Satu Kios, Satu Harapan: Menendang Mafia Kios dari Pasar

- Penulis

Selasa, 28 Oktober 2025 - 08:41

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Spread the love

Jakarta, Majalahjakarta.com – Di Jakarta, keadilan kadang sesederhana soal siapa yang berhak menaruh dagangan di lapak dua kali dua meter. Namun di balik kesederhanaan itu, bertahun-tahun tumbuh praktik mafia kios: satu orang bisa menguasai belasan lapak, sementara puluhan pedagang kecil antre di pinggir jalan. Kini, langkah Pramono Anung menata ulang sistem ini patut diapresiasi.

Ada banyak cara menegakkan keadilan ekonomi, tapi langkah Gubernur DKI Jakarta Pramono Anung melarang pedagang memiliki lebih dari satu kios adalah salah satu yang paling konkret. Ia menegaskan, “Enggak boleh ada yang mempunyai lebih dari satu kios. Jadi maksimum satu kios adalah satu orang,” ujarnya di Jakarta, Senin, 27 Oktober 2025.
(CNN Indonesia, 27 Oktober 2025)

Larangan itu muncul setelah mencuatnya fenomena mafia kios di Pasar Barito sebuah praktik lama yang merugikan pedagang kecil. Satu orang bisa menguasai hingga 15 kios, lalu menyewakannya kembali dengan harga selangit. Pedagang kecil yang semestinya mendapat hak berjualan, justru menjadi penyewa kedua di atas tanah yang semestinya disediakan untuk mereka.
(Detik News, 26 Oktober 2025)

ADVERTISEMENT

ads

SCROLL TO RESUME CONTENT

Melihat ketimpangan itu, Pramono menegaskan dua hal: larangan kepemilikan ganda dan pembebasan biaya sewa serta air selama enam bulan bagi pedagang yang direlokasi ke Lenteng Agung. “Yang satu kios, satu orang bisa 15 kios, enggak boleh terjadi. Kami ingin ada pemerataan bagi masyarakat Jakarta,” tegasnya.
(CNN Indonesia, 27 Oktober 2025)

Sebanyak 125 kios baru di Lenteng Agung telah disiapkan untuk menampung para pedagang eks-Barito. Pemerintah juga menyediakan fasilitas air dan rencana pembangunan klinik satwa, menyesuaikan karakter pedagang yang banyak menjual hewan peliharaan. “Semua kios sudah bisa dipakai, termasuk fasilitas air. Kami akan membuat klinik satwa jika mayoritas pedagang adalah penjual fauna,” kata Pramono.
(Ayo Bandung, 27 Oktober 2025)

Relokasi pedagang Barito ini bukan sekadar urusan tata niaga, tetapi juga bagian dari proyek besar Pemprov DKI untuk mengembalikan fungsi ruang hijau kota. Kawasan Taman Ayodya, Taman Langsat, dan Taman Leuser akan diintegrasikan menjadi zona terbuka hijau sepenuhnya, tanpa embel-embel kepentingan pribadi. “Ketiga taman itu akan menjadi tempat masyarakat berolahraga, berjalan, dan berkumpul, bukan arena bisnis segelintir orang,” ujar Pramono.
(Tempo.co, 28 Oktober 2025)

Kebijakan ini patut diapresiasi karena menegakkan asas pemerataan ekonomi mikro di tengah kota megapolitan yang sering kali lebih berpihak pada modal besar. Pramono tidak sedang menciptakan sistem baru, tapi membongkar pola lama: monopoli kios oleh segelintir orang yang bersembunyi di balik nama-nama pedagang kecil.

Selama ini, praktik mafia kios telah menciptakan rantai ketimpangan yang nyaris tak tersentuh hukum. Mereka membeli atau menyewa banyak kios dengan berbagai nama, lalu memperjualbelikan kembali hak sewa kepada pedagang kecil dengan harga berlipat. Di sinilah absurditas ekonomi rakyat kecil sering terjadi: yang bekerja keras tidak mendapat tempat, yang bermain koneksi justru untung berlipat.

Namun, apresiasi ini tak boleh menutup mata terhadap tantangan besar implementasi di lapangan. Sejauh mana Pemprov DKI bisa memastikan bahwa satu orang benar-benar hanya memiliki satu kios? Bagaimana memastikan tidak ada manipulasi identitas atau peminjaman nama keluarga untuk mengakali aturan? Tanpa sistem verifikasi digital dan pengawasan aktif, kebijakan ini berisiko dilangkahi lagi oleh jaringan mafia kios yang sudah berpengalaman memanfaatkan celah birokrasi.

Baca Juga:  Ketika Luhut Menantang Menkeu di Publik

Kritikus tata kelola pasar menilai, penataan kios harus dibarengi transparansi kepemilikan. Pemprov DKI bisa mencontoh sistem open data di beberapa kota besar dunia, di mana daftar penerima izin kios bisa diakses publik secara daring. Dengan begitu, masyarakat sendiri dapat menjadi pengawas sosial yang efektif, bukan sekadar penonton.
(Kompas.com, 28 Oktober 2025)

Di sisi lain, kebijakan gratis sewa dan air enam bulan adalah langkah empatik yang menunjukkan pemahaman terhadap beban sosial ekonomi pedagang kecil. Transisi lokasi selalu berat: butuh adaptasi pelanggan, modal baru, dan biaya pindah. Pemerintah yang hadir melalui keringanan itu adalah bentuk keberpihakan yang nyata, bukan sekadar retorika populis. Tapi setelah enam bulan berlalu, program ini perlu dilanjutkan dengan pembinaan agar pedagang tidak kembali terjebak dalam skema sewa gelap.

