Kuala Lumpur, Majalahjakarta.com – Di bawah cahaya hangat yang menembus kaca lengkung Kuala Lumpur Convention Centre, Presiden Republik Indonesia Prabowo Subianto melangkah tenang menuju ruang utama Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ke-28 ASEAN–Jepang, Minggu, 26 Oktober 2025. Dalam forum yang mempertemukan para pemimpin Asia, suara Prabowo terdengar tegas dan berjiwa, membawa pesan persaudaraan yang melampaui batas diplomasi formal.
“Kemitraan ASEAN–Jepang telah teruji oleh waktu. Lima dekade perjalanan ini bukan sekadar kerja sama antarnegara, melainkan jembatan nurani antara dua kawasan yang mencintai perdamaian,” ujar Prabowo dalam pidato pembukaan.
Presiden menyampaikan apresiasi atas komitmen Jepang dalam menjaga sentralitas ASEAN dan mendukung visi Indo-Pasifik yang damai dan stabil. Menurutnya, kerja sama tidak cukup berhenti pada angka ekonomi atau naskah kesepakatan, melainkan harus membangun ruang kemakmuran bersama yang berlandaskan nilai kemanusiaan.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Dalam pidatonya, Prabowo juga menegaskan pentingnya memperkuat kemitraan ekonomi yang inklusif melalui ASEAN–Japan Comprehensive Economic Partnership dan Regional Comprehensive Economic Partnership (RCEP). Ia mendorong penguatan kolaborasi di bidang ekonomi digital, konektivitas keuangan, serta daya saing regional agar Asia Tenggara mampu menjadi pusat inovasi global.
“Kita hidup di masa ketika teknologi berlari cepat. Namun kemajuan sejati bukan tentang siapa yang paling cepat, melainkan siapa yang paling peduli terhadap masa depan bersama,” kata Prabowo.
Selain ekonomi, isu transisi energi menjadi sorotan. Prabowo menyambut baik kemitraan Jepang dalam pengembangan energi bersih, mulai dari hidrogen, mobilitas listrik, hingga bahan bakar berkelanjutan. Ia menegaskan bahwa inovasi harus menjadi janji kepada bumi agar generasi mendatang tidak hanya mewarisi kemajuan, tetapi juga kelestarian.
Menutup pidatonya, Prabowo mengajak seluruh negara anggota ASEAN dan Jepang untuk menyalakan kembali semangat Konferensi Asia–Afrika Bandung 1955 – semangat solidaritas dan perdamaian yang kini dihidupkan kembali dalam konteks kerja sama kawasan.
“Kita mungkin berbeda bendera, tetapi berpijak pada tanah yang sama – tanah perdamaian yang harus kita rawat bersama,” tuturnya.
Tepuk tangan panjang mengakhiri pidato tersebut. Di ruang pertemuan internasional itu, gema keyakinan terasa: dari Asia, dunia kembali menemukan harapan – melalui suara yang tenang, berakar dari hati, dan bernama Indonesia. (Lukas)

















