Jakarta, Majalahjakarta.com – Dewan Pimpinan Pusat Perkumpulan Peduli Nusantara Tunggal (PPNT) Jakarta, sebagai lembaga yang berfokus pada advokasi kebijakan publik, menilai bahwa aparatur pelayanan publik-khususnya Wali Kota Jakarta Pusat-perlu memiliki kepekaan hukum dan administratif terhadap perubahan status DKI Jakarta menjadi Daerah Khusus Jakarta (DKJ).
Perubahan status ini bukan sekadar nomenklatur administratif, melainkan transformasi struktural yang membawa konsekuensi hukum, kelembagaan, dan tata kelola pemerintahan daerah. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2024 tentang Provinsi Daerah Khusus Jakarta, Jakarta kini beralih fungsi dari ibu kota negara menjadi pusat perekonomian nasional dan kota global.
Dalam konteks tersebut, setiap pejabat publik di tingkat kota administratif diharapkan mampu menyesuaikan arah kebijakan dan pola pelayanan publik sesuai dengan mandat baru DKJ. Prinsip-prinsip tata kelola pemerintahan adaptif, transparan, dan partisipatif menjadi keharusan, bukan pilihan.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
PPNT Jakarta menegaskan, reformasi status hukum Jakarta menuntut adanya sinkronisasi kebijakan antara pemerintah provinsi, pemerintah kota administratif, dan masyarakat sipil. Tanpa kesadaran dan kesiapan adaptasi dari para pemangku kepentingan di tingkat wilayah, perubahan ini berisiko menimbulkan kekacauan administratif, tumpang tindih kewenangan, dan ketidakpastian hukum di lapangan.
Dengan demikian, transformasi menuju Daerah Khusus Jakarta hendaknya dipandang sebagai momentum penataan ulang sistem pelayanan publik berbasis keadilan dan efisiensi, agar Jakarta tidak hanya berubah secara status, tetapi juga bertransformasi dalam praktik pemerintahan yang modern dan akuntabel.
Menakar Peran Wali Kota Jakarta Pusat dalam Transisi ke Daerah Khusus Jakarta (DKJ)
Transformasi status DKI Jakarta menjadi Daerah Khusus Jakarta (DKJ) sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2024 bukan hanya perubahan administratif, tetapi juga perubahan paradigma tata kelola pemerintahan daerah. Dalam konteks ini, Wali Kota Jakarta Pusat menjadi salah satu aktor kunci yang menentukan kelancaran adaptasi sistem pemerintahan di wilayah administratif Jakarta.
Dewan Pimpinan Pusat Perkumpulan Peduli Nusantara Tunggal (PPNT) Jakarta menekankan bahwa perubahan status Jakarta harus dipahami sebagai momentum pembaruan kebijakan publik. Oleh karena itu, Wali Kota Jakarta Pusat dituntut memiliki kepekaan terhadap empat aspek utama dalam transisi menuju DKJ yang efektif dan berkeadilan.
1. Perubahan Kedudukan Hukum
Meski status Jakarta berubah, Wali Kota Jakarta Pusat tetap merupakan pejabat administrasi yang diangkat oleh Gubernur, bukan hasil pemilihan langsung. Artinya, hubungan hierarkis dan tanggung jawab administratif terhadap Gubernur tetap melekat sebagaimana diatur dalam sistem pemerintahan daerah.
Selain itu, seluruh peraturan pelaksana di bawah Undang-Undang Provinsi DKI Jakarta harus segera disesuaikan dengan UU DKJ. Wali kota perlu bersikap proaktif dalam mengimplementasikan penyesuaian tersebut di tingkat wilayah, agar tidak terjadi kekosongan hukum maupun kebingungan birokrasi di lapangan.
2. Fokus pada Peran Baru Jakarta
Undang-Undang DKJ menegaskan perubahan peran Jakarta sebagai pusat perekonomian nasional dan kota global. Implikasinya, kebijakan dan program pemerintah kota harus diarahkan untuk mendukung iklim investasi yang sehat, efisiensi layanan publik, dan peningkatan daya saing daerah.
