Jakarta, Majalahjakarta.com – Dewan Pimpinan Pusat Perkumpulan Peduli Nusantara Tunggal (PPNT), yang konsisten bergerak di bidang advokasi kebijakan publik, menyoroti lemahnya penegakan hukum terhadap kejahatan lingkungan, khususnya dalam pengelolaan Tempat Pemrosesan Akhir (TPA) sampah.
Dalam perspektif hukum publik, pengelolaan TPA seharusnya tidak hanya menjadi urusan teknis pemerintah daerah, tetapi juga tanggung jawab hukum negara dalam menjamin hak masyarakat atas lingkungan hidup yang bersih dan sehat sebagaimana dijamin dalam Pasal 28H ayat (1) UUD 1945.
Namun, realitas di lapangan menunjukkan adanya celah besar antara norma hukum dan praktik implementasi. Sejumlah TPA di berbagai daerah justru menjadi sumber pencemaran udara, air, dan tanah akibat lemahnya pengawasan serta ketidakpatuhan terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan. Padahal, regulasi seperti Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, serta Peraturan Pemerintah Nomor 81 Tahun 2012 telah mengatur secara tegas sanksi pidana dan administratif terhadap pelanggaran dalam pengelolaan sampah.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
PPNT menilai, lemahnya sanksi dan rendahnya kesadaran hukum aparat daerah menandakan adanya disfungsi kebijakan publik dalam bidang lingkungan. Ketika hukum hanya berhenti pada teks tanpa daya paksa di lapangan, maka negara sejatinya sedang kehilangan otoritas moralnya dalam menegakkan keadilan ekologis.
Kebijakan publik yang ideal seharusnya tidak berhenti pada penetapan norma hukum, melainkan menuntut implementasi nyata yang berpihak pada kelestarian lingkungan dan hak hidup masyarakat. Tanpa keberanian pemerintah menindak tegas pelaku kejahatan lingkungan, TPA hanya akan menjadi simbol dari ironi hukum – di mana tumpukan sampah mencerminkan tumpukan masalah kebijakan yang gagal diselesaikan.
Ketika Hukum Hanya Jadi Dekorasi: Menguliti Lemahnya Taring Regulasi Lingkungan di Indonesia
Dalam teori hukum publik, keberadaan undang-undang dan peraturan pelaksana seharusnya menjadi benteng kokoh untuk melindungi kepentingan umum, termasuk hak rakyat atas lingkungan hidup yang layak. Namun, di Indonesia, berbagai instrumen hukum lingkungan justru sering kali tampak seperti “macan kertas” – garang di atas kertas, namun jinak di lapangan.
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PPLH) sejatinya telah menetapkan dengan jelas bahwa setiap tindakan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan adalah bentuk pelanggaran hukum. Regulasi ini bahkan memuat sanksi pidana dan perdata yang semestinya cukup menjerakan. Namun, apa gunanya hukum yang tegas jika penegakannya tumpul dan selektif? Banyak pelaku kejahatan lingkungan – mulai dari korporasi hingga pengelola TPA – lolos dari jerat hukum karena kuatnya kepentingan ekonomi dan lemahnya keberanian politik negara.
Sementara itu, Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah dirancang untuk menata pengelolaan sampah dari hulu hingga hilir. UU ini menegaskan larangan membuang sampah sembarangan, mengatur tanggung jawab produsen, dan menetapkan sanksi administratif serta pidana. Namun, dalam praktiknya, implementasi UU ini kerap berhenti di ruang seminar dan spanduk kampanye kebersihan. Di banyak daerah, TPA masih beroperasi tanpa standar lingkungan memadai, bahkan berubah menjadi bom waktu ekologis yang setiap saat dapat meledak dalam bentuk pencemaran kronis.
Kemudian, Peraturan Pemerintah Nomor 81 Tahun 2012 hadir sebagai aturan turunan yang seharusnya menjabarkan detail teknis pengelolaan sampah rumah tangga. Ironisnya, PP ini justru sering diabaikan oleh pemerintah daerah yang lebih sibuk mencari proyek pengadaan alat kebersihan ketimbang membangun sistem pengelolaan sampah yang berkelanjutan. Regulasi sudah ada, tapi komitmen moral dan penegakan hukum nyaris nihil.
