Anggaran, Polemik, dan Ketakutan Akan Transparansi

- Penulis

Senin, 27 Oktober 2025 - 16:03

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Spread the love

Jakarta, Majalahjakarta.com – Ketika transparansi anggaran menjadi momok bagi sebagian politisi, publik seakan diingatkan bahwa keterbukaan bukan sekadar jargon, tapi ujian keberanian. Pernyataan Wakil Ketua Komisi II DPR Dede Yusuf agar Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa dan Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi tak berpolemik justru menyingkap persoalan yang lebih dalam: siapa sebenarnya yang takut pada keterbukaan?

Minggu lalu, suasana politik fiskal di Senayan mendadak panas. Wakil Ketua Komisi II DPR RI, Dede Yusuf Macan Effendi, meminta Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa dan Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi untuk tidak berpolemik soal anggaran daerah. “Jadi kita nggak usah berpolemik soal anggaran karena kalau anggaran hilang pun sudah pasti ada yang memeriksa,” ujar Dede, dikutip dari Kompas, 25 Oktober 2025.
Kalimat yang terdengar damai itu justru menimbulkan gelombang baru bukan di ruang rapat DPR, melainkan di ruang publik.

Publik bertanya: sejak kapan keterbukaan anggaran dianggap polemik? Bukankah transparansi adalah hak rakyat dan kewajiban pejabat? Di sinilah ironi birokrasi negeri ini kembali tampak. Ketika seorang menteri keuangan berbicara berbasis data dan laporan keuangan riil daerah, justru sebagian elite politik merasa tersinggung.

ADVERTISEMENT

ads

SCROLL TO RESUME CONTENT

Menurut data Kementerian Keuangan (Tempo, 23 Oktober 2025), hingga triwulan ketiga 2025, realisasi belanja APBD di 14 provinsi besar, termasuk Jawa Barat, masih di bawah 65 persen. Anggaran triliunan rupiah dibiarkan mengendap di bank, sementara rakyat menunggu layanan publik membaik. Purbaya menegaskan bahwa dana daerah bukan untuk memperindah neraca bank komersial, tetapi untuk menggerakkan ekonomi rakyat.

Namun di saat suara Menteri Keuangan memantik urgensi efisiensi, Dede Yusuf malah menasihati agar “tidak berpolemik.” Kata “polemik” di sini seolah menjadi tameng halus bagi ketidaknyamanan terhadap transparansi. Bagi sebagian pejabat, mungkin lebih aman jika publik tidak tahu berapa lama dana rakyat tertidur di rekening pemerintah daerah.

Kita tahu, politik anggaran adalah ladang subur bagi konflik kepentingan. Di satu sisi, menteri keuangan yang berani membuka data publik sering dicurigai sebagai pengganggu harmoni politik. Di sisi lain, pejabat daerah yang lamban membelanjakan APBD justru berdalih prosedural dan birokratis.
Padahal, seperti dicatat Bisnis Indonesia (24 Oktober 2025), dana mengendap di perbankan daerah mencapai Rp226 triliun per September 2025 angka yang membuat ironi “uang rakyat menganggur” menjadi nyata.

Mungkin Dede Yusuf benar: setiap anggaran yang hilang ada yang memeriksa. Tapi siapa yang memeriksa para pemeriksa itu? Pertanyaan sinis ini bukan tanpa alasan. Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dalam laporan semester I 2025 menemukan penyimpangan senilai Rp1,8 triliun pada belanja daerah di 14 provinsi (CNBC Indonesia, 20 Oktober 2025). Jadi, apa gunanya pengawasan jika uang rakyat tetap menguap tanpa bekas?

Sikap Purbaya yang terbuka, cepat tanggap, dan berani mengungkap data ke publik justru menjadi anomali di tengah birokrasi yang terbiasa menyembunyikan. Ia seperti pejabat yang “too good to be true.” Tapi justru karena itulah, sebagian elite merasa terusik. Transparansi bagi mereka seperti lampu sorot yang menguak bayangan sendiri.

Baca Juga:  Gen Z Bukan Mental Tempe

Kritik publik terhadap Dede Yusuf pun menggema. Media sosial ramai dengan sindiran bahwa DPR seharusnya memperkuat pengawasan, bukan mematikan debat sehat. Sebab justru dari “polemik” itulah rakyat tahu di mana letak kebocoran uang negara. Diam bukan kebijakan; diam adalah pembiaran.

Yang menarik, dinamika ini bukan semata tentang anggaran Jawa Barat. Ia adalah cermin nasional. Sejak lama, isu keterlambatan penyerapan APBD menjadi penyakit kronis pemerintahan daerah. Kementerian Dalam Negeri (Detik.com, 21 Oktober 2025) bahkan mengingatkan bahwa lebih dari 180 daerah menahan belanja hingga akhir tahun dengan alasan “menunggu proyek prioritas.” Artinya, rakyat menunggu pekerjaan, sementara dana publik menganggur di perbankan.

Lalu siapa yang benar? Purbaya dengan transparansi fiskalnya, atau Dede Yusuf dengan ajakan menenangkan suasana? Mungkin keduanya punya alasan politik masing-masing. Tapi publik tidak butuh kedamaian semu; publik butuh jaminan uang mereka tidak dijadikan alat bermain kekuasaan.

