Ketika Negara Kehilangan Tanahnya Sendiri: Ironi Hukum Publik di Tengah Mafia Agraria

- Penulis

Sabtu, 1 November 2025 - 10:07

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Spread the love

Jakarta, Majalahjakarta.com – Dewan Pimpinan Pusat Perkumpulan Peduli Nusantara Tunggal (PPNT) Jakarta, yang selama ini konsisten bergerak di bidang advokasi kebijakan publik, menyoroti dengan serius persoalan hukum yang menimpa salah satu aset negara-gedung Kantor Lurah Cempaka Baru, Kecamatan Kemayoran, Kota Administrasi Jakarta Pusat.

Kasus ini menjadi preseden buruk bagi tata kelola aset pemerintah, sekaligus mencerminkan lemahnya sistem pengawasan terhadap harta milik negara. Bagaimana mungkin, sebuah gedung operasional pemerintahan yang secara nyata digunakan untuk pelayanan publik, dapat diklaim secara sepihak oleh pihak yang mengaku sebagai pemilik tanah?

Padahal secara hukum, aset negara merupakan objek hukum publik yang dikuasai oleh negara untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 dan dijabarkan dalam Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA). Dengan demikian, tidak ada pihak mana pun yang secara sah dapat mengklaim kepemilikan pribadi atas tanah atau bangunan yang telah berstatus aset negara.

ADVERTISEMENT

ads

SCROLL TO RESUME CONTENT

Namun, dalam praktik di lapangan, fenomena “mafia tanah” masih menjadi bayang-bayang gelap yang menggerogoti kedaulatan hukum dan keadilan publik. Modusnya beragam dan kerap melibatkan jejaring yang kompleks:
1. Pemalsuan dokumen.
Mafia tanah sering memproduksi atau memanfaatkan dokumen palsu—mulai dari girik hingga akta jual beli-untuk membangun klaim kepemilikan fiktif atas lahan yang sejatinya milik negara.
2. Manipulasi administrasi pertanahan.
Praktik kolusi dengan oknum di lembaga terkait, seperti Badan Pertanahan Nasional (BPN) atau pemerintah daerah, memungkinkan perubahan data kepemilikan secara tidak sah dalam catatan resmi.
3. Penyerobotan fisik.
Tak jarang, mereka melangkah lebih jauh dengan menguasai lahan secara paksa, bahkan di atas fasilitas publik yang masih aktif berfungsi.

Kasus Cempaka Baru bukan sekadar sengketa tanah-ia adalah cermin rapuhnya integritas birokrasi pertanahan dan ujian bagi komitmen pemerintah daerah dalam menjaga aset publik. Bila pemerintah pusat tidak segera mengambil langkah korektif dan penegakan hukum yang tegas, maka bukan tidak mungkin praktik serupa akan berulang di daerah lain, mengancam legitimasi pengelolaan aset negara secara keseluruhan.

Ketika Negara Harus Tegar: Implikasi Hukum atas Klaim Ilegal Aset Publik
Fenomena klaim ilegal terhadap aset pemerintah bukan sekadar pelanggaran administratif-ia adalah bentuk perlawanan terhadap kedaulatan hukum negara. Dalam konteks hukum publik, tindakan tersebut menyerang otoritas negara sebagai penguasa dan pengelola sumber daya publik sebagaimana diatur dalam Pasal 33 Ayat (3) UUD 1945 dan Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA).

Ketika sebuah tanah atau bangunan yang berstatus aset negara diklaim oleh pihak tertentu, maka secara yuridis, klaim tersebut tidak memiliki kekuatan hukum apa pun. Aset negara bersifat res publica-milik bersama rakyat-yang dikelola oleh pemerintah untuk kepentingan publik, bukan untuk kepemilikan privat.

