Jakarta, Majalahjakarta.com – Di tengah perdebatan kebijakan fiskal yang makin defensif, Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa bicara seperti orang yang baru sadar dunia nyata berbeda dari ruang seminar. Dulu ia lantang menyeru agar PPN diturunkan, kini justru gamang di hadapan defisit. Padahal, dalam ekonomi yang lesu, kadang yang perlu dinaikkan bukan tarif pajak, melainkan keberanian berpikir.
Purbaya Yudhi Sadewa, Menteri Keuangan yang baru beberapa bulan menjabat, mendadak seperti kehilangan selera humor fiskal ketika mendengar usulan penurunan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 8 persen. Ia menyebut, setiap 1 persen penurunan PPN akan membuat negara kehilangan pendapatan sekitar Rp70 triliun. Pernyataan itu ia sampaikan dalam forum Sarasehan 100 Ekonom Indonesia 2025 di Jakarta, Selasa (28/10/2025), sebagaimana diberitakan Kompas, 28 Oktober 2025.
Di permukaan, pernyataan ini tampak rasional. Namun, dalam logika ekonomi riil, kehilangan pendapatan sesaat tidak selalu berarti kerugian jangka panjang.
Di negara yang sering menjadikan APBN sebagai simbol ketertiban fiskal, keberanian berpikir kerap kalah oleh ketakutan menanggung risiko. Setiap usulan insentif baru hampir selalu ditanggapi dengan nada waspada: “nanti APBN jebol.” Padahal, defisit bukanlah bencana, melainkan instrumen ekspansi di saat ekonomi lesu. Menurut CNBC Indonesia, 29 Oktober 2025, defisit fiskal 2025 meningkat bukan karena penurunan penerimaan pajak, melainkan lonjakan belanja birokrasi dan pembiayaan proyek infrastruktur yang belum produktif.
Artinya, persoalan bukan pada penurunan tarif, tetapi pada kualitas belanja dan efisiensi fiskal.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Ironisnya, Purbaya sendiri sebelum menjabat pernah menulis opini berjudul “Efisiensi Fiskal melalui Pajak Konsumsi Adaptif” di Kontan, Mei 2021, yang secara gamblang menyebut penurunan tarif PPN dapat memicu peningkatan volume transaksi dan memperluas basis pajak. Kini, ketika ia berada di posisi pembuat keputusan, pandangan itu seolah dilupakan. Barangkali bukan karena ia berubah, melainkan karena jabatan sering kali membuat seseorang melihat risiko lebih besar daripada peluang.
Secara empiris, argumen penurunan PPN bukan tanpa dasar. Bisnis Indonesia, 29 Oktober 2025 mencatat, konsumsi rumah tangga masih menjadi penyumbang terbesar Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia, yakni sekitar 54,3 persen. Sementara, tarif PPN Indonesia sebesar 11 persen tergolong tinggi dibanding negara-negara ASEAN: Thailand 7 persen, Malaysia 6 persen, dan Vietnam 10 persen (sumber: OECD Tax Database 2024). Dalam konteks daya saing regional, menurunkan tarif PPN bukan bentuk keberanian sembrono, melainkan langkah rasional untuk mendorong konsumsi dan menjaga daya beli.
Dalam logika sederhana: jika tarif pajak turun, harga barang menjadi lebih murah; daya beli meningkat; konsumsi naik; produksi bertambah; dan perusahaan membuka lebih banyak lapangan kerja. Pajak penghasilan pun ikut tumbuh karena tenaga kerja bertambah. Siklus ini telah berulang kali dibuktikan dalam studi ekonomi makro klasik di mana elastisitas konsumsi terhadap perubahan harga jauh lebih kuat daripada efek langsung pemungutan pajak.
Namun, logika itu sering kandas di hadapan birokrasi yang lebih takut kehilangan pendapatan jangka pendek daripada kehilangan momentum pertumbuhan jangka panjang.
Kekhawatiran pemerintah sebetulnya tidak sepenuhnya salah. Dalam jangka pendek, penurunan tarif memang menekan kas negara. Menurut laporan Katadata, 27 Oktober 2025, target penerimaan 2025 sebesar Rp2.700 triliun diproyeksikan ketat karena perlambatan ekonomi global dan pelemahan ekspor. Dalam situasi seperti itu, kehati-hatian fiskal bisa dimaklumi. Namun, berhati-hati tidak berarti berhenti berinovasi. Kebijakan fiskal yang adaptif justru bisa menjaga sirkulasi ekonomi tetap hidup di tengah tekanan global.
Sayangnya, di Indonesia, “kehati-hatian” sering berarti stagnasi yang dibungkus dengan istilah stabilitas.
Kita sedang menyaksikan bentuk klasik dari birokrasi fiskal yang gemar menghitung kehilangan daripada memperhitungkan peluang. Setiap penurunan tarif pajak dianggap pengkhianatan terhadap target penerimaan, bukan bagian dari strategi pertumbuhan. Padahal, seperti diingatkan Tempo, 28 Oktober 2025, instrumen fiskal seharusnya bukan hanya alat memungut uang rakyat, tetapi juga sarana menumbuhkan ekonomi rakyat itu sendiri.
Jika kebijakan hanya menekan, tanpa memberi ruang bernapas bagi konsumsi, maka APBN hanya menjadi neraca yang indah di atas kertas, tetapi hampa di lapangan.
Rasa takut kehilangan pendapatan negara sering kali lahir dari cara pandang jangka pendek. Pemerintah terlalu cepat menilai rugi ketika angka penerimaan pajak turun beberapa persen, tanpa menunggu efek lanjutan yang bisa menyeimbangkan neraca. Dalam banyak studi ekonomi perilaku, insentif konsumsi memiliki efek domino terhadap pajak lain: PPh, cukai, hingga retribusi daerah. Artinya, apa yang disebut “kerugian fiskal” sebenarnya hanyalah ilusi akuntansi yang menutup potensi lebih besar dari pertumbuhan ekonomi berbasis konsumsi rakyat.
Maka, pertanyaan sederhana kembali menggema: rugi dari mana? Negara tidak menjual produk, tidak menanggung ongkos produksi, dan tidak mengimpor bahan baku. Pajak bukan komoditas; ia adalah instrumen sosial. Karena itu, yang seharusnya ditakutkan bukan turunnya tarif, melainkan turunnya kepercayaan rakyat bahwa kebijakan fiskal dijalankan untuk kesejahteraan mereka. Sebab bila rakyat tak lagi percaya bahwa pajak berbanding lurus dengan kesejahteraan, maka legitimasi fiskal akan runtuh jauh sebelum defisit meningkat.
Begitu jabatan bicara, idealisme sering kehilangan volume. Namun, negara tak bisa tumbuh dengan hanya memelihara rasa takut. Jika setiap kebijakan selalu diukur dari potensi kehilangan pendapatan, maka negeri ini akan terus menabung kehati-hatian dan membelanjakan stagnasi.
Fiskal yang sehat bukan yang tak pernah defisit, tapi yang berani menanam risiko untuk memanen pertumbuhan.
Dwi Taufan Hidayat

















