Jakarta, Majalahjakarta.com – Ketika Cak Imin menyebut Indomaret dan Alfamart sebagai pembunuh UMKM, publik seakan baru terbangun dari tidur panjang. Ironinya, dua raksasa ritel itu tumbuh bukan karena kebetulan, melainkan karena negara yang memelihara mereka. Kita bersorak atas keberanian bicara, namun lupa: yang berteriak paling keras sering duduk paling dekat dengan sumber masalah.
Cak Imin, dengan gaya khasnya yang lantang dan jenaka, mengguncang ruang publik lewat pernyataannya: “Retail raksasa pembunuh UMKM itu bernama Indomaret dan Alfamart.” Kalimat itu diucapkannya dalam acara Satu Tahun Pemberdayaan Masyarakat: Langkah Awal Transformasi Bangsa di Jakarta, 28 Oktober 2025 (detik.com, 28/10/2025).
Kata “pembunuh” bukan sekadar metafora, melainkan cermin getir dari sistem ekonomi yang sejak lama membiarkan pemain kecil kalah di tanah sendiri.
Namun, ada yang lebih menarik dari sekadar orasi itu. Ritel raksasa tidak datang membawa pedang, melainkan sistem, efisiensi, dan kenyamanan. Mereka hadir dengan lampu terang, harga promo, dan ruang berpendingin yang membuat pelanggan lupa pada warung tetangga. Tapi siapa yang membuka pintu selebar-lebarnya bagi ekspansi mereka? Tentu bukan rakyat, melainkan negara sendiri, lewat izin usaha yang nyaris tanpa batas.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Seperti diberitakan jpnn.com, 28/10/2025, Cak Imin menuding jaringan ritel modern masuk hingga ke kampung-kampung, menggerus napas ekonomi rakyat kecil. Tapi perlu diingat, izin itu bukan turun dari langit. Ada tanda tangan pejabat, ada perda yang dilonggarkan, ada dana retribusi yang mengalir diam-diam. Jika benar ritel besar membunuh UMKM, maka birokrasi adalah pemasok pelurunya.
Ironinya, orasi heroik semacam ini sering muncul menjelang tahun politik. Seolah-olah rakyat baru sadar bahwa warung tetangga sudah sekarat. Padahal, gejalanya sudah tampak sejak dua dekade lalu: ketika pasar tradisional tergusur oleh bangunan minimarket berlogo cerah dan parkiran luas. Kala itu, di mana para pejabat yang kini lantang bersuara? Mungkin sedang menikmati diskon di lorong berpendingin.
Masalahnya bukan pada siapa yang lebih efisien, tetapi pada siapa yang lebih dilindungi. Ritel modern mendapatkan pasokan stabil, pajak yang terkelola, dan sistem logistik nasional. Sementara pedagang kecil harus menghadapi pajak daerah yang timpang dan harga bahan pokok yang fluktuatif. Negara bicara pemerataan, tapi praktiknya masih berpihak pada mereka yang mampu membayar izin dan pajak lebih besar. Itulah paradoks pembangunan ekonomi kita.
Menurut data Asosiasi Pedagang Pasar (APPBI) tahun 2024, lebih dari 40 ribu warung tradisional gulung tikar dalam radius 500 meter dari lokasi minimarket waralaba. Sebagian pemilik warung kini bekerja sebagai kasir di toko-toko yang dulu mereka lawan. Mungkin inilah definisi paling tepat dari “transformasi ekonomi”: rakyat kecil tak lagi berdagang, tapi dipekerjakan oleh sistem yang menyingkirkan mereka.
Dalam konteks ini, pernyataan Cak Imin bukan sekadar kritik, tapi juga pengakuan dosa kolektif. Sebab yang ia serang adalah sistem yang juga dipeliharanya selama puluhan tahun berada di lingkaran kekuasaan. Ia benar ketika menyebut UMKM sekarat. Tapi ia lupa bahwa kebijakan-kebijakan yang lahir dari pemerintahannya sendiri seringkali jadi penyebab utamanya. Sinisme ini bukan tanpa dasar; ia lahir dari kelelahan publik mendengar janji yang berulang tapi tak pernah menetas.
Kritik terhadap ritel besar memang perlu, tapi keberanian sejati bukan pada menyebut nama Indomaret atau Alfamart, melainkan pada menata ulang sistem izin usaha, pajak, dan jarak zonasi antara pasar tradisional dan gerai modern. Seperti dicatat tempo.co, 28/10/2025, kebijakan pembatasan radius 500 meter dari pasar tradisional nyaris tak dijalankan. Pengawasan longgar, kepentingan daerah lebih condong pada retribusi. Akibatnya, setiap ruko kosong bisa berubah menjadi minimarket dalam hitungan minggu.
Negara yang kuat bukan yang punya banyak minimarket, tapi yang menjaga keseimbangan antara efisiensi dan keadilan sosial. Ritel besar tentu sah beroperasi, tapi pemerintah wajib memastikan kehadirannya tidak menenggelamkan ekonomi rakyat kecil. Ironisnya, pejabat sering berfoto di depan gerai ritel saat peresmian atau acara CSR, sambil bicara tentang pemberdayaan UMKM. Sebuah simbol yang lebih menghibur kamera ketimbang menolong rakyat.
Rakyat sebenarnya tidak anti-modernisasi. Mereka hanya ingin keadilan. Sebab warung kecil bukan sekadar tempat belanja, tapi simpul sosial tempat tetangga berbagi utang, berbincang, dan saling menolong. Ketika semuanya digantikan oleh kasir tanpa senyum dan mesin barcode, maka yang hilang bukan hanya transaksi, tapi kehangatan kemanusiaan.
Mungkin benar kata Cak Imin: ritel besar telah membunuh UMKM. Tapi kematian itu bukan karena pelaku tunggal. Ia adalah hasil dari pembiaran yang sistematis, dari negara yang terlalu cinta angka pertumbuhan tapi lupa makna kesejahteraan. Mungkin UMKM tidak mati karena minimarket, melainkan karena pemerintah terlalu lama bersembunyi di balik baliho bertuliskan “Pemberdayaan Ekonomi Rakyat”.
Dan di ujung semua ironi ini, kita hanya bisa tertawa getir. Karena di negeri ini, yang berteriak paling lantang tentang rakyat kecil, seringkali justru duduk paling nyaman di pangkuan para pemodal besar.
Dwi Taufan Hidayat

















