Jakarta, Majalahjakarta.com – Hari pertama pelaksanaan Tes Kemampuan Akademik (TKA) bagi siswa SMA/MA/SMK di seluruh Indonesia menjadi ajang ujian bukan hanya bagi peserta didik, tetapi juga bagi sistem pendidikan nasional. Gangguan server, keterlambatan token, dan perbedaan kesiapan infrastruktur memperlihatkan jurang digital yang nyata. Antara ambisi digitalisasi dan realitas di lapangan, kebijakan ini menuntut koreksi mendalam.
Pagi itu, suasana di ruang komputer SMA Negeri 1 Tegal terasa tegang. Belasan siswa duduk di depan layar, menatap tampilan yang tak kunjung menampilkan token ujian. “Jaringan masih error, sabar ya,” ucap proktor sambil menekan tombol refresh berulang kali. Di dinding, jam menunjukkan pukul delapan lewat sepuluh. Ujian yang seharusnya dimulai lima belas menit lalu belum juga bisa dimulai. Situasi serupa terjadi di banyak daerah lain.
Pelaksanaan hari pertama Tes Kemampuan Akademik (TKA) yang digelar awal November menjadi ujian sesungguhnya bagi kesiapan sistem pendidikan digital nasional. Tes ini dimaksudkan untuk menilai kemampuan akademik siswa kelas akhir SMA/MA/SMK secara serentak dengan moda daring, semi daring, dan luring. Namun dari laporan lapangan, masalah teknis justru mendominasi narasi hari pertama.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Menurut laporan Detik.com (27 Oktober 2025), Kementerian Pendidikan menyebut pelaksanaan TKA adalah bagian dari transformasi asesmen nasional yang menggantikan sistem ujian sekolah dan menjadi basis seleksi pendidikan tinggi. Namun sejumlah sekolah mengaku belum siap. Di beberapa provinsi, jaringan internet tidak stabil dan peralatan TIK terbatas.
Sebelum ujian resmi dimulai, simulasi atau gladi bersih yang digelar seminggu sebelumnya telah menimbulkan kegelisahan. Tempo (29 Oktober 2025) melaporkan gangguan sistem yang membuat banyak peserta gagal login atau terhenti di tengah jalan. Pemerintah menyebut penyebabnya lonjakan pengguna pada waktu bersamaan. Namun pernyataan itu menimbulkan pertanyaan mendasar: apakah uji coba beban sistem telah benar-benar dilakukan untuk jutaan peserta di seluruh wilayah?
Masalah utama tidak berhenti di situ. Model pelaksanaan TKA dibagi dalam tiga moda: full online, semi-online token online, dan semi-online token offline bagi sekolah di daerah blank spot. Secara konsep, pembagian ini dianggap solusi adaptif. Namun di lapangan, proses distribusi token dan koordinasi antara dinas pendidikan, sekolah, dan panitia pusat berjalan tidak sinkron. Radar Nganjuk (Jawa Pos, 30 Oktober 2025) mencatat banyak sekolah di wilayah pedalaman terpaksa menunda ujian atau beralih ke moda offline karena server pusat tak responsif.
Kesenjangan digital menjadi faktor paling krusial. Di kota besar, TKA berjalan relatif lancar; di pelosok, listrik padam dan koneksi lemah menjadi penghalang. Seorang guru di Kabupaten Alor, Nusa Tenggara Timur, seperti dikutip Medcom.id (27 Oktober 2025), mengatakan bahwa sekolahnya hanya memiliki dua komputer dan harus menjalankan ujian bergantian dalam tiga sesi. “Kami bukan tidak mau maju, tapi jaringan dan alat belum mendukung,” ujarnya.
Di sisi publik, ketegangan lain muncul. Suara.com (3 November 2025) mencatat kekhawatiran para orang tua dan siswa terhadap keadilan sistem penilaian. Rumor tentang kebocoran soal dan perbedaan tingkat kesulitan di ruang ujian berbeda membuat sebagian peserta merasa dirugikan. Meski Kemendikdasmen menegaskan soal diacak secara digital, ketidakpastian itu memperburuk krisis kepercayaan.