Dari perspektif sosial, kebijakan ini juga memperlihatkan dimensi moral urbanisasi: kota bukan milik mereka yang kuat, tapi mereka yang mau tertib dan adil. Jika satu orang dibiarkan menguasai lima belas kios, itu bukan hanya pelanggaran administratif, tapi pengkhianatan terhadap prinsip kota sebagai ruang hidup bersama.

Sebagaimana warga Lenteng Agung, Ibal Usman pernah menulis di media sosial, “Anak-anak kami susah berjalan di trotoar karena kios berdiri di atasnya. Konon satu orang bisa punya lima kios.” Suara kecil semacam ini menunjukkan betapa ruang publik sudah lama dirampas oleh praktik ekonomi yang tak berkeadilan.

Kini, dengan kebijakan “satu kios, satu pedagang,” Pemprov DKI punya kesempatan mengembalikan rasa keadilan itu. Tapi keadilan bukan sekadar diatur di podium, melainkan ditegakkan di pasar. Pemerintah harus berani memotong rantai mafia kios hingga ke akar, bukan hanya di Lenteng Agung, tapi juga di Pejompongan, Cikini, dan Tanah Abang semua titik di mana keadilan ekonomi rakyat kecil sedang diuji oleh kerakusan.

Kita perlu menegaskan satu hal sederhana: kios bukan sekadar ruang dagang, tapi simbol kedaulatan rakyat kecil di kota besar. Jika ruang sekecil itu saja direbut oleh mafia, lalu di mana tempat kejujuran bisa bertahan?

Maka, langkah Pramono adalah awal penting. Tapi seperti semua kebijakan publik, ia hanya bermakna sejauh pengawasan dijaga dan keberpihakan tak tergelincir menjadi kompromi. Pemerataan ekonomi tidak bisa lahir dari kebijakan setengah hati, melainkan dari keberanian politik yang menolak segala bentuk monopoli sekecil apapun ukurannya.

Dan pada akhirnya, satu kios di tangan pedagang kecil lebih berharga daripada lima belas kios di tangan mafia. Karena dari sanalah keringat rakyat kecil bertransformasi menjadi napas keadilan kota.

Dwi Taufan Hidayat

Berita Terkait

Negara Rugi Ratusan Triliun, Bandarnya Tetap Tertawa
Menimbang Gelar Pahlawan di Tengah Rekonsiliasi Sejarah
Negara Topeng, Negara Neoliberalisme
Polri, Ijazah, dan Kekacauan Batas Kewenangan
DPR dan Krisis Kepercayaan Publik yang Menganga
Restrukturisasi Whoosh: Efisiensi Baru atau Beban Lama Negara?
Dasco Bungkam Tujuh Bulan, Bom Waktu Judi Kamboja Goyang Fondasi Partai
Skandal Alutsista: KPK Didesak Bongkar Peran Broker dalam Proyek Kapal TNI AL
Berita ini 9 kali dibaca
4 1 vote
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

0 Comments
Inline Feedbacks
View all comments

Berita Terkait

Selasa, 11 November 2025 - 14:26

Menimbang Gelar Pahlawan di Tengah Rekonsiliasi Sejarah

Selasa, 11 November 2025 - 13:52

Dewan Kota di Persimpangan Hukum: Antara Representasi Publik dan Formalitas Birokrasi dalam Era Provinsi Daerah Khusus Jakarta

Selasa, 11 November 2025 - 12:18

Negara Topeng, Negara Neoliberalisme

Selasa, 11 November 2025 - 12:02

Polri, Ijazah, dan Kekacauan Batas Kewenangan

Selasa, 11 November 2025 - 11:24

Restrukturisasi Whoosh: Efisiensi Baru atau Beban Lama Negara?

Selasa, 11 November 2025 - 09:07

Dasco Bungkam Tujuh Bulan, Bom Waktu Judi Kamboja Goyang Fondasi Partai

Senin, 10 November 2025 - 07:59

Jam Intel Redha Mantovani Disorot: Abaikan Buru Terpidana, Sibuk Hadiri CSR Aguan?

Senin, 10 November 2025 - 05:12

Skandal Alutsista: KPK Didesak Bongkar Peran Broker dalam Proyek Kapal TNI AL

Berita Terbaru

Digital

Negara Rugi Ratusan Triliun, Bandarnya Tetap Tertawa

Selasa, 11 Nov 2025 - 14:38

Nasional

Menimbang Gelar Pahlawan di Tengah Rekonsiliasi Sejarah

Selasa, 11 Nov 2025 - 14:26

Analisis

Negara Topeng, Negara Neoliberalisme

Selasa, 11 Nov 2025 - 12:18

Nasional

Polri, Ijazah, dan Kekacauan Batas Kewenangan

Selasa, 11 Nov 2025 - 12:02

0
Would love your thoughts, please comment.x
()
x