Bahkan Peraturan Daerah (Perda) yang mestinya menjadi manifestasi kebijakan lokal sering kali disusun sekadar untuk memenuhi syarat administratif. Denda dan ancaman kurungan yang tertera dalam Perda jarang benar-benar ditegakkan. Dalam banyak kasus, pelanggar cukup “menyelesaikan” masalah dengan pendekatan kekeluargaan – sebuah eufemisme bagi kompromi yang mengikis integritas hukum.
Jika semua perangkat hukum telah tersedia, maka pertanyaan paling mendasar adalah: di mana negara saat rakyatnya menghirup udara busuk dan hidup di tengah gunungan sampah? Hukum yang seharusnya menjadi alat koreksi sosial justru berbalik menjadi alat pembenaran status quo. Inilah ironi hukum lingkungan kita – gagah dalam teks, tetapi lumpuh dalam aksi.
TPA Sebagai Cermin Kegagalan Negara: Ketika Hukum Tak Lagi Menjadi Penjaga Keadilan Lingkungan
Dalam perspektif hukum publik, pengelolaan Tempat Pemrosesan Akhir (TPA) bukan sekadar urusan teknis membuang sampah, tetapi bagian dari mandat konstitusional negara untuk melindungi hak rakyat atas lingkungan hidup yang bersih dan sehat. Ketika TPA dikelola tanpa standar, di situlah negara gagal menjalankan fungsinya sebagai guardian of public interest. Tumpukan sampah bukan sekadar persoalan kebersihan, melainkan simbol dari rusaknya tata kelola hukum dan kebijakan publik di tingkat daerah maupun nasional.
Masalah TPA yang tidak sesuai standar seharusnya dipandang sebagai pelanggaran serius hukum publik, bukan sekadar “kelalaian administratif.” Dampaknya nyata: pencemaran air tanah, udara beracun, hingga wabah penyakit yang mengancam masyarakat sekitar. Namun, realitas di lapangan menunjukkan bahwa banyak TPA masih beroperasi dalam sistem yang paling primitif – open dumping – yang secara tegas dilarang oleh Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah. Ironisnya, pelanggaran ini sering dibiarkan seolah tidak pernah terjadi. Hukum hanya menjadi jargon, sementara rakyat menanggung akibatnya.
Lebih jauh, undang-undang telah menetapkan persyaratan teknis pengelolaan sampah, termasuk larangan membakar sampah sembarangan. Tapi lagi-lagi, pelaksanaan di lapangan jauh dari ketentuan hukum. Banyak daerah masih menoleransi praktik pembakaran terbuka tanpa memperhatikan dampak emisi dan pencemaran udara. Padahal, pelaku dapat dijerat pidana kurungan atau denda. Pertanyaannya: mengapa sanksi ini jarang benar-benar diterapkan? Apakah hukum hanya tajam untuk rakyat kecil, tapi tumpul ketika berhadapan dengan pemerintah daerah atau pihak swasta yang lalai?
Dari sisi tanggung jawab hukum, penanggung jawab usaha atau kegiatan yang menimbulkan pencemaran seharusnya diwajibkan menanggung biaya pemulihan lingkungan dan dapat digugat secara perdata atas dasar perbuatan melawan hukum. Namun, praktik penegakan hukum di bidang ini lebih sering berhenti pada “surat teguran” ketimbang gugatan nyata. Negara tampak ragu menggunakan instrumen hukum publik untuk menegakkan keadilan ekologis. Akibatnya, kerusakan lingkungan menjadi beban sosial yang diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya.
Lebih menyedihkan lagi, ketika masyarakat dan organisasi lingkungan hidup mencoba menempuh jalur hukum, mereka kerap dihadapkan pada tembok birokrasi dan kepentingan politik lokal. Padahal, partisipasi publik adalah elemen vital dalam sistem hukum lingkungan. Undang-undang memberi hak kepada masyarakat untuk menggugat dan mengawasi pengelolaan TPA, tetapi tanpa dukungan institusional dan perlindungan hukum yang kuat, partisipasi itu hanya menjadi formalitas demokratis – hidup di teks, mati di praktik.
