Musi Rawas, Majalahjakarta.com – Pemerintah Kabupaten Musi Rawas kembali menjadi sorotan publik setelah proyek revitalisasi Alun-Alun Taman Beragam yang bernilai hampir Rp3,9 miliar viral di media sosial. Proyek yang dikerjakan oleh CV Gilang Karya Persada dengan masa kerja 110 hari kalender menggunakan dana APBD 2025, kini dipertanyakan transparansi dan kualitas pengerjaannya oleh sejumlah aktivis dan masyarakat sipil.
Proyek ini semula digadang-gadang menjadi simbol wajah baru Musi Rawas — ruang publik yang merepresentasikan keindahan dan kebanggaan daerah. Namun di lapangan, justru muncul dugaan bahwa proyek tersebut dikerjakan secara asal-asalan. Beberapa aktivis bahkan menilai revitalisasi itu lebih mirip redecorasi tanpa akuntabilitas daripada upaya pembenahan tata ruang kota yang berorientasi publik.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Sejumlah aktivis dan jurnalis lokal yang turun langsung ke lokasi – di antaranya Saiful Bustam Efendi (Ketua Projamin Musi Rawas-Lubuklinggau-Muratara), Astuti (Ketua Repro/Relawan Prabowo), Zainuri (Ketua Laskar Merah Putih), serta Lili Suryani dari Media Nasional Tuntas dan Arapik dari TV News Online – menemukan indikasi bahwa bahan bangunan yang digunakan tidak sesuai spesifikasi.
“Kami menduga proyek revitalisasi ini dikerjakan asal-asalan. Besi yang seharusnya menggunakan ukuran 10 diduga dioplos dengan besi ukuran 6. Ini jelas meragukan kualitas dan daya tahan bangunan,” ujar Saiful Bustam Efendi, Rabu (29/10/2025).
Saiful menambahkan, dugaan penyimpangan tersebut memperlihatkan bagaimana orientasi keuntungan jangka pendek kerap mengalahkan tanggung jawab terhadap kualitas publik.
“Kami menduga ada kepentingan pribadi yang menunggangi proyek ini. Nilainya hampir Rp4 miliar, tapi hasilnya tidak mencerminkan penggunaan anggaran sebesar itu,” tegasnya.
Fenomena seperti ini bukan sekadar isu lokal, tetapi cermin dari problem struktural dalam tata kelola proyek daerah di Indonesia. Revitalisasi ruang publik sering kali berhenti di tataran estetika fisik – taman dicat ulang, lampu diganti, jalan dipoles – namun jarang disertai mekanisme pengawasan partisipatif dan audit keterbukaan data proyek yang menjadi roh dari tata kelola pemerintahan modern (good governance).
Dalam konteks kebijakan publik, revitalisasi semestinya bukan sekadar mempercantik kota, tetapi memperbaiki cara pemerintah berinteraksi dengan warganya. Ketika masyarakat hanya tahu angka anggaran tanpa tahu kualitas output, maka yang dibangun bukan keindahan, melainkan kecurigaan.
Ironisnya, proyek semacam ini sering kali diakhiri dengan laporan keberhasilan administratif, bukan evaluasi manfaat sosial. Padahal, alun-alun adalah simbol ruang demokrasi dan representasi keadilan kota – tempat rakyat hadir tanpa tiket, tanpa tembok, dan tanpa prasangka. Jika revitalisasi dilakukan dengan manipulasi, maka yang sebenarnya direvitalisasi bukan ruang publik, tapi keberanian publik untuk percaya.
Kasus di Musi Rawas menjadi pengingat bahwa kebijakan pembangunan daerah tak boleh hanya diukur dari output fisik, melainkan dari transparansi, partisipasi, dan integritas pengelolaan anggaran. Sebab, ruang publik yang indah tak ada artinya jika fondasinya dibangun di atas praktik yang rapuh.
Hingga berita ini diturunkan, pihak Dinas PU Cipta Karya, Tata Ruang, dan Permukiman (PUCKTRP) Kabupaten Musi Rawas belum memberikan keterangan resmi atas dugaan penyimpangan tersebut. Publik kini menanti apakah pemerintah daerah akan membuka data proyek secara transparan – atau memilih diam sambil berharap sorotan publik cepat berlalu. (Red)

















