M-J. Jakarta – Dalam sunyi malam yang menelan suara, seorang pria berdiri di ambang keputusasaan. Nafkah halal terasa bagai bintang di langit: jauh, redup, dan hampir tak terjangkau. Sementara kebutuhan hidup menggigit seperti serigala lapar. Ia teringat sebuah doa sederhana, laksana obor kecil di tengah badai, yang diajarkan Nabi. Sebuah doa yang kelak mengubah arah hidupnya dengan cara yang tak pernah ia sangka.
Hujan turun sejak sore, menampar atap seng rumah tua yang hampir roboh. Rintiknya bagaikan jarum yang menjahit luka-luka kemiskinan. Air merayap masuk dari celah genting, menetes perlahan ke tikar anyaman pandan yang sudah lusuh seakan ikut menangis bersama penghuni rumah itu. Ahmad duduk bersila di sudut ruangan, matanya terpaku pada wajah istrinya yang terlelap di samping anak semata wayangnya. Tidurnya tak nyenyak, tubuhnya sesekali bergeliat gelisah. Perut lapar memang tak pandai berbohong.
Sudah tiga hari Ahmad tak membawa pulang sepeser uang. Pekerjaan buruh serabutan bagai daun kering yang diterbangkan angin: tak pernah pasti ke mana arahnya. Wajahnya tirus, matanya cekung, tubuhnya kian ringkih. Namun yang lebih menggerogoti adalah rasa bersalah yang menggantung di dadanya, seperti batu karang yang menahan napas laut.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Di luar sana, jalanan basah memantulkan cahaya lampu kota yang berkelip indah namun menyakitkan. Di sudut pikirannya, ada bisikan yang semakin kencang, seperti ular licin menyusup ke dalam relung jiwa:
“Sekali saja, Ahmad. Ambil yang bukan hakmu, dan semua ini berakhir.”
Ahmad menggigil, bukan karena dingin, tapi karena pertempuran sunyi di dalam hatinya. Ia teringat pesan mendiang ayahnya, yang suaranya kini kembali menggema, seperti angin yang datang membawa harum masa lalu:
“Nak, jangan pernah menggadaikan imanmu untuk sesuap nasi. Lapar bisa hilang, tapi dosa menempel seperti bayangan takkan pergi kecuali kau meninggalkan cahaya.”
Malam kian pekat. Ahmad mengambil wudhu dengan air hujan yang ditampung di ember tua. Airnya dingin menusuk tulang, seakan menguji sejauh mana tekadnya bertahan. Ia berdiri di atas sajadah lusuh sajadah yang telah menjadi saksi ribuan doa yang terucap tanpa jawaban cepat. Tubuhnya bergetar, bibirnya pecah, tapi hatinya tetap hidup. Lalu ia berdoa, lirih namun mengguncang langit:
“اللَّهُمَّ اكْفِنِي بِحَلَالِكَ عَنْ حَرَامِكَ وَأَغْنِنِي بِفَضْلِكَ عَمَّنْ سِوَاكَ”
“Ya Allah, cukupkanlah aku dengan yang halal dan jauhkanlah aku dari yang haram, dan cukupkanlah aku dengan karunia-Mu dari bergantung pada selain-Mu.”
Air mata jatuh, menyatu dengan serat sajadah, membentuk sungai kecil yang mengalir menuju harapan. Setelah berdoa, ia rebahkan tubuhnya di lantai yang dingin. Dalam hatinya hanya ada satu keyakinan: Allah tidak pernah meninggalkan hamba-Nya yang berserah, meski dunia seakan memunggungi.
Pagi datang membawa cahaya pucat yang malu-malu menembus awan. Ahmad bangun dengan tubuh lemah, tapi tekadnya sekeras baja yang ditempa api. Ia melangkah keluar rumah, menapaki jalanan licin yang memantulkan sisa hujan. Di perempatan kota, ia melihat kerumunan orang mengitari sesuatu. Sebuah dompet tergeletak di jalan, tebal berisi uang, bagaikan emas yang jatuh dari langit.
