Utang “Whoosh”: Skema Ambigu yang Mengintai Negara ; Bagian I – Ketika Janji Kecepatan Menjadi Beban Perlambatan

- Penulis

Sabtu, 1 November 2025 - 07:41

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Spread the love

Jakarta, Majalahjakarta.com – Ketika Menteri Sekretaris Negara Prasetyo Hadi menyampaikan bahwa Presiden telah memerintahkan jajaran kabinet untuk mencari rumusan terbaik dalam menyelesaikan utang proyek kereta cepat Jakarta–Bandung kepada Tiongkok, publik kembali mengernyit. Sebab, di balik kalimat yang terdengar diplomatis itu, tersimpan satu pertanyaan sederhana tapi berat: siapa yang akan membayar beban “terbaik” itu nanti?

Dalam rapat terbatas di Istana Kepresidenan pada Rabu, 29 Oktober 2025, Presiden meminta Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto, Menteri Keuangan, dan CEO Danantara, Rosan Roeslani, untuk menghitung ulang secara detail struktur utang proyek tersebut. (Tempo.co, 30/10/2025). Perintah itu tampak seperti upaya penyelamatan finansial yang rasional. Namun, bagi sebagian kalangan, ini justru menandai babak baru dari kisah panjang proyek yang sejak awal lebih cepat menghabiskan biaya daripada menghasilkan untung.

Proyek Kereta Cepat Jakarta–Bandung, atau Whoosh, lahir dari mimpi besar: menghubungkan dua kota utama dengan kecepatan modern dan semangat kemandirian ekonomi. Tapi seiring berjalannya waktu, proyek ini menjelma menjadi labirin pembiayaan yang sulit ditembus. Biaya awal sebesar Rp 86,7 triliun membengkak menjadi lebih dari Rp 114 triliun. (Katadata.co.id, 29/10/2025). Selisih puluhan triliun itu kini membentuk bayangan panjang atas janji “tanpa beban APBN”.

ADVERTISEMENT

ads

SCROLL TO RESUME CONTENT

Data Kementerian Keuangan (2025) menunjukkan, total pinjaman dari China Development Bank (CDB) untuk proyek ini mencapai sekitar USD 4,6 miliar, dengan bunga rata-rata 3,4 persen per tahun dan masa tenor 40 tahun. Meski diklaim tak menggunakan dana APBN, laporan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK, 2024) menyebut adanya potensi risiko fiskal jika pendapatan operasi tidak mampu menutupi biaya pinjaman. Artinya, utang itu bisa saja kembali menghantam pos keuangan negara secara tidak langsung.

Dalam pernyataannya, Prasetyo Hadi mengatakan bahwa pemerintah tengah menghitung berbagai opsi, termasuk restrukturisasi pinjaman dan perpanjangan masa pembayaran. (Harian Jogja, 31/10/2025). Strategi ini seolah memberi waktu bernapas bagi keuangan proyek. Namun publik tahu, memperpanjang utang bukan berarti menyelesaikannya hanya menunda letusan berikutnya. Dalam istilah fiskal, “restrukturisasi” sering kali hanyalah eufemisme untuk “menyapu debu ke bawah karpet”.

Baca Juga:  Gubernur Akmil Dampingi Mendagri Sambut Kepala Daerah Peserta Retreat

Sejak awal, proyek Whoosh digadang sebagai kerja sama bisnis murni antara Indonesia dan Tiongkok melalui konsorsium KCIC. Pemerintah menegaskan bahwa proyek ini tidak melibatkan jaminan APBN, melainkan skema business to business. (Kompas.com, 30/10/2025). Namun ketika pemerintah kini kembali turun tangan menghitung beban dan mencari solusi, klaim “murni bisnis” itu mulai terdengar seperti humor birokrasi: manis di awal, pahit di akhir.

Bagi publik, paradoks itu semakin nyata. Ketika proyek disebut ikon kemajuan, mengapa justru negara harus ikut menanggung kekeliruan hitungan bisnisnya? Mengapa “proyek cepat” justru berujung pada pertemuan yang berulang di ruang rapat Istana? Dalam konteks inilah, sinisme tumbuh: kecepatan kereta ternyata tak sebanding dengan kecepatan akuntabilitas.

