Kupang, Majalahjakarta.com – Ruang sidang utama Pengadilan Militer III-15 Kupang, Senin (27 Oktober 2025), berubah menjadi lautan air mata. Di hadapan majelis hakim, Serda Kristian Namo dan istrinya, Sepriana Paulina Mirpey, berdiri dengan suara bergetar – bukan sekadar saksi, melainkan orang tua yang kehilangan putra satu-satunya, Prada Lucky Chepril Saputra Namo. Sang prajurit muda tewas akibat penganiayaan brutal di satuan tempatnya bertugas.
“Anak saya diperlakukan tidak manusiawi hingga meninggal dunia. Mereka bukan hanya membunuh anak saya, tapi juga mencoreng kehormatan institusi. Saya minta pelaku dipecat dan dihukum seberat-beratnya,” ujar Serda Kristian di hadapan majelis hakim, suaranya serak menahan amarah dan duka.
Sidang yang Menggugah Luka Lama
Sidang yang dipimpin Mayor Chk Subiyatno, S.H., M.H., dengan hakim anggota Kapten Chk Dennis Carol Napitupulu dan Kapten Chk Zainal Arifin Anang Yulianto, menghadirkan terdakwa Lettu Inf Ahmad Faisal, S.Tr. (Han), Komandan Kompi Batalyon TP 834 Waka Nga Mere. Ia didakwa lalai menghentikan aksi kekerasan bawahannya yang menyebabkan tewasnya Prada Lucky.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Oditur Militer Letkol Chk Yusdihario, S.H., membacakan dakwaan dengan tenang, namun setiap kalimat terasa menohok. Di bangku pengunjung, keluarga korban hanya bisa menunduk, menggenggam foto sang anak yang kini tinggal kenangan.
Kesaksian Ayah: Luka yang Tak Pernah Pulih
Dalam kesaksiannya, Serda Kristian mengisahkan awal kabar tragis itu. Ia menerima informasi dari Dansi Intel bahwa anaknya “kabur dari batalyon”. Namun beberapa jam kemudian kabar berubah – Lucky ditemukan dalam kondisi kritis di rumah sakit.
“Saat saya tiba, Lucky masih berjuang. Tapi pukul 11.25 WITA, dia menghembuskan napas terakhir. Tubuhnya penuh luka di paha, punggung, rusuk, bahkan kepala,” ujarnya dengan suara bergetar.
Sebelum meninggal, Lucky sempat melakukan video call kepada orang tuanya dan menunjukkan luka-luka di tubuhnya. Tak lama setelah itu, ponselnya disita oleh satuan.
“Dia bilang, ‘Papa, saya sakit sekali.’ Kami tak menyangka itu panggilan terakhirnya,” tutur Kristian lirih.
Suara Ibu: Air Mata dan Keteguhan
Kesaksian berikutnya datang dari sang ibu, Sepriana Paulina Mirpey. Dengan suara gemetar, ia mengaku sempat dipukul oleh Dansi Intel saat mencari keberadaan anaknya. Ia juga menyaksikan langsung kondisi Lucky yang memburuk di rumah sakit.
“Dokter bilang paru-parunya penuh cairan, ginjalnya gagal. Tubuhnya penuh lebam. Tidak ada bagian yang utuh,” ucap Sepriana menahan tangis.
Ia menegaskan tuntutannya: semua pelaku harus dipecat dan pelaku utama dijatuhi hukuman maksimal.
“Kalau keadilan tidak ditegakkan, kami akan menempuh jalan lain, termasuk otopsi ulang jenazah anak kami,” ujarnya tegas.
Analisis Hukum: Antara Komando dan Keadilan
Perkara ini menyentuh dua aspek penting dalam hukum militer: tanggung jawab komando (command responsibility) dan kejahatan dalam dinas (service-related crime).
Pasal 131 dan 132 KUHPM menegaskan bahwa atasan wajib mencegah dan menghentikan pelanggaran hukum oleh bawahannya. Kelalaian dalam menjalankan kewajiban itu bisa dikategorikan sebagai tindak pidana militer serius, apalagi jika mengakibatkan hilangnya nyawa.
“Diamnya seorang komandan dalam situasi kekerasan adalah bentuk kelalaian yang berujung pidana. Dalam hukum militer, tanggung jawab moral dan hukum atasan melekat pada setiap tindakan bawahannya,” ujar seorang praktisi hukum militer kepada awak media.
Sesuai Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer, proses persidangan harus tetap menjunjung asas transparansi. Pengadilan Militer III-15 Kupang pun menyiarkan sidang ini secara terbuka agar publik bisa memantau jalannya proses hukum.
Keadilan yang Ditunggu Bangsa
Sidang kasus Prada Lucky bukan sekadar urusan hukum, tapi juga ujian moral bagi institusi militer. Di luar gedung, masyarakat berdiri di bawah terik matahari, menyaksikan jalannya sidang melalui layar monitor. Mereka tak sekadar menonton perkara, tapi menyaksikan perjuangan panjang keluarga kecil yang menolak diam menghadapi ketidakadilan.
Air mata di ruang sidang Kupang hari itu bukan sekadar duka. Ia adalah doa – agar hukum benar-benar hidup, dan keadilan tak lagi menjadi kata kosong di balik seragam kehormatan. (Lukas)

