Sanksi yang Tak Bertaring: Ironi Penegakan Hukum dalam Kejahatan Lingkungan TPA
Dalam arsitektur hukum publik Indonesia, sanksi terhadap pelanggaran lingkungan – termasuk pengelolaan Tempat Pemrosesan Akhir (TPA) yang tidak sesuai standar – sebenarnya telah dirancang cukup tegas. Mulai dari ancaman pidana penjara, denda dalam jumlah besar, hingga sanksi administratif yang dapat mencabut izin usaha. Di atas kertas, kerangka hukumnya tampak kokoh. Namun, di dunia nyata, hukum ini lebih sering menjadi macan ompong – ganas dalam pasal, tapi jinak dalam penegakan.
Secara normatif, pelaku kejahatan lingkungan dapat dikenai pidana kurungan penjara, mulai dari tiga bulan bagi pembuang sampah sembarangan hingga tiga tahun bagi pihak yang terbukti melakukan perusakan lingkungan yang parah. Namun, vonis semacam ini nyaris menjadi “barang langka” di ruang sidang. Banyak pelaku lolos dari jerat hukum, berlindung di balik alasan administratif atau kepentingan proyek pembangunan. Padahal, dampak dari kejahatan lingkungan jauh lebih destruktif daripada pelanggaran pidana konvensional – ia menghancurkan masa depan ekologis dan kesehatan masyarakat.
Selain pidana, hukum juga memberikan ruang bagi sanksi denda dengan nilai bervariasi, mulai dari jutaan hingga miliaran rupiah. Tapi dalam praktiknya, denda sering kali berakhir di angka simbolis – tidak sebanding dengan kerusakan yang ditimbulkan. Dalam beberapa kasus, perusahaan pelaku pencemaran justru “membeli dosa” dengan membayar denda kecil, sementara kerusakan lingkungan yang mereka timbulkan menelan biaya pemulihan hingga ratusan kali lipat. Di sinilah absurditas sistem hukum kita: uang bisa menjadi penghapus dosa ekologis.
Tak kalah penting, hukum publik juga mengatur sanksi administratif berupa paksaan pemerintah, pembekuan izin, hingga pencabutan izin usaha bagi pelanggar. Namun, keberanian pejabat daerah untuk mengeksekusi sanksi ini sering terbelenggu oleh relasi kepentingan politik dan ekonomi. Alih-alih mencabut izin, banyak pejabat justru memilih kompromi, membiarkan pelanggaran berlarut-larut dengan dalih menjaga iklim investasi. Padahal, apa artinya investasi jika yang dikorbankan adalah kualitas hidup rakyat dan keberlanjutan lingkungan?
Ironisnya, meskipun hukum publik Indonesia telah memberikan kerangka hukum yang kuat untuk menindak kejahatan lingkungan, substansi hukum itu sendiri kehilangan daya paksa ketika berhadapan dengan kepentingan ekonomi dan birokrasi yang korup. Penegakan hukum seolah bergantung pada siapa pelaku dan seberapa kuat pengaruhnya, bukan pada prinsip keadilan atau dampak ekologis yang ditimbulkan.
Kejahatan lingkungan di sektor TPA seharusnya tidak dipandang sebagai pelanggaran kecil, tetapi sebagai ancaman serius terhadap hak asasi manusia atas lingkungan hidup yang sehat. Ketika tumpukan sampah menimbulkan penyakit, mencemari air, dan mengubah udara menjadi racun, sesungguhnya negara sedang gagal menjalankan mandat konstitusionalnya.
Sampah dan Hukum yang Diam: Ketika Manusia Menjadi Sumber dan Korban Kejahatan Ekologis
Sampah sejatinya adalah cermin paling jujur dari peradaban manusia. Di balik timbunan plastik, residu makanan, dan limbah rumah tangga, tersimpan potret kelalaian kolektif kita terhadap bumi yang semakin sesak. Dalam konteks hukum publik, masalah sampah bukan sekadar urusan kebersihan atau estetika kota, melainkan persoalan serius yang berkaitan langsung dengan hak konstitusional warga negara atas lingkungan hidup yang bersih dan sehat. Ironisnya, kesadaran ini sering terkubur di bawah tumpukan kebijakan yang tak tuntas dan hukum yang setengah hati.