Lebih ironis lagi, setiap kali beban utang dibicarakan, narasi resmi pemerintah selalu menenangkan dengan kata-kata “tidak akan membebani rakyat”. (Periskop.id, 31/10/2025). Tapi sejarah proyek BUMN besar mengajarkan hal lain: ketika tekanan finansial meningkat, solusinya hampir selalu bersandar pada kas negara atau pajak publik. Akhirnya, rakyat tetap ikut membayar hanya saja tidak disebut demikian.

Rakyat sebenarnya tidak menolak pembangunan. Mereka hanya ingin kepastian bahwa pembangunan tidak berubah menjadi beban permanen. Jika proyek sebesar Whoosh masih membutuhkan perintah presiden untuk sekadar “menghitung ulang”, maka yang harus dihitung bukan hanya utangnya, tetapi juga kesalahan perencanaannya.

Pertanyaan paling jujur hari ini bukanlah “berapa besar utang Whoosh”, melainkan “berapa besar keberanian pemerintah mengakui kesalahannya sendiri”. Dan sebelum jawaban itu muncul, setiap kilometer rel yang membentang dari Halim ke Tegalluar tetap menjadi simbol dari kecepatan yang dibayar dengan utang yang belum selesai dihitung.

(Bersambung ke bagian II – Bagian II – Dari Rel Cepat ke Lubang Fiskal)

Dwi Taufan Hidayat

Berita Terkait

Pengadilan Kepercayaan: Hukuman di Tangkai Amanah?
Redenominasi Rupiah: Solusi Atau Bencana Tersembunyi
Pengelolaan Koperasi MTI Diduga Tidak Transparan, Sejumlah Aset Dipertanyakan Anggota
Ledakan di SMA 72 Jakarta: Alarm Keselamatan di Ruang Belajar
Jejak Kelabu di Balik Kilau CPO Nasional
Beton di Atas Nurani: Ketika Pembangunan Kota Menyingkirkan Warganya Sendiri
LSM ELANG MAS Minta Kejari Asahan Usut Dugaan Korupsi di MIN 1 Asahan: Transparansi Dana Pendidikan Kembali Dipertanyakan
Sufmi Dasco Ahmad dan Dinamika Kepemimpinan Baru: Dari Parlemen ke Panggung Pilpres 2029
Berita ini 7 kali dibaca
4 1 vote
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

0 Comments
Inline Feedbacks
View all comments

Berita Terkait

Sabtu, 8 November 2025 - 20:01

Pengadilan Kepercayaan: Hukuman di Tangkai Amanah?

Sabtu, 8 November 2025 - 19:51

Redenominasi Rupiah: Solusi Atau Bencana Tersembunyi

Sabtu, 8 November 2025 - 07:37

Pengelolaan Koperasi MTI Diduga Tidak Transparan, Sejumlah Aset Dipertanyakan Anggota

Sabtu, 8 November 2025 - 01:36

Ledakan di SMA 72 Jakarta: Alarm Keselamatan di Ruang Belajar

Jumat, 7 November 2025 - 18:33

Beton di Atas Nurani: Ketika Pembangunan Kota Menyingkirkan Warganya Sendiri

Jumat, 7 November 2025 - 17:36

LSM ELANG MAS Minta Kejari Asahan Usut Dugaan Korupsi di MIN 1 Asahan: Transparansi Dana Pendidikan Kembali Dipertanyakan

Jumat, 7 November 2025 - 17:06

Sufmi Dasco Ahmad dan Dinamika Kepemimpinan Baru: Dari Parlemen ke Panggung Pilpres 2029

Jumat, 7 November 2025 - 16:39

HAKAN Dorong Reformasi UU Kewarganegaraan: Perlindungan Hukum untuk Perkawinan Campuran dan Diaspora Indonesia

Berita Terbaru

0
Would love your thoughts, please comment.x
()
x