari sana, satu per satu ponsel diambil, dibungkus plastik bukti, dan dimasukkan ke dalam kotak. Empat ponsel, dengan baterai masih terpasang, seolah menatap Leonard dengan mata yang dingin.
“Kenapa Anda sembunyikan ini?” tanya Raka.
Leonard menarik napas panjang, mencoba merangkai kata. “Itu… untuk keamanan saya sendiri.”
Raka mengangkat alis, jelas tidak puas dengan jawaban itu. Ia menatap Leonard tajam, lalu berkata, “Kami akan analisis isinya. Semoga tidak ada yang memberatkan Anda, Pak.”
Leonard ingin tertawa, tapi suara tawanya hanya mengendap di dada. Ia tahu, ponsel-ponsel itu bukan sekadar memberatkan, tapi bisa menenggelamkannya untuk selamanya.
Beberapa hari setelah penggeledahan, media nasional geger. Judul-judul berita bertebaran:
“Empat Ponsel, Empat Rahasia Gelap Pejabat Antikorupsi”
“Leonard Bramasta Diduga Terlibat Pemerasan Sertifikat K3”
Namun, yang tidak diketahui publik adalah apa yang sebenarnya ada di dalam ponsel-ponsel itu. Di salah satu ponsel, terdapat rekaman suara Adrian, memerintahkan sesuatu dengan nada dingin:
“Hapus semua jejak, termasuk dia.”
Kalimat itu membuat penyidik KPK berhenti sejenak. Mereka saling pandang. “Siapa ‘dia’?” gumam salah satu penyidik.
Namun, ponsel berikutnya menyimpan sesuatu yang lebih mengejutkan: sebuah foto. Foto seorang pria yang wajahnya sangat familiar, duduk berdampingan dengan Adrian di sebuah kafe mewah. Pria itu bukan orang sembarangan. Ia adalah Raka penyidik yang memimpin penggeledahan rumah Leonard.
Seminggu kemudian, Raka menghilang tanpa jejak. Tak ada yang tahu ke mana ia pergi, atau siapa yang menolongnya. Sementara itu, Leonard duduk di ruang tahanan, menatap langit-langit putih dengan tatapan kosong. Ia sudah tidak punya apa-apa lagi kecuali satu pikiran yang berputar-putar di kepalanya:
“Siapa yang sebenarnya mengendalikan permainan ini?”
Dan di sudut ruang gelap, seorang pria membuka pesan di ponselnya. Nama pengirimnya: Adrian Prakoso. Isi pesannya:
“Permainan baru saja dimulai. Pastikan dia tidak bicara.”
Dwi Taufan Hidayat