Sampah telah menjadi permasalahan signifikan dalam kehidupan sehari-hari. Ketika tidak dikelola dengan baik, ia menjelma menjadi ancaman nyata terhadap keseimbangan lingkungan: mencemari udara, menyumbat aliran sungai, hingga menimbulkan banjir dan penyakit. Di banyak kota besar, gunungan sampah di TPA bukan lagi pemandangan asing, melainkan simbol kegagalan pemerintah daerah dalam menunaikan tanggung jawab hukumnya terhadap rakyat. Dalam logika hukum publik, kegagalan itu bukan sekadar kelalaian administratif, melainkan bentuk pengabaian terhadap kewajiban negara melindungi hak hidup warganya.
Menurut Pasal 1 Ayat (14) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, pencemaran lingkungan adalah masuknya atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi, dan/atau komponen lain ke dalam lingkungan hidup oleh kegiatan manusia sehingga kualitas lingkungan turun sampai tingkat tertentu yang menyebabkan lingkungan tidak berfungsi sebagaimana mestinya. Artinya, sumber utama kerusakan bukanlah alam, melainkan manusia yang menuhankan pembangunan sambil mengorbankan keseimbangan ekologis.
Kegagalan ini diperparah oleh lemahnya kesadaran kebijakan di tingkat daerah. Peraturan Daerah Provinsi Nomor 3 Tahun 2014 secara jelas mendefinisikan lingkungan hidup sebagai satu kesatuan ruang dengan semua makhluk dan daya yang memengaruhi kelangsungan kehidupan. Namun dalam praktiknya, regulasi semacam ini sering hanya menjadi formalitas hukum – indah di dokumen, tapi tak berjejak di lapangan. Pemerintah daerah lebih sibuk membuat proyek pengadaan truk sampah ketimbang memperkuat sistem manajemen berbasis pengurangan, daur ulang, dan tanggung jawab produsen.
Padahal, Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah telah memberikan fondasi normatif yang jelas: sampah adalah sisa kegiatan manusia atau proses alam yang berbentuk padat atau semi padat, baik organik maupun anorganik, yang dianggap tidak berguna lagi dan dibuang ke lingkungan. Undang-undang ini bahkan membedakan jenis sampah menjadi tiga kategori – rumah tangga, sejenis rumah tangga, dan spesifik – dengan pendekatan pengelolaan yang berbeda. Tetapi sekali lagi, implementasinya justru terhambat oleh mentalitas birokrasi yang masih memandang sampah sebagai “urusan kebersihan,” bukan “isu hukum dan kebijakan publik.”
Menurut definisi WHO, sampah adalah barang yang tidak digunakan lagi dan tidak diinginkan oleh manusia. Namun, ironinya, yang sesungguhnya “tidak digunakan” dalam sistem ini adalah akal sehat pemerintah dalam merumuskan kebijakan berkelanjutan. Ketika pemerintah gagal menata sistem pemilahan, penanganan, dan edukasi publik, maka sampah bukan lagi sekadar hasil dari konsumsi manusia, melainkan hasil dari kebijakan yang gagal berpikir panjang.
Sampah organik dan nonorganik sejatinya bukan masalah utama – manusialah akar persoalannya. Negara yang abai terhadap tata kelola sampah berarti sedang mengabaikan hak hidup rakyatnya. Ketika air bersih tercemar, udara beracun, dan tanah kehilangan daya dukungnya, maka sesungguhnya hukum telah kehilangan maknanya sebagai pelindung publik.
Sampah dan Negara yang Lalai: Ketika Lingkungan Menjerit, Hukum Justru Diam
Sampah organik memang dapat terurai secara alami, tetapi sampah nonorganik – hasil olahan teknologi dan bahan sintetik – adalah warisan paling berbahaya dari peradaban modern. Plastik, logam, dan residu industri yang sulit terurai kini menjadi “hantu ekologis” yang menghantui hampir setiap jengkal ruang hidup manusia. Ketika bahan-bahan ini tidak dikelola dengan benar, mereka bukan sekadar merusak pemandangan, melainkan menciptakan bencana kimiawi yang perlahan membunuh ekosistem dan manusia itu sendiri.
Masalah ini seharusnya menjadi alarm moral bagi negara, khususnya pemerintah daerah, untuk bertindak serius. Namun, yang terjadi justru sebaliknya. Banyak daerah masih berpikir bahwa memiliki Tempat Pemrosesan Akhir (TPA) sudah cukup untuk menyelesaikan persoalan. Padahal, sekadar “membuang” bukanlah “mengelola.” Di balik TPA yang menumpuk, terdapat uap gas metana yang mencemari udara, air lindi yang meresap ke sungai, serta bau menyengat yang menjadi simbol kegagalan kebijakan publik dalam menata kehidupan ekologis.
