Jakarta, Majalahjakarta.com – Dewan Pimpinan Pusat Perkumpulan Peduli Nusantara Tunggal (PPNT), lembaga yang berfokus pada advokasi kebijakan publik, menyoroti aspek penting dalam tata kelola lembaga negara, khususnya terkait kewenangan Badan Layanan Umum (BLU) dalam mengelola kawasan strategis.
Dari perspektif hukum publik, pengelolaan kawasan oleh BLU tidak berdiri di ruang hampa. Ia tunduk pada hierarki peraturan perundang-undangan yang menjadi fondasi sistem hukum nasional. Kewenangan BLU dibatasi oleh norma hukum, termasuk Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW), yang berfungsi sebagai panduan utama dalam menentukan arah pemanfaatan ruang dan sumber daya publik.
Sayangnya, dalam praktik, masih sering dijumpai tumpang tindih kewenangan dan tafsir keliru bahwa BLU dapat bertindak layaknya entitas otonom. Padahal, secara normatif, BLU bukan subjek hukum independen, melainkan perpanjangan tangan pemerintah yang wajib menjalankan mandat publik sesuai prinsip akuntabilitas, transparansi, dan kepatuhan hukum.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Kritiknya, banyak kebijakan teknis BLU justru bergerak di luar kerangka peraturan, menimbulkan persoalan tata kelola dan potensi benturan dengan kepentingan publik. Karena itu, penting bagi setiap BLU untuk menegaskan kembali batas perannya – bukan sekadar sebagai pengelola keuangan, tetapi juga sebagai pelaksana kebijakan publik yang taat pada hukum dan sensitif terhadap keadilan sosial.
Menakar Batas Kewenangan BLU dalam Bingkai RTRW: Antara Fleksibilitas dan Kepatuhan Hukum
Dalam arsitektur hukum publik Indonesia, Badan Layanan Umum (BLU) menempati posisi yang unik. Ia diberi ruang fleksibilitas dalam pengelolaan keuangan, namun tetap berada di bawah bayang-bayang aturan yang ketat. Fleksibilitas tersebut bukan bentuk otonomi, melainkan instrumen efisiensi agar pelayanan publik dapat berjalan lebih cepat, efektif, dan adaptif terhadap kebutuhan masyarakat.
Landasan Hukum Utama BLU
Dasar yuridis keberadaan BLU berakar pada beberapa peraturan penting:
1. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, yang menegaskan bahwa setiap rupiah uang publik harus dikelola dengan prinsip akuntabilitas.
2. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, yang membuka ruang bagi pengelolaan keuangan negara dengan pola baru untuk unit pelayanan publik.
3. Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2005 (jo. PP Nomor 74 Tahun 2012) tentang Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum, yang secara eksplisit memberikan fleksibilitas pengelolaan keuangan agar pelayanan kepada masyarakat meningkat tanpa mengorbankan transparansi.
4. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 129/PMK.05/2020 yang menjadi pedoman teknis pengelolaan keuangan BLU di lapangan.
Dengan kerangka hukum ini, BLU diposisikan sebagai entitas pelaksana fungsi pelayanan publik yang dapat bergerak lebih lincah dibanding instansi birokratis biasa-namun tetap dalam kendali hukum publik.
Keterikatan pada RTRW: Hukum yang Mengatur Ruang
Namun fleksibilitas keuangan tidak berarti kebebasan dalam pengelolaan kawasan. Di sinilah peran Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) menjadi pengikat utama. Berdasarkan:
1. Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, dan
2. Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (RTRWN),
setiap penggunaan ruang-baik untuk pembangunan, penyewaan lahan, atau pengelolaan fasilitas-harus sesuai dengan peruntukan ruang yang telah ditetapkan. RTRW merupakan kompas hukum yang mengarahkan setiap aktivitas pengelolaan kawasan agar tidak menyalahi prinsip keberlanjutan dan kepentingan publik yang lebih luas.
Dengan demikian, BLU tidak memiliki kewenangan membuat, mengubah, atau menafsirkan sendiri tata ruang. Kewenangan tersebut sepenuhnya berada pada pemerintah pusat atau daerah, sesuai hierarki dan pembagian urusan pemerintahan.
Posisi BLU dalam Sistem Hukum Publik
Secara konseptual, BLU bukan badan hukum yang berdiri sendiri. Ia melekat pada instansi induknya-baik kementerian, lembaga, maupun pemerintah daerah. Kewenangan yang dimilikinya merupakan hasil pendelegasian dari instansi tersebut, bukan hasil dari status hukum otonom.
Artinya, segala tindakan hukum yang dilakukan BLU, termasuk pengelolaan kawasan strategis, tetap harus selaras dengan kebijakan induknya dan tunduk pada peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, terutama yang mengatur tata ruang dan pengelolaan aset negara.
Antara Keinginan Mandiri dan Kewajiban Tunduk
Dalam praktik, muncul kecenderungan sejumlah BLU menafsirkan fleksibilitas keuangan sebagai bentuk kemandirian kelembagaan. Hal ini menimbulkan persoalan serius dalam tata kelola kawasan publik, di mana BLU kadang bertindak seolah memiliki otoritas quasi-korporatif. Padahal secara hukum, tindakan demikian berpotensi melanggar prinsip lex superior derogat legi inferiori-bahwa peraturan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan yang lebih tinggi.
Kritiknya, banyak pengelolaan kawasan oleh BLU yang kurang sensitif terhadap RTRW dan peraturan tata ruang lainnya, sehingga berisiko menimbulkan konflik kewenangan, bahkan potensi maladministrasi.