Secara normatif, terdapat beberapa implikasi hukum yang tegas terhadap tindakan klaim ilegal tersebut:
1. Klaim tidak diakui secara hukum.
Jika status tanah telah terdaftar sebagai aset negara, setiap bentuk klaim pribadi tidak memiliki dasar legal. Hukum menempatkan negara sebagai pemegang hak penguasaan, bukan sebagai pihak yang bersaing dalam kepemilikan.
2. Negara wajib melakukan langkah hukum.
Pemerintah, melalui Kementerian ATR/BPN, Kejaksaan Agung, dan Kepolisian RI, memiliki mandat konstitusional untuk mengambil tindakan hukum dalam rangka mempertahankan aset negara. Langkah ini bukan sekadar bentuk pembelaan administratif, tetapi juga manifestasi tanggung jawab negara terhadap rakyatnya.
3. Sanksi pidana bagi pelaku klaim ilegal.
Para pelaku dapat dijerat dengan berbagai ketentuan hukum pidana, antara lain:
Pasal 263 KUHP tentang pemalsuan dokumen,
Pasal 372 KUHP tentang penggelapan,
Pasal 378 KUHP tentang penipuan, serta
Pasal 2 UU No. 51 Prp Tahun 1960 tentang penyerobotan tanah.

Dengan kata lain, klaim ilegal atas tanah negara bukan hanya pelanggaran administratif, tetapi juga tindak pidana yang merusak kepastian hukum dan keadilan publik.

Dalam praktiknya, penyelesaian sengketa semacam ini sering kali bergulir di Pengadilan Negeri atau Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN), tergantung pada bentuk klaim dan dokumen yang digunakan. Namun, peradilan bukanlah akhir dari persoalan; ia hanyalah ruang formal untuk menegaskan bahwa negara tidak boleh kalah oleh kepentingan pribadi yang bersembunyi di balik legalitas semu.

Secara faktual, klaim ilegal mungkin tetap terjadi-baik karena lemahnya pengawasan, kelengahan birokrasi, atau praktik kolusi yang mengaburkan batas antara legalitas dan penyalahgunaan kewenangan. Tetapi secara hukum, klaim tersebut tetap tidak sah dan harus ditindak secara tegas melalui jalur hukum yang berlaku.

Negara memiliki instrumen hukum dan kewajiban moral untuk melindungi aset-asetnya. Sebab, membiarkan aset publik diklaim tanpa dasar hukum sama artinya dengan menggadaikan kedaulatan rakyat. Maka dari itu, ketegasan hukum bukan sekadar pilihan, melainkan tanggung jawab konstitusional yang harus ditegakkan tanpa kompromi.

Ketika Hak Atas Tanah Bisa Gugur: Negara Tak Tidur Mengawasi Tanah TerlantarSelanjutnya Perkumpulan Peduli Nusantara Tunggal (PPNT) Jakarta, lembaga yang konsisten bergerak dalam advokasi kebijakan publik, menegaskan bahwa hak atas tanah bukanlah hak absolut yang kekal selamanya. Dalam perspektif hukum publik, hak atas tanah dapat hilang jika tanah tersebut ditelantarkan atau tidak dimanfaatkan secara fisik dalam jangka waktu tertentu, terutama pada kategori Hak Guna Usaha (HGU), Hak Guna Bangunan (HGB), dan Hak Pakai.

Baca Juga:  Awal 2026 KUHAP diberlakukan. Ini tanggapan seorang Akademisi Prof. Mompang: Sosialisasi KUHAP harus libatkan Masyarakat

Inilah wajah asli hukum agraria Indonesia-sebuah sistem yang menolak dominasi kepemilikan tanpa pemanfaatan, serta menegakkan prinsip “tanah untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat” sebagaimana termaktub dalam Pasal 33 Ayat (3) UUD 1945 dan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA).

Konsekuensi Hukum atas Tanah yang Dibiarkan Terlantar
Pasal 27 UUPA secara tegas menyatakan bahwa hak milik atas tanah dapat hapus apabila tanah tersebut ditelantarkan. Prinsip serupa berlaku bagi pemegang HGU, HGB, dan Hak Pakai. Artinya, siapa pun-baik individu, korporasi, maupun lembaga-yang tidak menggunakan tanah sesuai dengan sifat dan tujuan pemberian haknya, berpotensi kehilangan hak hukum atas tanah tersebut.

