Ketika Hukum Seolah Pilih Kasih

- Penulis

Kamis, 30 Oktober 2025 - 10:51

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Spread the love

Jakarta, Majalahjakarta.com – Ketika publik mulai lelah menonton drama hukum yang berulang, seorang pakar hukum pidana bernama Asep Iwan Iriawan memilih untuk tidak diam. Ia berbicara lantang, menohok, dan menantang kelaziman: hukum tidak boleh tunduk pada glamoritas. Dalam pandangannya, kasus Sandra Dewi bukan sekadar soal pernikahan dan kekayaan, tetapi tentang keberanian menegakkan keadilan.

Dalam kasus yang menyeret nama artis Sandra Dewi dan suaminya, Harvey Moeis, pakar hukum pidana Asep Iwan Iriawan mengemukakan analisis tajam. Ia menyebut bahwa status hukum Sandra seharusnya tidak berhenti pada posisi “saksi”, melainkan sudah memenuhi unsur untuk ditetapkan sebagai tersangka dalam dugaan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU). (Metrotvnews.com, 29 Oktober 2025)

Menurut Asep, barang-barang mewah dan aset bernilai miliaran rupiah yang diterima Sandra dari Harvey Moeis memiliki indikasi kuat berasal dari hasil kejahatan korupsi. “Menurut saya, bila bukti dan aliran dana sudah jelas, tidak ada alasan untuk tidak menetapkan tersangka,” ujarnya tegas, mengutip Pasal 5 UU TPPU yang mengatur penerima hasil tindak pidana. (Metrotvnews.com, 29 Oktober 2025)

ADVERTISEMENT

ads

SCROLL TO RESUME CONTENT

Ia menambahkan, hasil kejahatan yang dikonversi menjadi barang mewah, tanah, atau aset lain seharusnya langsung disita dan menjadi milik negara, bukan dikembalikan kepada penerima. Pandangan itu muncul setelah pengadilan tipikor memutuskan penyitaan sejumlah barang bukti terkait kasus Harvey Moeis, yang sebagian di antaranya dikaitkan dengan harta Sandra Dewi. (TVOneNews.com, 25 Oktober 2025)

Namun, di tengah argumentasi hukum yang kuat, Asep menyelipkan nada getir yang mengundang renungan publik. “Harusnya begitu. Tapi yaaa… beginilah hukum di negeri ini,” ucapnya dengan senyum masam. Ia enggan menyebut nama, tapi pesan sinis itu jelas diarahkan pada realitas bahwa hukum sering kali berhenti di tataran simbolik tegas di teks, lunak di praktik.

Dalam penjelasannya, Asep juga menyoroti dalih “pisah harta” yang diajukan pihak Sandra Dewi. Menurutnya, argumentasi itu tidak serta-merta membebaskan seseorang dari tanggung jawab hukum, terutama jika aset yang diperoleh berasal dari hasil kejahatan. “Pisah harta bukan imun hukum. Jika harta itu muncul setelah tindak pidana terjadi, maka ada tanggung jawab moral dan pidana di sana,” jelasnya. (Metrotvnews.com, 29 Oktober 2025)

Ia menilai, posisi Sandra tidak bisa disebut sebagai pihak ketiga yang tidak tahu-menahu. Sebab, dalam hukum pidana, seseorang yang menerima hasil kejahatan dengan kesadaran bahwa itu bukan haknya tetap bisa dijerat. “Jangan sampai hukum hanya tajam ke bawah, tapi tumpul ke atas,” ujar Asep, mengutip adagium klasik yang kembali relevan di era glamor dan viral ini.

Baca Juga:  Somasi Gerai Hukum ke PPK Kemayoran: Menyoal Batas Kewenangan dan Krisis Tata Kelola Kawasan Publik

Sementara itu, pihak Sandra Dewi melalui kuasa hukumnya menyatakan bahwa seluruh aset yang dimiliki kliennya adalah hasil kerja keras sendiri, bukan dari suami. Mereka menegaskan, kehidupan rumah tangga mereka telah diatur dengan pemisahan keuangan sejak lama. “Klien kami tidak menerima dana hasil kejahatan,” kata kuasa hukum Sandra dalam wawancara terpisah. (CNNIndonesia.com, 26 Oktober 2025)

Pernyataan pembelaan itu tentu sah dalam hukum, namun bagi Asep, penegakan hukum tidak bisa berhenti di pernyataan, melainkan harus dibuktikan secara transparan melalui audit forensik keuangan dan proses penyidikan lanjutan. Ia mengingatkan bahwa keadilan tidak boleh menjadi milik mereka yang memiliki kuasa narasi publik. “Hukum itu harus bekerja, bukan sekadar tampil di layar televisi,” katanya menohok.