Ke depan, transparansi dan kepatuhan terhadap RTRW harus menjadi tolok ukur utama dalam menilai keberhasilan BLU, bukan hanya dari sisi efisiensi keuangan. Sebab, pada akhirnya, BLU bukan entitas bisnis-melainkan perpanjangan tangan negara yang berkewajiban menjaga keseimbangan antara pelayanan publik dan ketaatan hukum.
Menjaga Tata Ruang, Menegakkan Kepatuhan: BLU dalam Bayang Regulasi dan Sanksi Hukum
Dalam sistem hukum publik, setiap kebijakan yang menyentuh pemanfaatan ruang tidak dapat dilepaskan dari prinsip kepatuhan terhadap Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW). Tak terkecuali bagi Badan Layanan Umum (BLU) yang mengelola kawasan tertentu, baik wisata, ekonomi, maupun otorita khusus. Di balik fleksibilitas pengelolaan yang dimilikinya, BLU tetap terikat pada ketentuan hukum yang bersifat mengatur dan memaksa.
Penegakan Hukum dan Sanksi: Kepatuhan sebagai Instrumen Akuntabilitas
Pelanggaran terhadap RTRW bukan sekadar pelanggaran administratif, melainkan dapat berimplikasi pada sanksi pidana dan denda sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang. Undang-undang ini menegaskan bahwa setiap pemanfaatan ruang yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang dapat dikategorikan sebagai pelanggaran hukum publik, karena menyentuh kepentingan umum dan lingkungan hidup.
Bagi BLU, hal ini berarti setiap kebijakan atau proyek pembangunan yang dilakukan di kawasan yang dikelolanya harus memiliki dasar legal yang kuat dan kesesuaian dengan RTRW. Bila tidak, tindakan tersebut dapat berpotensi menimbulkan konsekuensi hukum yang serius, baik bagi pejabat pengelola maupun lembaga induknya.
Kritiknya, pengawasan terhadap kepatuhan BLU dalam konteks tata ruang sering kali masih lemah. Ketika pelanggaran tata ruang dilakukan oleh entitas pemerintah sendiri, penegakan hukumnya kerap terhambat oleh konflik kepentingan dan birokrasi internal. Padahal, prinsip equality before the law seharusnya berlaku pula bagi lembaga negara.
Implikasi Hukum BLU dalam Kawasan: Antara Mandat Pelayanan dan Kepatuhan Regulatif
Dalam konteks hukum publik, BLU yang beroperasi di bidang pengelolaan kawasan-seperti BLU pariwisata, otorita ekonomi khusus, atau lembaga pengelola aset publik-wajib memastikan seluruh aktivitasnya selaras dengan RTRW yang telah ditetapkan pemerintah pusat maupun daerah.
Kegiatan seperti pembangunan fasilitas wisata, penyewaan lahan, atau pengembangan infrastruktur kawasan harus melalui mekanisme perizinan dan kajian tata ruang yang sah. Setiap bentuk penyimpangan tidak hanya menyalahi norma administratif, tetapi juga mencederai prinsip keadilan ruang dan berpotensi merugikan masyarakat di sekitar kawasan.
Optimalisasi Aset Negara: Efisiensi Boleh, Pelanggaran Tidak
Secara ideal, BLU memang didorong untuk mengoptimalkan aset negara yang dikelolanya guna meningkatkan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP). Namun, optimalisasi tersebut tidak boleh dilakukan dengan mengorbankan aspek legalitas tata ruang.
Pendekatan yang menitikberatkan pada aspek ekonomi tanpa memperhatikan norma hukum justru akan menimbulkan risiko moral hazard, di mana efisiensi keuangan menjadi pembenaran atas pelanggaran ruang publik.
Peran BLU dalam Penyediaan Infrastruktur: Di Dalam, Bukan di Luar Koridor Hukum
BLU juga dapat berperan penting dalam penyediaan infrastruktur publik, seperti jalan, fasilitas umum, atau sarana pendukung kawasan. Namun, pembangunan tersebut tetap harus berada dalam koridor RTRW dan mekanisme perizinan yang berlaku.
Kesesuaian dengan tata ruang bukan sekadar prosedur formal, melainkan jaminan bahwa pembangunan berjalan selaras dengan kepentingan lingkungan, sosial, dan ekonomi masyarakat.
Kejelasan Regulasi: Pilar Pencegah Konflik Hukum
Salah satu tantangan terbesar dalam tata kelola BLU di sektor kawasan adalah ketidakjelasan regulasi. Banyak kebijakan yang belum memberikan batas tegas antara kewenangan BLU dan pemerintah daerah dalam implementasi RTRW. Akibatnya, muncul tumpang tindih kewenangan, tarik-menarik kepentingan, bahkan potensi konflik hukum.
Untuk itu, pemerintah perlu memperkuat kerangka regulasi melalui sinkronisasi antara peraturan BLU dan peraturan penataan ruang, serta memperjelas mekanisme koordinasi antara Kementerian Keuangan, Kementerian ATR/BPN, dan pemerintah daerah. Kejelasan hukum ini bukan hanya soal birokrasi, tetapi juga jaminan kepastian hukum bagi masyarakat dan investor yang berinteraksi dengan kawasan tersebut.
Kepatuhan Hukum sebagai Wajah Integritas BLU
Keberadaan BLU seharusnya menjadi cerminan efisiensi birokrasi negara, bukan sumber baru ketidakpatuhan hukum. Fleksibilitas yang diberikan oleh peraturan keuangan negara harus dibaca dalam konteks tanggung jawab publik.
Ketaatan terhadap RTRW bukanlah beban, melainkan bentuk integritas institusional. Sebab, negara yang menegakkan hukum terhadap dirinya sendiri akan memperoleh kepercayaan publik yang jauh lebih besar daripada negara yang hanya menegakkannya pada warganya.
Arthur Noija SH

