Fenomena petisi daring yang menuntut penundaan atau evaluasi ulang TKA juga merebak. Tempo (3 November 2025) melaporkan munculnya ratusan tanda tangan dari guru dan orang tua yang menilai kebijakan ini terlalu tergesa-gesa tanpa kesiapan teknologi dan SDM. Mereka mengingatkan bahwa transformasi pendidikan digital seharusnya disertai pemerataan fasilitas, bukan sekadar mengganti format ujian.
Di lapangan, proktor dan kepala sekolah berada di garis depan improvisasi. Ada yang menyiapkan hotspot pribadi, ada pula yang meminjam laptop dari siswa, dan sebagian memilih menunda sesi ujian. Namun improvisasi ini melahirkan persoalan baru: waktu ujian tak seragam, sistem penilaian sulit diaudit, dan potensi ketidaksinkronan data meningkat. Pantau.com (3 November 2025) menyebut Kemendikdasmen menyiapkan ujian susulan bagi siswa yang terdampak, tapi kejelasan mekanisme dan pengawasan soal cadangan masih minim.
Di tengah kegaduhan ini, muncul ironi. TKA yang digagas untuk meningkatkan objektivitas dan pemerataan justru memperlihatkan ketimpangan struktural antara sekolah kaya teknologi dan sekolah miskin jaringan. Transformasi digital, bila dijalankan tanpa pemerataan infrastruktur, berpotensi memperlebar jurang pendidikan.
Namun bukan berarti kebijakan ini sepenuhnya keliru. Tujuan TKA mengukur kemampuan akademik dan memetakan kualitas pendidikan nasional tetap penting. Yang perlu dikoreksi adalah cara dan tempo pelaksanaannya. Ujian berskala nasional digital seharusnya dibangun di atas stress test sistem, pelatihan masif bagi proktor, dan komunikasi krisis yang terbuka. Sayangnya, komunikasi publik selama gangguan berlangsung masih sporadis. Penjelasan resmi datang terlambat, sementara informasi liar di media sosial beredar cepat.
Kritik utama bukan hanya soal teknis, melainkan soal transparansi dan legitimasi kebijakan. Masyarakat menuntut pemerintah lebih terbuka: berapa sekolah terdampak error, apa penyebabnya, dan bagaimana mekanisme perbaikan diatur. Tanpa itu, kepercayaan publik akan terus menurun.
Dari perspektif kebijakan, ada tiga langkah korektif yang mendesak dilakukan:
1. Audit menyeluruh terhadap infrastruktur dan keamanan sistem ujian, termasuk kapasitas server dan kesiapan sekolah.
2. Pemetaan digital nasional untuk memastikan sekolah-sekolah di daerah tertinggal mendapat prioritas perangkat dan pelatihan.
3. Transparansi hasil dan komunikasi publik agar masyarakat tahu bahwa evaluasi berjalan adil dan akuntabel.
Transformasi digital pendidikan memang tidak bisa dihindari. Namun digitalisasi tanpa kesiapan struktural hanya akan menjadi proyek ambisius yang menjauhkan esensi keadilan pendidikan.
Hari pertama TKA menjadi cermin: antara niat baik dan realitas, antara visi modernisasi dan luka lama ketimpangan. Ketika siswa diuji dengan soal pilihan ganda, negara justru diuji dengan pilihan yang jauh lebih berat mau belajar dari kesalahan, atau sekadar menambal sementara hingga masalah berikutnya datang lagi.
Barangkali inilah ujian sesungguhnya dari sebuah kebijakan pendidikan: bukan sekadar menilai kemampuan akademik siswa, tetapi menakar kemampuan negara untuk mendengarkan, berbenah, dan memperbaiki diri dari kegagalannya sendiri.
Dwi Taufan Hidayat

