Data statistik berbicara dengan telak: 90 persen TPA di Indonesia masih beroperasi dengan sistem open dumping – metode pembuangan terbuka yang secara hukum telah dilarang oleh Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah – sementara hanya 10 persen yang beralih ke sistem controlled landfill atau sanitary landfill. Fakta ini bukan sekadar menunjukkan keterlambatan teknologi, tetapi lebih jauh mengungkap ketidakseriusan politik hukum pemerintah daerah dalam melindungi lingkungan hidup.
Ironinya, rendahnya akses masyarakat terhadap layanan sanitasi dan pengelolaan sampah yang layak justru dibiarkan menjadi “hal biasa.” Pemerintah daerah sering berlindung di balik alasan klasik: keterbatasan anggaran, rendahnya kesadaran masyarakat, dan tumpang tindih kewenangan antarinstansi. Padahal, alasan sesungguhnya adalah ketidakmauan politik untuk menjadikan sanitasi dan lingkungan hidup sebagai prioritas pembangunan.
Fenomena penumpukan sampah di pinggir jalan, di parit, atau di bantaran sungai hanyalah gejala dari sistem hukum yang gagal menghadirkan rasa tanggung jawab. Ketika masyarakat terus membuang sampah sembarangan dan pemerintah tak berdaya menegakkan aturan, maka keduanya sedang berkonspirasi dalam perusakan lingkungan. Banjir yang datang setiap musim hujan bukan lagi bencana alam — ia adalah bencana kebijakan.
Seperti dikemukakan oleh Drupsteen, masalah lingkungan adalah kemunduran kualitas lingkungan, yang mencakup pencemaran, pengurasan, dan perusakan lingkungan. Definisi ini menegaskan bahwa degradasi ekologis bukanlah fenomena alamiah, melainkan konsekuensi dari perilaku manusia dan kegagalan sistem hukum yang seharusnya mengawasi dan mengoreksi. Dengan kata lain, setiap kali sungai tercemar atau udara menjadi racun, di sanalah negara absen dalam menjalankan mandat hukum publiknya.
Oleh karena itu, hukum lingkungan seharusnya tidak hanya menjadi perangkat normatif, melainkan juga alat korektif dan moral force terhadap kekuasaan yang lalai. Namun di Indonesia, hukum lingkungan justru sering direduksi menjadi formalitas administratif – hidup dalam pasal, mati dalam penegakan.
Hukum Lingkungan: Ketika Regulasi Tak Lagi Menyentuh Nurani
Hukum lingkungan sejatinya adalah hukum fungsional—bertujuan menanggulangi pencemaran, pengurasan, dan perusakan alam demi terciptanya lingkungan hidup yang sehat, indah, dan nyaman bagi seluruh rakyat. Namun, idealisme norma sering kali berhenti di atas kertas. Di lapangan, kita menyaksikan paradoks yang memprihatinkan: regulasi ada, tetapi penegakannya lemah; kebijakan dirancang, tetapi komitmen implementasinya nyaris nihil.
Masalah ini mencuat nyata pada pengelolaan Tempat Pembuangan Akhir (TPA) yang masih didominasi oleh praktik open dumping. Contohnya, TPA Rasau Jaya yang berjarak tidak terlalu jauh dari permukiman penduduk justru menjadi potret kegagalan tata kelola lingkungan di tingkat daerah. Bau busuk yang menyengat, tumpukan limbah yang mencemari udara dan air, serta merosotnya kualitas hidup masyarakat adalah ironi di tengah slogan pembangunan berkelanjutan.
Kondisi sanitasi yang buruk bukan hanya mencerminkan ketidakmampuan pemerintah daerah dalam merancang sistem pengelolaan yang manusiawi, tetapi juga menggambarkan lemahnya kesadaran kolektif masyarakat terhadap tanggung jawab ekologisnya. Di banyak wilayah, tempat sampah sudah disediakan, namun warga masih membuang limbah sembarangan—di parit, sungai, atau bahkan di pinggir jalan. Ini bukan sekadar persoalan kebersihan, melainkan krisis moral publik yang menuntut refleksi mendalam: sejauh mana bangsa ini benar-benar memahami arti hukum dan tanggung jawab sosialnya terhadap lingkungan?
