Jakarta, Majalahjakarta.com – Dewan Pimpinan Pusat Peduli Nusantara Tunggal (PNT), sebuah lembaga yang berfokus pada advokasi kebijakan publik, menyoroti persoalan mendasar dalam tata kelola lembaga negara, khususnya perbedaan peran antara Lembaga Pemerintah Non-Kementerian (LPNK) dan Badan Layanan Umum (BLU).
Dari perspektif hukum publik, perbedaan keduanya tidak sekadar soal nomenklatur kelembagaan, melainkan menyangkut posisi hukum, peran konstitusional, dan fleksibilitas keuangan yang mencerminkan arah politik administrasi negara.
LPNK dibentuk untuk melaksanakan fungsi strategis negara yang tidak dapat dijalankan oleh kementerian. Lembaga ini memiliki kedudukan setingkat menteri dan bertanggung jawab langsung kepada presiden. Namun dalam praktiknya, banyak LPNK terjebak dalam birokrasi fiskal yang kaku, karena seluruh pendanaannya bergantung pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Akibatnya, otonomi administratif yang dijanjikan sering kali tidak berbanding lurus dengan otonomi fungsional di lapangan.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Sebaliknya, BLU hadir dengan semangat efisiensi dan kemandirian, diberi ruang untuk mengelola pendapatan secara langsung guna meningkatkan kualitas layanan publik. Namun, fleksibilitas ini kerap menimbulkan dilema baru: ketika logika pelayanan publik bersinggungan dengan logika bisnis, maka orientasi lembaga berpotensi bergeser dari fungsi sosial menjadi fungsi komersial.
Kondisi ini memperlihatkan paradoks birokrasi kita: di satu sisi negara ingin lembaganya mandiri dan inovatif, namun di sisi lain tetap menahan kendali penuh atas keuangan publik.
Akibatnya, baik LPNK maupun BLU berjalan di atas garis kebijakan yang kabur—antara pelayanan publik dan efisiensi fiskal, antara kepentingan rakyat dan logika administratif.
Dalam konteks hukum publik, Dewan Pimpinan Pusat Peduli Nusantara Tunggal menilai bahwa pemisahan yang tegas antara fungsi regulatif dan fungsi operasional menjadi hal mendesak untuk memastikan arah kelembagaan negara tetap berpihak pada prinsip efektivitas, akuntabilitas, dan pelayanan publik yang berkeadilan.
Negara harus berani menata ulang desain kelembagaan agar tidak terjebak pada “birokrasi simbolik” – banyak lembaga dibentuk, tetapi sedikit yang benar-benar mampu menjawab kebutuhan rakyat.
LPNK dan BLU: Dua Wajah Negara dalam Mengelola Pelayanan Publik
Dalam kerangka hukum publik, pemisahan antara Lembaga Pemerintah Non-Kementerian (LPNK) dan Badan Layanan Umum (BLU) seolah sederhana di atas kertas, tetapi menyimpan kompleksitas dalam praktik penyelenggaraan pemerintahan. Perbedaan utama keduanya terletak pada posisi hukum, kewenangan administratif, serta fleksibilitas pengelolaan keuangan. Namun di balik itu, terselip pertanyaan besar: apakah struktur ini benar-benar memperkuat pelayanan publik, atau justru menambah lapisan birokrasi tanpa arah.
1. LPNK: Lembaga dengan Mandat Langsung dari Presiden
Secara historis, LPNK-yang sebelumnya dikenal sebagai Lembaga Pemerintah Non-Departemen (LPND)-dibentuk untuk menjalankan fungsi negara yang tidak bisa ditangani langsung oleh kementerian.
Lembaga seperti Bappenas, LIPI (sebelum dilebur ke BRIN), BPS, dan ANRI menjadi contoh nyata entitas yang beroperasi dengan mandat langsung dari presiden dan memiliki kedudukan setingkat menteri.
Dari sisi kewenangan, LPNK bersifat otonom dalam pelaksanaan tugas, namun dalam praktiknya kerap terbelenggu oleh mekanisme keuangan negara yang sangat rigid.
Mereka tidak memiliki keleluasaan fiskal karena seluruh pembiayaannya bersumber dari APBN dan harus tunduk pada aturan yang sama seperti instansi pemerintah lainnya.
Akibatnya, banyak LPNK menghadapi paradoks kelembagaan: secara hukum memiliki otonomi administratif, tetapi secara fiskal sepenuhnya bergantung pada sistem yang tidak fleksibel.
Kondisi ini menjadikan sejumlah LPNK berjalan lamban dan kurang adaptif terhadap dinamika sosial maupun kemajuan teknologi yang menuntut kecepatan respons kebijakan publik.
