Jakarta, Majalahjakarta.com – Ketika lidah seorang pemimpin agama lebih cepat daripada nalar dan kehati-hatian, bahaya terbesar bukan pada ucapannya semata, tetapi pada keyakinannya bahwa ia tak bisa salah. Pernyataan kontroversial tentang “bolehnya menyogok demi meraih hak” bukan sekadar salah bicara, melainkan potret bagaimana sebagian ulama mulai memutar balik moral menjadi pembenaran pribadi, mengaburkan batas antara dosa dan legitimasi.
Dalam pemberitaan Nowdots (29 Oktober 2025), Ketua PBNU mengeluarkan pernyataan yang mengejutkan publik: bahwa “menyogok untuk mendapatkan hak hukumnya diperbolehkan para ulama.” Pernyataan itu muncul saat beliau berbicara dalam forum internal terkait administrasi hukum, namun ucapannya cepat tersebar ke publik. Klarifikasi resmi pun belum lengkap pada saat berita ini dirilis. Ucapan tersebut menimbulkan kehebohan dan kecaman luas, bukan hanya karena isinya yang janggal, tetapi juga karena datang dari sosok yang seharusnya menjaga kehormatan makna “ulama” itu sendiri.
Di Indonesia, seseorang bersorban dan berbicara atas nama agama kerap dianggap memiliki otoritas moral setara wahyu. Maka ketika seorang tokoh besar menjustifikasi praktik sogok yang jelas-jelas diharamkan dalam Al-Qur’an dan hadits publik terbelah antara kebingungan dan kemarahan. Yang lebih mengkhawatirkan, sebagian pengikutnya membela tanpa menimbang nalar atau nash secara kritis.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Al-Qur’an sendiri tegas melarang praktik seperti itu:
“Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian yang lain dengan jalan yang batil, dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebagian dari harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui.”
(QS Al-Baqarah: 188)
Ayat ini seharusnya cukup menjadi tamparan bagi siapa saja yang mencoba menafsirkan agama demi kepentingan duniawi. Namun, dalil suci masih bisa diputar untuk membenarkan perilaku yang jelas-jelas bertentangan dengan moral. Fenomena ini selaras dengan konsep “Ulama Su’” atau ulama jahat, yang sudah lama diperingatkan para pendahulu.
Imam Syafi’i menyinggung fenomena serupa dalam riwayat klasik:
“Akan datang masa di mana umat bingung memilih ulama warasatul anbiya (pewaris nabi) dan ulama suu’ (penyesat umat).” Muridnya bertanya, “Siapa ulama yang harus kami ikuti?” Beliau menjawab, “Ikutilah ulama yang dibenci kaum kafir, munafik, dan fasik. Jauhilah ulama yang disenangi mereka, karena ia akan menyesatkanmu.” (al-Manawi, abad ke-9 H)
Peringatan ini terasa relevan saat ini. Beberapa pemimpin spiritual muncul bak ahli siasat, memutar dalil untuk menyesuaikan realitas, bukan menuntun realitas agar tunduk pada syariat. Fatwa tak lagi lahir dari ketundukan kepada Allah, tetapi dari keinginan tetap populer di hadapan umat.
Bahaya utamanya: ketika agama dijadikan selimut bagi dosa sosial. Ucapan “boleh menyogok demi hak” terdengar seperti siasat politik yang disulap menjadi dalil moral. Padahal Rasulullah ﷺ bersabda dengan tegas:
“Rasulullah melaknat orang yang memberi suap dan yang menerima suap.” (HR Abu Daud, no. 3580, shahih)
Kata “laknat” bukan istilah ringan ia berarti dijauhkan dari rahmat Allah. Sayangnya, sebagian ulama masa kini menafsirkan laknat secara longgar, sehingga bisa terdengar seperti “kebolehan bersyarat”. Betapa licinnya lidah manusia ketika kepentingan berbicara lebih kuat daripada kebenaran.
Menurut pakar hukum Islam, Dr. Ahmad Fauzan, menyogok demi “memperjuangkan hak” tidak bisa dijadikan justifikasi. Dalam catatan Kompas (30 Oktober 2025), ia menekankan: “Jika sistem hukum korup, yang wajib dilawan adalah sistemnya, bukan ikut menambah kezaliman. Memerangi kezaliman dengan cara yang salah tetaplah dosa.”
Hal ini menunjukkan bahwa sebagian kalangan memilih jalan mudah: menafsirkan dalil sesuai keinginan, sehingga agama tampak seperti kain elastis bisa ditarik ke arah mana pun sesuai kepentingan politik, organisasi, atau dompet.
Sayyidina Umar bin Khattab mengingatkan, seperti dikutip As-Sayyid Mahmud Al-Manufi dalam Jamhuratul Auliya:
“Yang paling aku takutkan terhadap umat ini adalah seorang munafik yang sangat alim. Pandai lisannya, namun bodoh hati dan amalnya.”
Imam Al-Haddad dalam Ad-Da’wah At-Tammah membagi ulama menjadi dua: Ulama Khair (baik) dan Ulama Su’ (jahat). Ulama Su’, menurutnya, menjual agama demi dunia, menipu manusia dengan ibadah, namun menyesatkan dengan ucapannya. (hal. 39)
Ketika seorang pemuka agama berani berkata bahwa suap bisa dibenarkan demi hak, ia membuka pintu bagi kehancuran moral publik. Masyarakat awam tak lagi bisa membedakan mana ajaran agama dan mana justifikasi pribadi. Rasulullah ﷺ pun memperingatkan:
“Celaka bagi umatku dari ulama Su’.” (HR Al-Hakim, dari Al-Habib Muhammad Al-Haddar)
Ucapan semacam ini juga mencederai kepercayaan publik terhadap lembaga keagamaan. Di media sosial, muncul komentar pedas yang menyebutnya figur “yang dianggap tak bisa salah” atau “fatwa kompromi”, menandakan ketidakpercayaan yang meluas.
Sebagai bangsa yang masih mencari keseimbangan antara agama dan akal sehat, wajar jika masyarakat resah. Jika ucapan seorang pemimpin agama bisa membenarkan dosa dengan dalil lemah, kelak praktik korupsi atau kebohongan pun bisa dicari legitimasi religiusnya.
Fatwa semacam ini berpotensi menciptakan moral hazard berskala besar. Ia memberi celah bagi kezaliman bersembunyi di balik jubah kesalehan. Sebagaimana kata penyair Arab klasik:
“Penggembala kambing menjaga kawanan dari serigala, tapi bagaimana bila penggembala itu sendiri memiliki serigala?”
Agama bukan perisai untuk kebohongan. Fatwa bukan alat membenarkan nafsu. Ucapan ulama seharusnya menyejukkan, bukan menyesatkan. Dan jika menyogok bisa dihalalkan karena disebut “memperjuangkan hak”, esok lusa segala kebusukan pun akan mencari dalilnya sendiri.
Mungkin sudah saatnya berhenti menunggu fatwa yang membenarkan, dan mulai menegakkan nilai yang menyelamatkan. Karena di situlah agama kembali berperan sebagai pelita moral, bukan alat legitimasi dosa.
Dwi Taufan Hidayat

