Dalam konteks ini, kesadaran hukum menjadi faktor krusial yang kerap diabaikan. Kesadaran, sejatinya, adalah keadaan ikhlas yang muncul dari hati nurani untuk mengakui dan mengamalkan sesuatu sesuai dengan nilai yang diyakini benar. Sedangkan kesadaran hukum adalah dorongan moral dan spiritual yang tumbuh dari dalam diri individu maupun masyarakat untuk mematuhi pesan-pesan hukum, bukan karena takut pada sanksi, tetapi karena paham akan konsekuensi etik dan ekologis dari setiap perbuatannya.
Namun, kenyataan menunjukkan bahwa hukum lingkungan sering kali tidak lagi menjadi refleksi nilai kesadaran itu. Ia berubah menjadi formalitas administratif yang lebih mengutamakan compliance on paper daripada commitment in action. Pemerintah tampak lebih sibuk membuat regulasi baru ketimbang memastikan regulasi lama benar-benar dijalankan dengan konsisten.
Jika demikian, pertanyaan mendasarnya adalah: apakah hukum lingkungan di Indonesia masih berfungsi sebagai instrumen perlindungan, atau telah terjebak menjadi dekorasi birokrasi yang kehilangan makna?
Kesadaran Hukum: Ketika Hukum Hanya Ditaati Karena Takut
Masalah kesadaran hukum merupakan fondasi vital bagi efektivitas setiap produk perundang-undangan. Tanpa kesadaran hukum, sebaik apa pun rancangan regulasi, ia hanya akan menjadi teks kosong tanpa makna sosial. Hukum bukan sekadar kumpulan pasal dan ayat, melainkan refleksi dari nilai-nilai yang hidup di tengah masyarakat.
Secara teoritis, hukum yang baik adalah hukum yang tumbuh dari kesadaran masyarakat. Artinya, norma hukum harus berjalan seiring dengan sense of justice publik—bukan sekadar kehendak pembuat undang-undang. Sebab, hukum yang dipaksakan tanpa memperhatikan nurani sosial hanya akan memunculkan resistensi, pelanggaran, dan ketidakpercayaan terhadap sistem hukum itu sendiri.
Namun dalam praktiknya, kesadaran hukum di Indonesia masih kerap bersifat artifisial dan transaksional. Banyak warga mematuhi hukum bukan karena memahami maknanya, melainkan karena takut pada sanksi. Ketaatan semacam ini disebut compliance, bukan internalization. Dalam compliance, hukum hanya ditaati sejauh ia diawasi. Tetapi dalam internalization, hukum ditaati karena telah menyatu dengan nilai moral dan keyakinan batin seseorang.
Sayangnya, yang terjadi di lapangan adalah kepatuhan semu-kepatuhan karena terpaksa, bukan karena kesadaran. Dari sini muncul fenomena ironi sosial: pelanggaran hukum justru dianggap wajar selama tidak tertangkap, dan ketaatan sering kali dipandang sebagai kelemahan. Kesadaran hukum yang seharusnya menjadi moralitas publik kini tereduksi menjadi kalkulasi untung-rugi.
Lebih parah lagi, kesadaran hukum masyarakat dapat luntur hanya karena tergoda oleh keuntungan sesaat—baik materiil maupun politik. Dalam situasi demikian, hukum kehilangan daya kendalinya, sebab kepentingan pribadi lebih mengemuka daripada kepentingan publik. Akibatnya, hukum berubah menjadi alat tawar-menawar moral, bukan pedoman etik.
Ketaatan hukum, sejatinya, juga bergantung pada sejauh mana hukum itu sendiri mampu mengakomodasi kepentingan masyarakat. Regulasi yang tidak menyentuh kebutuhan rakyat, hanya akan menciptakan jarak emosional antara negara dan warga. Di sinilah pemerintah sering gagal: terlalu fokus pada rule-making, tetapi abai pada rule-understanding.
Upaya meningkatkan ketaatan hukum tidak cukup dengan ancaman pidana atau denda administratif. Diperlukan pendekatan persuasif dan edukatif-memberi pemahaman, bukan sekadar peringatan. Ketika masyarakat mengerti dan menginternalisasi nilai-nilai hukum, maka ketaatan bukan lagi hasil tekanan, melainkan buah kesadaran.