Selain itu, konsep aglomerasi perkotaan menjadi agenda strategis yang menuntut koordinasi erat antara Jakarta dengan wilayah penyangga seperti Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi. Di titik ini, Wali Kota Jakarta Pusat berperan sebagai penggerak kolaborasi lintas wilayah untuk memastikan pembangunan berjalan sinkron dan berkelanjutan.
3. Transisi Administratif
Perubahan nomenklatur jabatan dan lembaga di Jakarta merupakan bagian dari transisi hukum menuju DKJ. Wali Kota Jakarta Pusat harus memastikan seluruh proses administrasi berjalan tertib, mulai dari penyesuaian struktur kelembagaan hingga pelabelan dokumen resmi.
Perubahan status juga akan berdampak pada penggantian dokumen administrasi kependudukan, termasuk KTP dan dokumen pelayanan publik lainnya. Maka, dibutuhkan mekanisme sosialisasi dan pelayanan yang transparan agar masyarakat tidak kebingungan menghadapi perubahan ini.
4. Kewenangan Khusus di Berbagai Sektor
UU DKJ memberikan kewenangan khusus bagi Jakarta di sejumlah sektor strategis seperti pekerjaan umum, penataan ruang, perumahan rakyat, kebudayaan, penanaman modal, dan perhubungan. Di dalam kerangka tersebut, Wali Kota Jakarta Pusat memiliki ruang untuk melakukan inovasi kebijakan berbasis lokalitas — menyesuaikan dengan kebutuhan warganya tanpa meninggalkan visi besar Jakarta sebagai kota global.
Dengan memanfaatkan kewenangan ini secara tepat, Jakarta Pusat dapat menjadi model wilayah administratif yang adaptif, inklusif, dan berdaya saing, sekaligus meneguhkan peran DKJ sebagai simbol kemajuan tata kelola perkotaan Indonesia.
Implikasi Hukum dan Kebijakan Publik atas Perubahan Status DKI menjadi DKJ: Menakar Peran Wali Kota dalam Struktur Pemerintahan Baru
Presiden Prabowo Subianto resmi menandatangani Undang-Undang Nomor 151 Tahun 2024, yang mengubah dan menyempurnakan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2024 tentang Provinsi Daerah Khusus Jakarta (DKJ).
Penandatanganan yang dilakukan pada 30 November 2024 ini menandai babak baru dalam sistem pemerintahan Jakarta, sekaligus mempertegas posisi hukum ibu kota setelah pemindahan fungsi pusat pemerintahan ke Ibu Kota Nusantara (IKN).
Salah satu poin penting dari perubahan tersebut adalah perubahan nomenklatur jabatan dan lembaga. Istilah “Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta” kini resmi berganti menjadi “Daerah Khusus Jakarta (DKJ)”.
Penyesuaian ini tercantum dalam pasal-pasal baru, yakni Pasal 70A, 70B, 70C, dan 70D, yang menegaskan perubahan sebutan pejabat daerah, termasuk Gubernur dan Wakil Gubernur DKJ, hasil Pilkada serentak 2024.
Sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 70A,
“Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, Gubernur dan Wakil Gubernur Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta hasil Pemilihan Tahun 2024 dinyatakan menjadi Gubernur dan Wakil Gubernur Provinsi Daerah Khusus Jakarta.”
Dengan demikian, perubahan ini bukan sekadar formalitas administratif, melainkan penataan ulang struktur dan relasi kewenangan dalam sistem pemerintahan daerah yang berimplikasi langsung terhadap fungsi pejabat publik, termasuk wali kota di wilayah administrasi Jakarta.
Perubahan Status dan Implikasi Hukum bagi Pemerintahan Kota Administratif
Peralihan status dari Daerah Khusus Ibukota (DKI) menjadi Daerah Khusus Jakarta (DKJ) membawa beberapa konsekuensi hukum yang fundamental.
Secara garis besar, terdapat tiga perubahan mendasar:
1. Peralihan Kekhususan – dari fungsi ibu kota negara menjadi pusat perekonomian nasional dan kota global.
2. Perubahan Struktur Administratif – dengan penguatan sistem koordinasi antara pemerintah provinsi dan kota administratif.