Dari sisi hukum publik, LPNK adalah perpanjangan tangan Presiden yang menerima kewenangan publik melalui atribusi atau delegasi langsung lewat Keputusan Presiden atau Peraturan Presiden. Namun, karena posisinya berada di bawah eksekutif, ruang independensi substantif sering kali terbatas. LPNK menjadi kuat di atas kertas, tetapi lemah dalam inovasi.
2. BLU: Fleksibilitas yang Berisiko Komersialisasi
Berbeda dengan LPNK, Badan Layanan Umum (BLU) dibentuk untuk menjawab kebutuhan pelayanan publik yang menuntut kecepatan dan efisiensi. Berdasarkan PP No. 23 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum (jo. PP No. 74 Tahun 2012), BLU adalah instansi pemerintah yang memberikan layanan kepada masyarakat tanpa mengutamakan keuntungan, namun diberi fleksibilitas keuangan.
Secara struktural, BLU bukan entitas mandiri. Ia hanyalah unit kerja dari instansi induknya – baik kementerian, lembaga, maupun pemerintah daerah.
Artinya, BLU tidak memiliki kedudukan hukum tersendiri dan seluruh kewenangannya bersumber dari delegasi instansi induknya.
Contohnya dapat ditemukan pada rumah sakit pemerintah, universitas negeri, puskesmas, hingga balai pelatihan yang telah menerapkan pola BLU.
Fleksibilitas keuangan memungkinkan mereka mengelola pendapatan langsung dari layanan publik tanpa harus disetorkan terlebih dahulu ke kas negara, selama tetap tunduk pada prinsip pengelolaan APBN.
Namun di sinilah letak kritiknya.
Konsep BLU, yang awalnya dimaksudkan untuk mempercepat pelayanan, sering kali bergeser menjadi mekanisme pembiayaan yang mendekati logika korporasi.
Rumah sakit BLU menaikkan tarif layanan demi menutupi defisit operasional, universitas BLU mematok biaya kuliah tinggi atas nama efisiensi, dan balai pelatihan BLU menjual jasa pelatihan layaknya entitas bisnis.
Dari perspektif hukum publik, BLU berisiko mengaburkan batas antara pelayanan publik dan komersialisasi pelayanan negara.
Negara, yang seharusnya menjamin akses universal, justru berpotensi menjelma menjadi operator ekonomi yang bersaing dengan sektor swasta.
3. Menimbang Arah Kebijakan: Antara Akuntabilitas dan Efisiensi
Dengan demikian, perbedaan keduanya menjadi terang:
LPNK adalah entitas negara yang memiliki otoritas publik utuh, tetapi kurang lincah karena terikat pada sistem fiskal yang kaku.
BLU adalah mekanisme keuangan fleksibel yang mempercepat pelayanan, tetapi rawan kehilangan orientasi sosial karena dibungkus semangat efisiensi ekonomi.
Keduanya merepresentasikan dilema klasik administrasi publik Indonesia: negara ingin efisien tanpa mengurangi kontrol, ingin fleksibel tanpa kehilangan kekuasaan.
Jika tidak ada reformasi hukum kelembagaan yang tegas, baik LPNK maupun BLU hanya akan menjadi simbol – satu kaku karena aturan, satunya longgar karena pasar.
Pemerintah perlu meninjau ulang desain hubungan keduanya agar prinsip efektivitas, akuntabilitas, dan keadilan pelayanan publik tetap menjadi poros utama kebijakan.
BLU PPK Kemayoran: Antara Misi Pelayanan Publik dan Paradoks Pengelolaan Aset Negara
Dalam lanskap hukum publik Indonesia, Badan Layanan Umum (BLU) selalu ditempatkan sebagai wajah baru birokrasi modern – fleksibel, efisien, dan berorientasi pada peningkatan layanan. Namun, kisah yang mencuat dari BLU Pusat Pengelolaan Komplek (PPK) Kemayoran justru menyingkap paradoks mendasar: lembaga yang seharusnya “melayani” publik kini terjebak dalam beban struktural pengelolaan aset negara yang tidak memberi keuntungan, bahkan menambah pengeluaran negara hingga puluhan miliar rupiah per tahun.
Kawasan Besar, Beban Lebih Besar
Dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) bersama Komisi XIII DPR RI yang dipimpin Rinto Subekti pada 19 Maret 2025, Direktur Utama BLU PPK Kemayoran, Medi Kristianto, menjelaskan bahwa dari total luas kawasan 450 hektare, sekitar 59 persen atau 265,4 hektare merupakan zona nonkomersial.
Wilayah tersebut meliputi infrastruktur jalan (94,41 hektare), ruang terbuka hijau di sepanjang Jalan Benyamin Sueb dan Jalan HBR Motik (87,38 hektare), hunian masyarakat (48,21 hektare), zona perairan atau telaga (15,02 hektare), serta fasilitas umum seperti masjid, taman bermain, dan perkantoran pemerintah (sekitar 10,82 hektare).