Dalam analisis yang lebih luas, Asep memandang bahwa perkara ini menjadi cermin lemahnya keberanian aparat dalam menegakkan hukum terhadap figur publik. Ia menyebut, sistem peradilan sering kali terbebani oleh tekanan sosial dan media, sehingga cenderung berhati-hati berlebihan ketika berhadapan dengan nama besar. “Kalau yang diadili rakyat kecil, prosesnya cepat. Tapi kalau yang punya pengaruh, semuanya tiba-tiba jadi rumit,” ucapnya lirih. (Metrotvnews.com, 29 Oktober 2025)

Pernyataan itu menyinggung rasa frustrasi publik terhadap inkonsistensi penegakan hukum di Indonesia. Banyak warga merasa bahwa hukum hanya tegak bagi yang lemah, sementara kekuasaan dan popularitas menjadi tameng yang nyaris kebal. Asep, dalam hal ini, tidak sedang menghakimi individu, melainkan sistem yang kerap gagal menegakkan keadilan secara setara.

Sebagai pakar yang lama berkecimpung dalam kajian hukum pidana, Asep menegaskan bahwa kasus seperti ini seharusnya menjadi momentum perbaikan institusional. “Jika aparat berani menegakkan hukum tanpa pandang bulu, masyarakat akan kembali percaya pada sistem. Tapi kalau tidak, ya jangan salahkan jika publik menyebut hukum kita seperti dunia fiksi,” katanya menyindir. (Tempo.co, 28 Oktober 2025)

Di akhir analisisnya, Asep menyerukan agar masyarakat tidak berhenti menuntut transparansi dan keadilan. Ia menegaskan, dukungan publik harus diarahkan pada tegaknya hukum, bukan pada figur tertentu. “Kalau kita diam, maka ketidakadilan akan jadi tradisi,” katanya. Kalimat itu menggema sebagai pesan moral yang menembus sekat partisan dan popularitas.

Dari pandangan Asep Iwan Iriawan, kita belajar bahwa keberanian bersuara kadang lebih bernilai daripada seribu pasal yang mati di lembaran hukum. Ia tidak sekadar bicara soal Sandra Dewi atau Harvey Moeis, melainkan tentang wajah penegakan hukum yang perlu bercermin. Jika hukum terus berpihak pada nama besar dan kekuasaan, maka kita semua sedang hidup dalam sandiwara keadilan.

Dwi Taufan Hidayat

Berita Terkait

Air Bersih, Upeti, dan Kekacauan Regulasi: Menguliti Polemik PAM JAYA-PPK Kemayoran
Duit Sitaan Koruptor, Ujian Janji Keadilan
Mengurai Mitos Kebal Hukum: Ketika Pusat Pengelolaan Komplek Kemayoran (PPK Kemayoran) Dikatakan “Tak Tersentuh”
Rampas Uang, Tutup Mata Korupsi Negara
Marak Debitur Dijerat Pasal Penggelapan Objek Fidusia, Pakar Hukum: “Jangan Campur Urusan Perdata dengan Pidana”
Pengamat Hukum Didi Sungkono: Pemimpin yang Ditolak Rakyat Sebaiknya Mundur Secara Ksatria
Apel Pagi di Lapas Banda Aceh: Momentum Disiplin dan Apresiasi Pegawai Teladan
Jakarta Jadi Kota Kedua Terbanyak Pembeli Jersey Persib
Berita ini 9 kali dibaca
4 1 vote
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

0 Comments
Inline Feedbacks
View all comments

Berita Terkait

Kamis, 6 November 2025 - 04:03

Air Bersih, Upeti, dan Kekacauan Regulasi: Menguliti Polemik PAM JAYA-PPK Kemayoran

Kamis, 6 November 2025 - 03:30

Duit Sitaan Koruptor, Ujian Janji Keadilan

Rabu, 5 November 2025 - 19:27

Darurat Kedaulatan Ekonomi Indonesia

Rabu, 5 November 2025 - 19:03

Mengurai Mitos Kebal Hukum: Ketika Pusat Pengelolaan Komplek Kemayoran (PPK Kemayoran) Dikatakan “Tak Tersentuh”

Rabu, 5 November 2025 - 17:56

Rampas Uang, Tutup Mata Korupsi Negara

Rabu, 5 November 2025 - 17:24

Pahlawan atau Pengampunan Politik yang Tertunda

Selasa, 4 November 2025 - 16:56

Pengamat Hukum Didi Sungkono: Pemimpin yang Ditolak Rakyat Sebaiknya Mundur Secara Ksatria

Selasa, 4 November 2025 - 16:29

UIN Jakarta Kucurkan Rp2,85 Miliar Beasiswa untuk Dosen dan Tendik: Dorong Kualitas SDM dan Layanan Kampus

Berita Terbaru

Hukum

Duit Sitaan Koruptor, Ujian Janji Keadilan

Kamis, 6 Nov 2025 - 03:30

Berita

Darurat Kedaulatan Ekonomi Indonesia

Rabu, 5 Nov 2025 - 19:27

Berita

Rampas Uang, Tutup Mata Korupsi Negara

Rabu, 5 Nov 2025 - 17:56

0
Would love your thoughts, please comment.x
()
x