3. Penegasan Skema Pengangkatan Wali Kota – yang tetap bersifat administratif, bukan hasil pemilihan langsung.
Kedudukan Wali Kota DKJ dalam Perspektif Hukum Publik
Dalam sistem hukum baru berdasarkan UU Nomor 2 Tahun 2024, wali kota di wilayah DKJ bukan kepala daerah otonom sebagaimana di provinsi lain, melainkan pejabat administrasi yang menjadi perpanjangan tangan Gubernur.
Artinya, wali kota bertindak sebagai pelaksana kebijakan provinsi di tingkat wilayah, bukan pembuat kebijakan otonom.
Dari perspektif hukum publik, kedudukan wali kota di DKJ dapat dipahami sebagai:
1. Pelaksana kewenangan delegatif, yaitu menjalankan tugas dan fungsi yang diberikan oleh Gubernur sesuai pembagian urusan pemerintahan.
2. Penanggung jawab administratif, yang mengelola urusan pemerintahan kota dalam kerangka kebijakan provinsi, tanpa memiliki kewenangan legislatif daerah seperti DPRD kota.
Konstruksi ini menegaskan bahwa DKJ menganut sistem pemerintahan administratif bersifat sentralistik terkontrol, di mana koordinasi vertikal antara gubernur dan wali kota menjadi kunci efektivitas pemerintahan.
Tantangan Implementasi dan Reformasi Birokrasi DKJ
Perubahan struktur ini menuntut adanya penyesuaian regulasi turunan, mulai dari peraturan gubernur hingga tata kerja di tingkat kota.
Wali kota di wilayah DKJ, termasuk Jakarta Pusat, dituntut untuk:
memastikan sinkronisasi kebijakan antara tingkat provinsi dan kota administratif,
mengawal transisi nomenklatur kelembagaan dan dokumen hukum,
serta memperkuat akuntabilitas birokrasi publik dalam melayani masyarakat di bawah payung hukum yang baru.
Dalam konteks reformasi birokrasi, perubahan menuju DKJ juga membuka peluang untuk memperkuat model pelayanan publik adaptif dan digital, yang mencerminkan karakter Jakarta sebagai kota global dengan tata kelola modern.
Wali Kota di Bawah Payung DKJ: Antara Administratur Teknis dan Penjaga Pelayanan Publik
Salah satu yang paling menarik untuk dicermati adalah posisi wali kota, yang kini beroperasi di bawah sistem pemerintahan administratif tanpa otonomi daerah.
Di bawah payung DKJ, wali kota tidak lagi berperan sebagai kepala daerah otonom, melainkan pejabat pelaksana kebijakan gubernur. Secara hukum, kedudukannya serupa dengan administrator yang menjalankan fungsi koordinatif dan eksekutorial dalam lingkup wilayah administratif kota.
Tugas dan Fungsi Wali Kota di Era DKJ
1. Melaksanakan Program Gubernur
Wali kota bertanggung jawab untuk menerjemahkan visi dan program Gubernur ke dalam kebijakan teknis dan kegiatan operasional di wilayahnya. Dalam kerangka hukum publik, posisi ini menempatkan wali kota sebagai aktor implementatif, bukan pembuat kebijakan.
Tugas utamanya adalah menyelenggarakan urusan pemerintahan umum dan memastikan sinergi antara perangkat daerah serta instansi vertikal yang bekerja di tingkat kota.
2. Pelayanan Publik sebagai Jantung Kinerja
Wali kota memimpin penyelenggaraan pelayanan publik di wilayahnya sesuai dengan standar pelayanan minimal (SPM) yang ditetapkan oleh Pemerintah Provinsi. Namun di sinilah letak tantangannya – ketika tanggung jawab pelayanan tetap besar, tetapi kewenangan untuk membuat kebijakan justru terbatas.
Ini menciptakan paradoks administratif: tanggung jawab melekat pada pejabat yang tak sepenuhnya berwenang menentukan arah kebijakan.