Dengan komposisi tersebut, BLU PPK Kemayoran praktis mengelola lebih dari setengah kawasan tanpa potensi pendapatan langsung.
Setiap tahun, lembaga ini harus mengalokasikan anggaran sekitar Rp30 miliar hanya untuk operasional dasar — mulai dari penerangan jalan, perawatan aspal, hingga kebersihan kawasan.
Paradoks BLU: Di Antara Pelayanan Publik dan Keuntungan Fiskal
Secara normatif, BLU dibentuk bukan untuk mencari keuntungan, melainkan untuk meningkatkan efisiensi dan kualitas pelayanan publik. Namun, kasus BLU PPK Kemayoran menegaskan ironi kebijakan: negara menugaskan pelayanan, tetapi membebankan biaya tanpa dukungan fiskal yang sepadan.
Dalam logika hukum publik, posisi BLU berada di antara dua dunia – negara dan pasar.
Ia dituntut untuk profesional dan efisien seperti entitas bisnis, tetapi tetap menjalankan fungsi sosial seperti lembaga publik. Ketika 59 persen aset yang dikelola adalah nonkomersial, maka muncul pertanyaan mendasar:
Apakah BLU benar-benar dirancang untuk melayani publik, atau sekadar menjadi “operator administratif” dari aset negara yang tidak bisa dijual namun tetap harus dirawat?
Kondisi ini memperlihatkan defisit desain kelembagaan. BLU Kemayoran seolah menjadi negara dalam negara kecil, di mana beban pengelolaan publik diletakkan di atas pundak lembaga yang tidak memiliki sumber penerimaan yang seimbang.
Aspek Hukum Publik: Antara Delegasi dan Tanggung Jawab Fiskal
Dalam kerangka hukum administrasi negara, BLU sejatinya tidak memiliki status badan hukum terpisah.
Kewenangannya bersumber dari delegasi instansi induknya, dalam hal ini Kementerian Sekretariat Negara (Kemensetneg). Namun, bentuk delegasi tersebut sering kali tidak diikuti oleh pembagian tanggung jawab fiskal yang proporsional.
Artinya, ketika BLU menghadapi defisit biaya pengelolaan kawasan nonkomersial, tanggung jawab keuangan tetap berada di pundak lembaga, bukan negara secara langsung.
Ini menciptakan anomali akuntabilitas publik – di mana BLU memikul beban pengeluaran negara tanpa kompensasi struktural dari APBN.
Kritik Kebijakan: Negara yang Memperbanyak Peran, tapi Memperkecil Dukungan
Kasus BLU PPK Kemayoran harus dibaca sebagai refleksi kegagalan desain kebijakan kelembagaan publik.
Negara kerap melimpahkan fungsi pelayanan sosial kepada lembaga semi-otonom tanpa memastikan keberlanjutan fiskalnya.
Padahal, secara teori hukum publik, setiap delegasi kewenangan harus diikuti dengan delegasi tanggung jawab anggaran.
Jika tidak, BLU akan terus menjadi entitas yang “mandiri secara administratif, tetapi miskin secara struktural.”
Kondisi ini menciptakan celah baru dalam tata kelola aset negara, membuka ruang bagi inefisiensi, bahkan potensi penyalahgunaan aset di kemudian hari – seperti yang kerap diulas dalam berbagai laporan media tentang “arogansi kelembagaan” dan konflik kepentingan dalam pengelolaan lahan Kemayoran.
Mencari Titik Seimbang antara Pelayanan dan Keadilan Fiskal
Kasus BLU PPK Kemayoran adalah cermin dari dilema kebijakan publik kita: negara ingin hadir untuk rakyat, tetapi sering kali lupa mendanai kehadirannya sendiri.
Jika paradigma pengelolaan BLU tidak segera diperbaiki, maka semangat pelayanan publik akan terus tertutupi oleh beban keuangan dan ketidakjelasan tanggung jawab fiskal.
Reformasi hukum kelembagaan BLU perlu diarahkan pada pemisahan tegas antara fungsi pelayanan sosial dan fungsi komersial, serta redefinisi hubungan keuangan antara BLU dan negara.
Tanpa perubahan itu, BLU hanya akan menjadi simbol kebijakan yang cantik di atas kertas – namun pincang di lapangan.
Kejahatan Pertanahan dan Arogansi BLU: Membaca “Negara dalam Negara” di Jantung Kemayoran – Majalahjakarta.com https://share.google/9L33UK9nx1UrZWEcs
Arthur Noija SH

