Melalui mekanisme pengawasan, Badan Pertanahan Nasional (BPN) memiliki kewenangan menetapkan status “tanah terlantar” terhadap bidang tanah yang:
Tidak diusahakan,
Tidak digunakan, atau
Tidak dimanfaatkan sesuai dengan rencana peruntukan dan tujuan pemberian haknya.

Jika status tanah sudah ditetapkan sebagai tanah terlantar, maka secara hukum hak atas tanah tersebut hapus dan kembali menjadi milik negara. Dengan kata lain, negara berhak mengambil alih kembali untuk dikelola atau didistribusikan sesuai kebutuhan publik.

Tanah yang Tak Dikuasai Bisa Hilang: Ketika Hukum Tak Lagi Melindungi Pemilik yang Lalai
Dalam sistem hukum agraria Indonesia, kepemilikan tanah bukan sekadar perkara administratif yang berhenti pada selembar sertifikat. Ia adalah tanggung jawab sosial yang hidup dan melekat pada pemiliknya. Fenomena yang sering diabaikan banyak orang: hak milik bisa gugur jika tanah tidak dikuasai secara fisik dan dimanfaatkan secara nyata.

Daluwarsa (Verjaring): Ketika Diam Terlalu Lama, Hak Bisa Lenyap
Menurut ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 2021 serta Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata), seseorang yang secara fisik menguasai sebidang tanah milik orang lain dengan itikad baik dan tanpa ikatan hukum dalam jangka waktu panjang – 20 tahun berdasarkan PP 20/2021 atau 30 tahun berdasarkan KUH Perdata – dapat mengajukan klaim kepemilikan hak milik (sertifikat) melalui pengadilan.

Dengan kata lain, pemilik sah di atas kertas bisa kehilangan haknya, bila ia membiarkan tanahnya dikuasai pihak lain tanpa tindakan hukum. Inilah konsep yang dalam hukum disebut “rechtsverwerking” – asas yang menyatakan bahwa seseorang dianggap telah melepaskan haknya sendiri karena kelalaian mempertahankannya.

Hukum agraria Indonesia, dalam semangatnya yang sosial, tidak melindungi pemilik yang abai, tetapi justru memberi peluang kepada mereka yang mengelola dan memanfaatkan tanah secara nyata.

Antara Sertifikat dan Cangkul: Siapa Pemilik yang Sebenarnya?
Kita sering kali menganggap sertifikat tanah sebagai simbol mutlak kepemilikan. Padahal, dalam logika hukum publik Indonesia, sertifikat bukan jaminan abadi, melainkan pengakuan negara atas hak yang harus terus dijaga dan dimanfaatkan.

Hukum pertanahan Indonesia dibangun di atas prinsip fungsi sosial tanah, sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 6 UUPA, bahwa setiap hak atas tanah memiliki kewajiban melekat: tanah harus diusahakan, digunakan, dan dimanfaatkan untuk kesejahteraan bersama.

Artinya, pemilik yang tidak hadir secara fisik dan sosial atas tanahnya dapat dianggap “absen secara hukum.” Ketika tanah itu dibiarkan kosong, tidak diurus, dan akhirnya ditempati orang lain dengan itikad baik, maka negara melihat bukan pada kertas sertifikat, melainkan pada realitas penguasaan dan kemanfaatan.

Celah Hukum yang Menjadi Bumerang
Masalahnya, banyak pemilik tanah + baik individu maupun korporasi – menyimpan tanah sebagai aset tidur. Mereka lupa, dalam sistem hukum agraria Indonesia, tanah bukan sekadar komoditas ekonomi, tetapi alat pemerataan sosial dan sarana produksi kehidupan.