3. Penegakan Hukum dan Ketertiban Umum
Dalam struktur DKJ, wali kota juga memegang peran penting dalam penegakan Peraturan Daerah (Perda) dan Peraturan Gubernur (Pergub). Ia menjadi ujung tombak dalam menjaga ketertiban umum dan ketenteraman masyarakat di tingkat lokal.
Namun, efektivitasnya sangat bergantung pada seberapa kuat koordinasi antara aparat penegak perda, kepolisian, dan lembaga vertikal lainnya di lapangan.
4. Membantu Gubernur dan Melaporkan Kinerja
Wali kota wajib melaksanakan tugas-tugas tambahan yang dilimpahkan oleh Gubernur serta melaporkan hasil kinerja secara berkala. Dalam praktiknya, pola hubungan ini mempertegas sifat hierarkis dan sentralistik dalam sistem pemerintahan DKJ.
Kritik: Antara Efisiensi Birokrasi dan Kekosongan Demokrasi Lokal
Kebijakan penataan ulang struktur pemerintahan Jakarta menjadi DKJ memang bertujuan memperkuat koordinasi dan efisiensi birokrasi. Namun di balik itu, terdapat pertanyaan mendasar tentang masa depan demokrasi lokal di Jakarta.
Dengan dihapusnya mekanisme pemilihan langsung di tingkat wali kota, ruang partisipasi politik warga menjadi semakin sempit.
Kritikus kebijakan publik menilai, sistem pemerintahan administratif semacam ini berpotensi mengaburkan akuntabilitas publik. Siapa yang harus dimintai pertanggungjawaban ketika pelayanan publik di tingkat kota tidak berjalan baik – wali kota sebagai pelaksana, atau gubernur sebagai pemberi mandat?
Dari perspektif hukum administrasi negara, posisi wali kota DKJ mencerminkan model “dekonsetrasi kekuasaan” di mana pelimpahan wewenang tidak diikuti dengan pelimpahan tanggung jawab politik.
Konsekuensinya, tata kelola pemerintahan menjadi efisien secara teknis, namun berisiko kehilangan legitimasi sosial.
Implikasi Hukum Publik terhadap Posisi Wali Kota DKJ: Antara Efisiensi Administrasi dan Krisis Akuntabilitas
Perubahan status Jakarta dari Daerah Khusus Ibu Kota (DKI) menjadi Daerah Khusus Jakarta (DKJ) bukan hanya soal pergantian nomenklatur administratif. Dalam perspektif hukum publik, perubahan ini membawa konsekuensi struktural terhadap hubungan hierarkis antara Gubernur dan Wali Kota.
Struktur baru ini menegaskan bahwa pemerintahan Jakarta kini berpijak pada model administratif murni, di mana otonomi daerah di tingkat kota digantikan oleh mekanisme pelimpahan kewenangan (delegated authority) dari Gubernur kepada Wali Kota.
Secara teoritik, konsep ini dikenal sebagai desentralisasi administratif atau dekonsetrasi kekuasaan, di mana kewenangan pemerintahan tidak didistribusikan secara politik, tetapi secara birokratis.
Namun, di sinilah muncul dilema klasik: efisiensi pemerintahan memang meningkat, tetapi akuntabilitas politik dan partisipasi publik berpotensi melemah.
1. Ketergantungan pada Gubernur: Delegasi Tanpa Kemandirian
Dalam sistem DKJ, kewenangan wali kota tidak bersumber dari mandat rakyat melalui pemilihan langsung, melainkan dari delegasi Gubernur.
Hal ini membuat posisi wali kota secara hukum berada dalam rantai hierarki yang tegas—bukan sebagai kepala daerah, tetapi pejabat administratif pelaksana kebijakan provinsi.
Konsekuensinya, ruang diskresi dan inovasi kebijakan di tingkat kota menjadi terbatas.
Setiap keputusan strategis harus menunggu arahan atau persetujuan gubernur, yang pada akhirnya dapat memperlambat respon terhadap persoalan lokal.
