Jakarta, Majalahjakarta.com – Setiap bulan rakyat Indonesia membayar listrik tanpa tunggakan, membeli bensin tanpa hutang, dan terbang dengan tiket yang sudah lunas. Anehnya, perusahaan negara yang melayani semua kebutuhan dasar itu justru selalu melaporkan kerugian. Di tengah ironi ini, Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa menegaskan satu kalimat yang mengguncang: “Saya akan bongkar semuanya.” (Lintas Berita, 26 Oktober 2025)
Pernyataan itu muncul di tengah rapat kabinet ketika publik mulai mempertanyakan mengapa BUMN strategis seperti PLN, Pertamina, dan Garuda masih terus berdarah-darah. Padahal, masyarakat bukanlah pelanggan yang menunggak. Rakyat tidak pernah berhutang listrik, tidak pernah menunda beli bensin, dan tak pernah minta tiket gratis. Tapi laporan keuangan menunjukkan angka merah yang menakutkan. (iNews, 27 Oktober 2025)
Masalahnya jelas bukan pada rakyat, melainkan pada sistem yang sudah terlalu lama berlubang. Dari pengadaan yang tidak transparan, proyek siluman, hingga beban subsidi yang tumpang tindih, semuanya berakar pada lemahnya penegakan hukum dan akuntabilitas publik. Dalam situasi seperti ini, janji “membongkar semuanya” bukan sekadar slogan. Ia menjadi taruhan moral dan politik. (Tirto, 17 Oktober 2025)
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Publik tahu, membenahi BUMN tidak cukup hanya mengganti direksi atau mengutuk korupsi. Diperlukan audit forensik menyeluruh, keterlibatan lembaga independen, dan keberanian membuka data transaksi besar yang selama ini tertutup. “Kalau memang ada kebocoran sistemik, biar hukum yang berbicara,” kata Purbaya menegaskan di hadapan Komisi XI DPR. (iNews, 27 Oktober 2025)
Namun membongkar kebobrokan bukan perkara mudah. Sistem yang rusak ibarat sarang laba-laba yang menjaring keuntungan banyak pihak. Dari birokrat hingga pengusaha, dari level kebijakan hingga operator, semuanya punya kepentingan. Di sinilah sinisme publik menemukan momentumnya: rakyat yang membayar penuh justru menanggung kerugian dari lembaga yang mestinya melayani mereka. (Bindo.id, 24 Oktober 2025)
Dalam pandangan para ekonom, ironi ini muncul karena model bisnis BUMN yang kabur antara fungsi sosial dan profit. Mereka diminta menjaga harga agar rakyat tidak terbebani, tapi juga dituntut untuk untung. Akibatnya, subsidi disalurkan tanpa kejelasan sasaran dan laporan kerugian menjadi ruang abu-abu bagi manipulasi anggaran. (Investor Daily, 25 Oktober 2025)
Purbaya menawarkan jalan yang lebih rasional: harga sesuai klasifikasi kemampuan masyarakat. Rumah tangga miskin diberi diskon 50 persen, kelas menengah tanpa potongan, sementara golongan kaya dan industri dikenai tarif mark up hingga 150 persen. Logika sederhananya: keadilan bukan berarti semua disamaratakan, tapi disesuaikan dengan kemampuan membayar. (iNews, 27 Oktober 2025)
Tetapi langkah berani itu membutuhkan payung hukum yang kokoh. Regulasi lama tentang tarif dan subsidi perlu direvisi agar tidak menjadi celah permainan elite. Penegakan hukum atas penyimpangan di BUMN pun mesti diperkuat, mulai dari audit pengadaan hingga rotasi jabatan direksi berbasis merit. Tanpa reformasi kelembagaan, janji Purbaya akan berakhir seperti retorika pejabat yang berlalu tanpa hasil. (Jawapos, 22 Oktober 2025)
Kita juga tidak bisa menutup mata terhadap gaji direksi dan komisaris yang kadang melampaui nalar. Di saat rakyat menjerit karena kenaikan harga, sebagian pejabat BUMN hidup dalam kemewahan. Publik wajar marah. Namun kemarahan itu jangan diarahkan ke jalan kekerasan. Hukum harus tetap menjadi panglima, bukan amuk massa yang mengatasnamakan keadilan. (Suara Nasional, 26 Oktober 2025)
Sinisme terhadap pejabat mungkin sudah menjadi budaya bertahan hidup di negeri ini. Tapi sinisme yang cerdas harus melahirkan dorongan untuk perubahan, bukan sekadar olok olok. Mendukung langkah Purbaya bukan berarti menyanjung orangnya, melainkan menuntut agar sistem yang busuk benar benar dibersihkan dengan prosedur hukum yang sah. (Indonews, 27 Oktober 2025)
Jika benar audit dilakukan secara terbuka, masyarakat harus diberi akses terhadap hasilnya. Laporan keuangan BUMN, kontrak pengadaan, hingga struktur gaji pejabat publik mesti menjadi dokumen publik, bukan rahasia negara. Demokrasi ekonomi hanya bisa hidup bila rakyat tahu ke mana uang mereka mengalir. (Tempo.co, 21 Oktober 2025)
Prinsipnya sederhana: rakyat membayar dengan uang, pejabat membalas dengan kejujuran. Ketika kejujuran hilang, maka kepercayaan ikut terhapus. Dan begitu kepercayaan publik runtuh, negara kehilangan pondasi sosialnya. Dalam konteks itulah, pernyataan Purbaya menjadi lebih dari sekadar janji, ia adalah ujian terakhir untuk menakar seberapa serius negara melawan korupsi yang membusuk di dalam tubuhnya sendiri. (Kompas, 25 Oktober 2025)
Para pengamat menilai langkah Purbaya harus didukung bukan hanya oleh rakyat, tetapi juga oleh aparat hukum dan lembaga legislatif. Reformasi birokrasi tanpa dukungan politik hanya akan menjadi ide baik yang tak pernah diwujudkan. Karena itu, publik perlu mengawal proses ini agar tidak berhenti pada pidato di ruang sidang. (CNN Indonesia, 27 Oktober 2025)
Jika keberanian Purbaya diikuti dengan tindakan nyata, audit terbuka, rotasi jabatan yang transparan, dan penegakan hukum tanpa pandang bulu, maka ini bisa menjadi momentum sejarah. Indonesia butuh pejabat yang berani membuka jendela busuk birokrasi, meski risikonya kehilangan teman, posisi, bahkan kekuasaan. (Tirto, 17 Oktober 2025)
Pada akhirnya, mendukung Purbaya bukan tentang memuja tokoh, tapi tentang menegakkan prinsip. Kita mendukung karena ia bicara tentang keterbukaan, bukan karena ia melawan musuh politik. Kita berdiri di sisinya karena ia menyerukan akuntabilitas, bukan sekadar popularitas. Jika “bongkar semuanya” bukan retorika, maka sejarah akan mencatatnya sebagai keberanian moral yang langka di negeri yang sering memaafkan korupsi. (iNews, 27 Oktober 2025)
Dan jika hari itu tiba, ketika BUMN berhenti jadi ladang rente dan mulai jadi mesin pelayanan publik yang sehat, maka rakyat akhirnya bisa berkata: kami tidak pernah berhutang, tapi negara telah melunasi janjinya. (Dwi TH)

















