Sidoarjo, Majalahjakarta.com – Barisan Nasional Pemuda Madura (BNPM) DPD Sidoarjo bersama Alliance N.G.O resmi melayangkan surat desakan kepada Bupati Sidoarjo. Dalam surat yang ditembuskan ke sejumlah instansi terkait itu, mereka meminta pemerintah daerah segera menertibkan toko-toko penjual minuman beralkohol (miras) yang diduga beroperasi bebas di kawasan perkotaan dan di sekitar pemukiman warga.
Surat tersebut memuat keprihatinan atas meningkatnya gangguan ketertiban umum yang dinilai berkaitan dengan peredaran miras tanpa kontrol. BNPM menegaskan, hingga kini tidak ada satu pun peraturan daerah (perda) yang melegalkan penjualan miras di lokasi-lokasi strategis seperti dekat sekolah, rumah ibadah, dan lingkungan hunian padat.
“Kami menuntut kejelasan dan tindakan nyata dari Pemkab. Jika toko-toko itu beroperasi tanpa dasar hukum, maka harus ditertibkan segera,” ujar perwakilan BNPM DPD Sidoarjo dalam pernyataan persnya.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Selain menyoroti lemahnya pengawasan, BNPM juga mengisyaratkan adanya indikasi keterlibatan oknum dalam rantai perizinan. “Kami mendesak transparansi. Jangan sampai penegakan hukum menjadi tebang pilih karena kepentingan tertentu. Warga berhak atas rasa aman dan ketertiban sosial,” lanjutnya.
Kritik terhadap Lemahnya Tata Kelola Daerah
Desakan BNPM dan Alliance N.G.O ini menyoroti persoalan yang lebih mendasar: lemahnya tata kelola kebijakan publik di tingkat daerah, khususnya dalam aspek pengawasan dan implementasi regulasi.
Secara normatif, pemerintah daerah memiliki kewenangan untuk mengatur distribusi dan izin usaha minuman beralkohol melalui perda dan peraturan bupati. Namun dalam praktiknya, sering kali terjadi ketimpangan antara norma hukum dan realitas sosial. Minimnya pengawasan, kaburnya batas wilayah izin, serta lemahnya integritas penegak aturan menjadikan peredaran miras sulit dikendalikan.
Menurut pengamat kebijakan publik dari Universitas Airlangga, fenomena ini menunjukkan krisis etika dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah. “Ketika aspek ekonomi lebih dominan daripada perlindungan sosial, maka kebijakan publik kehilangan orientasi moralnya. Pemerintah tidak cukup hanya menegakkan aturan, tapi harus memastikan keadilan sosial benar-benar hadir,” ujarnya.
Ancaman Aksi Massa dan Respons Pemerintah yang Mandek
Dalam surat tersebut, BNPM memberi tenggat moral kepada pemerintah daerah. Jika dalam waktu dekat tidak ada tindakan nyata, mereka akan menggelar aksi massa terkoordinasi-yang mereka sebut class sweeping-sebagai bentuk tekanan publik terhadap lambannya respon pemerintah.
Hingga berita ini diturunkan, pihak Pemkab Sidoarjo belum memberikan tanggapan resmi. Dinas Perizinan, Satpol PP, dan kepolisian setempat juga belum mengonfirmasi adanya operasi atau inspeksi lapangan terkait laporan BNPM tersebut.
Sementara itu, warga di sekitar kawasan yang dituding menjadi lokasi penjualan miras berharap tindakan cepat dari pemerintah. “Kami sudah beberapa kali melapor, tapi belum ada hasil. Kami takut anak-anak kami terpengaruh lingkungan seperti ini,” ujar seorang tokoh masyarakat yang enggan disebut namanya.
Perspektif Studi Kebijakan: Antara Regulasi dan Moral Publik
Kasus ini memperlihatkan dilema klasik dalam studi kebijakan publik: regulation versus moral governance.
Pemerintah daerah sering terjebak pada pendekatan administratif-mengukur masalah dari sisi legal formal-namun abai pada dimensi etika sosial. Padahal, kebijakan publik seharusnya bukan hanya soal izin dan larangan, melainkan refleksi tanggung jawab negara terhadap keamanan moral masyarakat.
Ketika toko-toko miras berdiri bebas di tengah ruang sosial yang rentan, persoalannya bukan sekadar pelanggaran peraturan, melainkan kegagalan tata kelola publik yang berkeadilan. Di titik inilah, tuntutan BNPM menjadi lebih dari sekadar aksi moral: ia adalah kritik atas kemandekan birokrasi daerah dalam menegakkan fungsi negara sebagai pelindung nilai sosial.
Dalam bahasa kebijakan, negara lemah bukan karena tidak punya aturan, tetapi karena kehilangan keberanian untuk menegakkannya secara adil. (Redho)

