Dalam konteks hukum publik, ketergantungan seperti ini menggeser peran wali kota dari aktor politik yang berorientasi pada publik menjadi administrator teknis yang tunduk pada komando birokrasi.
2. Tidak Memiliki Otonomi: Wali Kota Sebagai Manajer Operasional
Sebagai pejabat administratif, wali kota DKJ tidak memiliki kewenangan otonom dalam menetapkan kebijakan publik, terutama yang berkaitan dengan anggaran, regulasi, atau rencana pembangunan.
Tugasnya lebih menyerupai manajer operasional yang bertanggung jawab mengimplementasikan kebijakan gubernur di tingkat wilayah.
Meski secara teoritis hal ini dapat meningkatkan sinkronisasi kebijakan dan konsistensi program, dalam praktiknya sering kali menimbulkan birokratisasi berlapis.
Akibatnya, keputusan publik menjadi lamban dan jarak antara pemerintah dan warga semakin melebar.
Dari perspektif good governance, kondisi ini menunjukkan paradoks: efisiensi administratif tidak selalu berbanding lurus dengan efektivitas pelayanan publik.
3. Stabilitas Politik: Efisiensi yang Mengorbankan Demokrasi Lokal
Skema pengangkatan wali kota oleh gubernur memang dapat menekan biaya politik dan menghindari konflik elektoral di tingkat kota.
Namun, di sisi lain, model ini juga menghapus kanal demokrasi lokal yang selama ini menjadi wadah bagi warga untuk menyalurkan aspirasi politiknya.
Tanpa mekanisme pemilihan langsung, legitimasi sosial wali kota menjadi semu-ia bertanggung jawab ke atas (kepada gubernur), bukan ke bawah (kepada rakyat).
Akibatnya, ruang kritik publik terhadap kebijakan kota menjadi semakin terbatas, dan potensi apatinya masyarakat terhadap proses pemerintahan lokal meningkat.
Dari sudut pandang studi kebijakan, hal ini berisiko menciptakan stabilitas semu: sistem tampak tertib, tetapi kehilangan dinamika sosial yang justru menjadi roh demokrasi kota.
4. Penyelarasan Kebijakan: Harmonisasi atau Homogenisasi?
Salah satu tujuan dari hubungan hierarkis ini adalah memastikan selarasnya kebijakan di tingkat kota dengan visi dan program Pemerintah Provinsi.
Secara teoritis, hal ini dapat memperkuat koordinasi dan mencegah konflik kebijakan antarkota administratif.
Namun, tanpa ruang adaptasi lokal, penyelarasan kebijakan bisa berubah menjadi homogenisasi kebijakan-di mana semua wilayah dipaksa berjalan dalam pola seragam, meski realitas sosial-ekonomi tiap kota berbeda.
Kota administratif seperti Jakarta Pusat dan Jakarta Timur, misalnya, memiliki kebutuhan dan dinamika masyarakat yang jauh berbeda.
Ketika kebijakan diseragamkan, maka konteks lokal berpotensi diabaikan, dan kebijakan publik kehilangan sensitivitas sosialnya.
Menjaga Keseimbangan antara Efisiensi dan Akuntabilitas
Perubahan status hukum Jakarta menjadi DKJ membuka peluang besar bagi modernisasi birokrasi, namun juga menyimpan risiko pelemahan demokrasi lokal.
Dari perspektif studi kebijakan publik, sistem ini menuntut adanya mekanisme pengawasan dan partisipasi publik yang kuat, agar efisiensi administrasi tidak berujung pada konsentrasi kekuasaan di tangan segelintir elit birokrasi.
Wali kota DKJ, meski bukan pejabat politik, tetap memegang tanggung jawab moral untuk memastikan bahwa kebijakan yang dijalankan berakar pada kebutuhan warga, bukan sekadar perintah struktural.
Dalam konteks inilah, reformasi hukum di DKJ seharusnya tidak berhenti pada penataan kelembagaan, tetapi harus berlanjut pada penataan kesadaran etis dan sosial aparatur publik.
Arthur Noija SH

