Paradoks Pengelolaan Sampah: Antara Kesadaran Publik dan Ketidakseriusan Negara
Pembuangan sampah yang tidak terkontrol dan tidak pada tempatnya bukan sekadar persoalan kebersihan, melainkan potret telanjang dari lemahnya kesadaran hukum dan tata kelola publik di tingkat lokal. Ketika tumpukan sampah dibiarkan menumpuk di luar Tempat Pembuangan Sementara (TPS), aroma busuk yang menyengat hanyalah gejala dari penyakit yang lebih dalam: ketidakpedulian sistemik terhadap lingkungan dan hukum yang seharusnya melindunginya.
Masalah ini bukan hanya soal perilaku masyarakat, tetapi juga kegagalan struktural pemerintah daerah dalam memastikan pengelolaan sampah yang berkeadilan dan berkelanjutan. Pencemaran udara, bau menyengat, serta rusaknya estetika ruang publik adalah akibat langsung dari absennya pengawasan, regulasi yang tidak ditegakkan, dan minimnya inovasi kebijakan lingkungan.
Kesadaran masyarakat memang perlu ditumbuhkan, tetapi tanpa keteladanan dan sistem yang tegas dari pemerintah, imbauan moral hanya akan berakhir sebagai slogan yang kehilangan makna. Rakyat sulit diajak peduli jika negara sendiri tampak permisif terhadap pelanggaran yang terjadi di depan mata.
Sudah saatnya pemerintah daerah berhenti memperlakukan persoalan sampah sebagai urusan teknis belaka. Sampah adalah isu hukum publik yang menuntut tanggung jawab administratif, ekologis, dan sosial. Pasal-pasal dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah sudah cukup jelas mengamanatkan tata kelola dari hulu ke hilir. Namun, implementasi di lapangan sering kali timpang—lebih banyak seremonial daripada substansial.
Berbagai daerah di Indonesia sebenarnya telah menunjukkan praktik baik pengelolaan sampah berbasis partisipasi warga, seperti bank sampah dan sistem pemilahan organik-anorganik. Namun, ironinya, banyak pemerintah daerah yang sekadar melakukan “studi banding” tanpa follow-up nyata. Hasil kunjungan kerja ke daerah lain sering hanya menjadi catatan perjalanan, bukan inspirasi kebijakan.
Lebih parah lagi, banyak inisiatif pengelolaan sampah yang berhenti di tataran wacana karena terbentur kepentingan anggaran, lemahnya komitmen politik, atau ketidakseriusan birokrasi dalam mengawal program lingkungan. Akibatnya, yang tersisa hanyalah siklus klasik: rapat, studi banding, dokumentasi, lalu lupa.
Membangun kesadaran publik tentang tanggung jawab terhadap sampah tidak bisa dilakukan hanya lewat spanduk atau pidato. Dibutuhkan kebijakan hukum publik yang progresif dan mengikat, disertai sanksi tegas bagi pelanggar serta insentif bagi masyarakat yang berperilaku ramah lingkungan.
Krisis sampah adalah cermin dari krisis tata kelola. Selama kesadaran hukum masih kalah oleh kepentingan sesaat dan selama kebijakan publik lebih sibuk menjaga citra daripada bumi, maka bau busuk yang kita cium bukan hanya berasal dari tumpukan sampah-melainkan dari sistem hukum dan birokrasi yang setengah hati menegakkan tanggung jawab ekologisnya.
Referensi Buku :
1. Achmad Ali, 1998, Menjelajahi kajian Empiris Terhadap Hukum, Jakarta : PT. Yarsif Watampone.2009,
2. Menguak Teori Hukum( Legal Theory) dan teori peradilan, Jakarta : Kencana Pranada Media Grup.Andi Hamzah. 2005.
3. Penegakan Hukum Lingkungan. Apriadji. 2002. Memproses Sampah. Yogyakarta: Penebar Suwadaya.Beni Ahmad Saebani, 2007, Sosiologi Hukum, Bandung : Pustaka SetiaBintoro Tjokromidjojo, 1976, Analisis Kebijakan Dalam Proses Perencanaan Pembangunan Nasional (Majalah Administrato).
Arthur Noija SH

