Hati Ahmad berdegup kencang, seperti genderang perang di dadanya. Tangannya gemetar saat memungut dompet itu. Di kepalanya berputar ribuan pikiran: Ini jawaban doa, atau godaan yang menyamar sebagai berkah? Ia menatap dompet itu lama, lalu menatap langit. Dan doa semalam kembali terngiang, seperti gema yang tak mau pergi. Dengan langkah mantap, ia bertanya pada orang-orang sekitar. Tak ada yang mengaku. Ahmad pun memutuskan: dompet itu harus kembali pada pemiliknya. Ia menyerahkannya ke pos polisi.
Petugas membuka dompet, menemukan identitas pemilik seorang pengusaha kaya. Ahmad diminta menunggu. Satu jam kemudian, seorang pria paruh baya datang tergesa. Wajahnya lega, matanya berbinar.
“Terima kasih, Nak. Jarang ada orang jujur seperti kamu sekarang,” ucapnya, lalu mengeluarkan segepok uang. “Ini tanda terima kasih saya. Ambil.”
Ahmad menunduk, suaranya lirih tapi tegas: “Maaf, Pak. Saya ikhlas. Bukan hak saya.”
Pria itu menatap Ahmad lama, seakan membaca lembaran hidupnya yang penuh coretan luka. Lalu ia bertanya, “Kamu punya pekerjaan?”
Ahmad menggeleng. “Saya kerja serabutan, Pak.”
Pria itu tersenyum, sebuah senyum yang sehangat mentari pertama. “Kalau begitu, mulai besok datang ke kantor saya. Saya butuh orang jujur di usaha saya.”
Ahmad terperangah. Hatinya bergetar, seperti mendengar bisikan Ilahi: Doamu telah dijawab.
Bulan bergulir. Ahmad kini bekerja sebagai staf gudang di perusahaan besar. Hidupnya perlahan membaik. Ia bisa mengontrak rumah layak, menyekolahkan anaknya, bahkan menabung. Setiap malam ia tetap berdoa dengan doa yang sama, kali ini bukan lagi dengan air mata sedih, tapi air mata syukur.
Namun, kebahagiaan adalah kaca tipis: indah tapi rapuh. Suatu sore, ketika Ahmad mengecek stok barang, ia menemukan kejanggalan. Beberapa barang mahal hilang dari daftar, padahal fisiknya tak ada di gudang. Setelah menelusuri jejak, kebenaran menamparnya: penggelapan itu dilakukan oleh orang yang memberinya pekerjaan bos yang dulu menolongnya.
Langit di atas kepala Ahmad seakan runtuh. Dada yang dulu lapang kini sesak, seakan dipeluk duri. Ia dihadapkan pada dilema yang menggigit seperti ular: melaporkan kebusukan orang yang memberinya penghidupan, atau diam dan ikut kotor. Malam itu, ia kembali bersujud, menundukkan kepala yang berat menahan badai.
“اللَّهُمَّ اكْفِنِي بِحَلَالِكَ عَنْ حَرَامِكَ وَأَغْنِنِي بِفَضْلِكَ عَمَّنْ سِوَاكَ”
Doa itu berulang, berulang, berulang—seperti dentang lonceng yang memecah keheningan. Air mata mengalir deras, tapi hati Ahmad tetap bersandar pada satu janji: Allah cukup untukku.
Keesokan paginya, Ahmad memilih kebenaran. Ia melaporkan penggelapan itu ke pihak berwenang. Namun, siapa sangka? Setelah laporan masuk, justru Ahmad yang ditangkap. Semua bukti diarahkan kepadanya, semua tuduhan dilempar ke dadanya. Bosnya mengelak, dan perusahaan dengan mudah menjadikannya kambing hitam.
Ahmad terdiam di ruang tahanan, menatap langit-langit yang kelabu. Dunia seperti menutup pintunya, tapi Ahmad tahu, langit tak pernah menutup pintunya untuk doa. Dengan suara serak ia berucap, “Ya Allah, mungkin ini cara-Mu menguji janji yang dulu kubuat.”
Di luar, dunia terus berputar. Di dalam, Ahmad tetap mengulang doa yang sama, dengan keyakinan yang tak tergoyahkan. Karena ia percaya, bahkan di balik gelapnya penjara, cahaya Allah tetap ada meski redup, meski jauh, tapi tak pernah padam.
Dan di sanalah Ahmad belajar satu hal: menjaga kejujuran jauh lebih berat daripada sekadar menemukannya.
Dwi Taufan Hidayat