Jika benar, seperti kata Dede Yusuf, “tak perlu berpolemik karena sudah ada yang memeriksa,” maka periksa pula siapa yang menutupi hasil pemeriksaan. Transparansi bukanlah keributan, melainkan kewarasan dalam demokrasi fiskal.

Masalahnya, banyak pejabat takut pada keterbukaan karena ia memotong rantai rente. Anggaran yang transparan berarti ruang gelap semakin sempit. Dan ruang gelap itu, sebagaimana disinggung oleh ekonom politik Didik J. Rachbini (Tempo, 24 Oktober 2025), adalah “tempat bersemayamnya kompromi politik dan transaksi kebijakan.”

Ketika DPR meminta agar polemik dihentikan, publik seharusnya justru menolak diam. Karena diam artinya membiarkan uang rakyat berputar di sirkuit kekuasaan tanpa kendali. Transparansi memang menyakitkan bagi yang terbiasa bermain di belakang layar, tapi justru di situlah nilai demokrasinya.

Seperti dicatat Kompas (26 Oktober 2025), Kementerian Keuangan berencana mewajibkan laporan harian saldo kas daerah mulai Januari 2026 untuk menekan praktik “parkir dana” di bank. Langkah ini patut didukung, sekaligus menjadi ujian apakah kepala daerah siap hidup di bawah cahaya audit publik.

Mungkin, seperti kata seorang akademisi di Universitas Padjadjaran (Tempo, 25 Oktober 2025), “transparansi fiskal bukan ancaman, tetapi cermin moral pejabat publik.” Sayangnya, di negeri ini, banyak yang lebih memilih kaca buram agar bayangannya tak tampak jelas.

Karena itu, seruan Dede Yusuf agar “tidak berpolemik” terdengar janggal. Polemik yang sehat justru dibutuhkan untuk menguji integritas kebijakan publik. Sebab dalam demokrasi, debat adalah bagian dari transparansi. Yang berbahaya bukan polemik, melainkan kesunyian birokrasi yang menutup-nutupi.

Jadi, mari kita balik pernyataan itu: bukan Purbaya yang harus berhenti bicara, tapi pejabat lain yang harus mulai berani menjelaskan. Karena yang paling ditakuti dari keterbukaan bukanlah data itu sendiri, melainkan siapa yang akan ketahuan di balik angka-angka itu.

Transparansi adalah kaca besar demokrasi. Jika para pejabat mulai takut bercermin, jangan-jangan karena mereka tahu bayangan yang akan terlihat. Dan bagi rakyat, lebih baik melihat kebenaran yang menyakitkan daripada terus hidup dalam kenyamanan kebohongan.

Dwi Taufan Hidayat

Berita Terkait

Pengadilan Kepercayaan: Hukuman di Tangkai Amanah?
Redenominasi Rupiah: Solusi Atau Bencana Tersembunyi
Pengelolaan Koperasi MTI Diduga Tidak Transparan, Sejumlah Aset Dipertanyakan Anggota
Ledakan di SMA 72 Jakarta: Alarm Keselamatan di Ruang Belajar
Jejak Kelabu di Balik Kilau CPO Nasional
Beton di Atas Nurani: Ketika Pembangunan Kota Menyingkirkan Warganya Sendiri
LSM ELANG MAS Minta Kejari Asahan Usut Dugaan Korupsi di MIN 1 Asahan: Transparansi Dana Pendidikan Kembali Dipertanyakan
Sufmi Dasco Ahmad dan Dinamika Kepemimpinan Baru: Dari Parlemen ke Panggung Pilpres 2029
Berita ini 4 kali dibaca
3 1 vote
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

0 Comments
Inline Feedbacks
View all comments

Berita Terkait

Sabtu, 8 November 2025 - 20:01

Pengadilan Kepercayaan: Hukuman di Tangkai Amanah?

Sabtu, 8 November 2025 - 19:51

Redenominasi Rupiah: Solusi Atau Bencana Tersembunyi

Sabtu, 8 November 2025 - 07:37

Pengelolaan Koperasi MTI Diduga Tidak Transparan, Sejumlah Aset Dipertanyakan Anggota

Sabtu, 8 November 2025 - 01:36

Ledakan di SMA 72 Jakarta: Alarm Keselamatan di Ruang Belajar

Jumat, 7 November 2025 - 18:33

Beton di Atas Nurani: Ketika Pembangunan Kota Menyingkirkan Warganya Sendiri

Jumat, 7 November 2025 - 17:36

LSM ELANG MAS Minta Kejari Asahan Usut Dugaan Korupsi di MIN 1 Asahan: Transparansi Dana Pendidikan Kembali Dipertanyakan

Jumat, 7 November 2025 - 17:06

Sufmi Dasco Ahmad dan Dinamika Kepemimpinan Baru: Dari Parlemen ke Panggung Pilpres 2029

Jumat, 7 November 2025 - 16:39

HAKAN Dorong Reformasi UU Kewarganegaraan: Perlindungan Hukum untuk Perkawinan Campuran dan Diaspora Indonesia

Berita Terbaru

0
Would love your thoughts, please comment.x
()
x