Jakarta, Majalahjakarta.com – Prabowo Subianto baru saja masuk daftar “500 Tokoh Muslim Paling Berpengaruh di Dunia 2026” versi The Royal Islamic Strategic Studies Centre (RISSC), menempati urutan ke-15. Namun, di balik tepuk tangan dan ucapan selamat, publik patut bertanya: apakah peringkat ini buah dari kepemimpinan yang berpengaruh, atau sekadar upaya diplomasi citra yang pandai mengatur sorotan? (detik.com, 31 Oktober 2025)
Presiden Republik Indonesia, Prabowo Subianto, masuk dalam daftar The Muslim 500: The World’s 500 Most Influential Muslims tahun 2026 dan menempati peringkat 15, tepat di bawah Putra Mahkota Arab Saudi Mohammed bin Salman. Pengumuman itu disampaikan oleh The Royal Islamic Strategic Studies Centre (RISSC), lembaga asal Yordania yang rutin merilis daftar tahunan pengaruh tokoh Muslim dunia. (kumparanNEWS, 31 Oktober 2025)
RISSC mendeskripsikan Prabowo sebagai presiden kedelapan Indonesia yang resmi menjabat sejak 20 Oktober 2024 setelah menang dalam pemilihan umum Februari 2024 dengan perolehan sekitar 58,6 persen suara. (themuslim500.com, 2025) Laporan itu menekankan aspek politik dan peran strategis Prabowo di negara berpenduduk Muslim terbesar di dunia, tetapi tidak menyinggung aspek kebijakan atau moralitas politik.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Sebagian publik menyambut kabar ini dengan rasa bangga. Ada yang menyebut pencapaian ini “mengobati rasa malu rakyat selama sepuluh tahun terakhir”. Namun, rasa bangga sering kali mengandung paradoks. Apakah pengakuan internasional otomatis berarti keberhasilan dalam negeri? Apakah sorotan lembaga luar negeri seharusnya menjadi tolok ukur pengaruh yang sejati?
RISSC sendiri menegaskan bahwa daftar ini bukan bentuk penghargaan atau endorsement, melainkan penilaian atas sejauh mana seorang tokoh memengaruhi komunitas Muslim dunia. Pengaruh itu bisa bersifat politik, sosial, ekonomi, atau budaya, tanpa menilai benar-salah tindakan tokoh tersebut. (detik.com, 31 Oktober 2025) Artinya, “berpengaruh” tidak selalu identik dengan “inspiratif” atau “adil”.
Dalam konteks ini, posisi 15 memang membanggakan. Tetapi di balik angka itu terselip ironi: apakah pengaruh yang dimaksud adalah kemampuan menggerakkan umat, memperjuangkan keadilan sosial, atau sekadar kapasitas mengatur narasi politik? Pengaruh sejati mestinya menetes ke bawah membuka peluang bagi rakyat kecil, bukan hanya mengisi halaman laporan lembaga internasional.
Perlu diingat, bukan kali ini saja tokoh Indonesia masuk daftar The Muslim 500. Sebelumnya, Presiden Joko Widodo, KH Ma’ruf Amin, dan Habib Luthfi bin Yahya juga sempat menempati posisi terhormat. (republika.co.id, 3 Januari 2023) Namun, publik tidak selalu menjadikannya bahan euforia nasional. Barangkali karena penghargaan seperti ini lebih sering menjadi cermin simbolik ketimbang indikator kinerja pemerintahan.
Klaim bahwa “akhirnya kita punya presiden yang membanggakan di dunia internasional” terdengar seperti pelipur lara atas kekosongan rasa bangga kolektif. Tapi apakah kebanggaan semacam itu cukup untuk mengimbangi realitas sosial di lapangan—ketimpangan ekonomi, harga pangan yang kian melambung, dan masih banyak warga yang kesulitan mengakses layanan dasar?
“Peringkat 15” hanya bermakna bila sejalan dengan kemajuan konkret. Karena pengaruh yang dikagumi dunia seharusnya mencerminkan kesejahteraan di negeri sendiri. Sulit menyebut diri berpengaruh bila rakyat di pelosok belum menikmati listrik, air bersih, dan pendidikan bermutu.
Lalu, bagaimana sebenarnya RISSC menilai “pengaruh”? Mereka menggunakan kombinasi indikator kuantitatif dan kualitatif pengaruh politik, jumlah pengikut, peran sosial, serta kapasitas media global. (themuslim500.com, 2025) Ini berarti siapa pun yang memegang jabatan strategis di negara besar berpenduduk Muslim punya peluang besar masuk daftar. Jadi, pencantuman nama Prabowo adalah konsekuensi logis dari posisi Indonesia, bukan semata refleksi pribadi yang luar biasa.
Meski demikian, peringkat ini tetap memiliki nilai strategis. Ia bisa memperkuat posisi diplomasi Indonesia di dunia Muslim dan memperluas jejaring kerjasama lintas negara. Namun, efek simbolik ini hanya akan bertahan lama jika diikuti langkah konkret: memperkuat politik luar negeri yang mandiri, memperjuangkan isu Palestina, dan memperluas peran Indonesia sebagai juru damai kawasan. Tanpa itu, angka 15 akan menjadi prestasi kosmetik indah di kulit, tapi tipis substansinya.
Seorang analis politik dari UIN Jakarta, misalnya, menilai bahwa pengakuan semacam ini seharusnya direspons dengan kerja nyata. “Peringkat internasional bisa menjadi momentum diplomasi. Tapi kalau hanya dijadikan bahan propaganda domestik, efeknya cepat hilang,” ujarnya. (Kompas.com, 1 November 2025)
Kita tentu berharap pengaruh Prabowo tidak berhenti pada daftar tahunan yang mudah terlupakan. Sebab, di era global, prestise bukan lagi soal siapa yang paling sering disebut, tapi siapa yang paling konsisten membawa perubahan nyata. Pengaruh sejati bukan diukur dari seberapa jauh dunia mengenal seorang presiden, melainkan seberapa banyak rakyat merasakan manfaat dari kepemimpinannya.
Jika pemerintah mampu menjawab tantangan itu, maka angka 15 bisa menjadi pijakan menuju pengaruh yang lebih substantif. Namun bila tidak, ia akan tersimpan sebagai catatan kecil dalam buku besar sejarah—prestasi yang lebih sering dibaca oleh humas ketimbang rakyat.
Dan di situlah ironi sesungguhnya: ketika kebanggaan nasional bergantung pada pengakuan lembaga luar negeri, padahal sejatinya pengaruh seorang pemimpin mestinya tumbuh dari dalam negeri sendiri dari kerja nyata, bukan dari daftar yang indah di atas kertas.
Dwi Taufan Hidayat

