Celakanya, kelalaian ini bisa menjadi bumerang. Tanah yang dibiarkan begitu saja dapat kehilangan status hukumnya – entah karena diklaim oleh pihak lain melalui mekanisme daluwarsa, atau karena dinyatakan sebagai tanah terlantar dan kembali ke negara.

Dalam konteks ini, PPNT menilai bahwa negara harus tegas menertibkan tanah-tanah yang tidak dimanfaatkan, sekaligus memperkuat literasi hukum publik agar masyarakat memahami risiko hukum dari kelalaian mengelola aset tanahnya sendiri. Sebab, hukum tidak berpihak pada yang tidur; hukum berpihak pada yang bekerja.

Hukum Tidak Tidur, Pemilik yang Lalai
Paradigma hukum agraria Indonesia ingin menegaskan satu pesan moral yang tajam: tanah tidak boleh dibiarkan tidur. Kepemilikan tanpa penguasaan hanyalah ilusi legalitas. Dalam negara yang menempatkan tanah sebagai instrumen keadilan sosial, yang berhak disebut pemilik bukanlah mereka yang menyimpan sertifikat, tetapi mereka yang mengolah, menjaga, dan memakmurkan tanahnya.

Arthur Noija SH

Berita Terkait

Negara Rugi Ratusan Triliun, Bandarnya Tetap Tertawa
Dewan Kota di Persimpangan Hukum: Antara Representasi Publik dan Formalitas Birokrasi dalam Era Provinsi Daerah Khusus Jakarta
Polri, Ijazah, dan Kekacauan Batas Kewenangan
DPR dan Krisis Kepercayaan Publik yang Menganga
Dasco Bungkam Tujuh Bulan, Bom Waktu Judi Kamboja Goyang Fondasi Partai
Jam Intel Redha Mantovani Disorot: Abaikan Buru Terpidana, Sibuk Hadiri CSR Aguan?
Skandal Alutsista: KPK Didesak Bongkar Peran Broker dalam Proyek Kapal TNI AL
Reformasi Polri di Ujung Tanduk Kepercayaan Publik
Berita ini 14 kali dibaca
4 1 vote
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

0 Comments
Inline Feedbacks
View all comments

Berita Terkait

Selasa, 11 November 2025 - 14:26

Menimbang Gelar Pahlawan di Tengah Rekonsiliasi Sejarah

Selasa, 11 November 2025 - 13:52

Dewan Kota di Persimpangan Hukum: Antara Representasi Publik dan Formalitas Birokrasi dalam Era Provinsi Daerah Khusus Jakarta

Selasa, 11 November 2025 - 12:18

Negara Topeng, Negara Neoliberalisme

Selasa, 11 November 2025 - 12:02

Polri, Ijazah, dan Kekacauan Batas Kewenangan

Selasa, 11 November 2025 - 11:24

Restrukturisasi Whoosh: Efisiensi Baru atau Beban Lama Negara?

Selasa, 11 November 2025 - 09:07

Dasco Bungkam Tujuh Bulan, Bom Waktu Judi Kamboja Goyang Fondasi Partai

Senin, 10 November 2025 - 07:59

Jam Intel Redha Mantovani Disorot: Abaikan Buru Terpidana, Sibuk Hadiri CSR Aguan?

Senin, 10 November 2025 - 05:12

Skandal Alutsista: KPK Didesak Bongkar Peran Broker dalam Proyek Kapal TNI AL

Berita Terbaru

Digital

Negara Rugi Ratusan Triliun, Bandarnya Tetap Tertawa

Selasa, 11 Nov 2025 - 14:38

Nasional

Menimbang Gelar Pahlawan di Tengah Rekonsiliasi Sejarah

Selasa, 11 Nov 2025 - 14:26

Analisis

Negara Topeng, Negara Neoliberalisme

Selasa, 11 Nov 2025 - 12:18

Nasional

Polri, Ijazah, dan Kekacauan Batas Kewenangan

Selasa, 11 Nov 2025 - 12:02

0
Would love your thoughts, please comment.x
()
x