Jet Pribadi, Pemilu, dan Moral yang Terbang

- Penulis

Minggu, 26 Oktober 2025 - 08:29

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Spread the love

Jakarta, Majalahjakarta.com – Dari udara, negeri ini tampak damai. Tapi dari bawah, rakyat yang mengantre sembako dan mengais janji melihat burung besi mewah melintas, membawa para penyelenggara pemilu berkelana atas nama tugas negara. Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) akhirnya turun tangan menjatuhkan sanksi keras kepada Ketua dan empat anggota KPU yang terbang terlalu tinggi.

Ketika publik masih sibuk menghitung harga beras dan gaji tak naik-naik, Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) pada Selasa (21/10/2025) mengumumkan putusan yang mencengangkan. Ketua dan empat anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) dijatuhi sanksi peringatan keras karena ketahuan 59 kali bepergian menggunakan jet pribadi selama Pemilu 2024.
(tvOneNews, 21 Oktober 2025).

Nilai perjalanan mereka bukan sekadar mahal tapi melangit. Total Rp90 miliar dari anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) dihabiskan untuk menyewa pesawat pribadi dengan alasan efisiensi waktu dan mobilitas tinggi. DKPP melalui anggotanya, Ratna Dewi Pettalolo, menyebut tindakan itu sebagai “penyalahgunaan etika jabatan” dan “contoh buruk bagi lembaga publik.”
(Kompas.com, 22 Oktober 2025).

ADVERTISEMENT

ads

SCROLL TO RESUME CONTENT

Namun di ruang publik, sanksi “peringatan keras” justru terasa lunak. Warganet bereaksi getir. “Keras bagi siapa? Kita rakyat atau mereka pejabatnya?” tulis seorang pengguna media sosial di X (Twitter), yang unggahannya menembus 1,2 juta tayangan dalam 24 jam. Nada sarkas mewarnai kolom komentar: “Mungkin jet-nya perlu ikut sidang etik juga.”
(Detik.com, 23 Oktober 2025).

Ironinya, lembaga yang seharusnya menjaga integritas demokrasi justru menguap dalam kabin beraroma kemewahan. Bagi sebagian orang, KPU bukan lagi singkatan dari “Komisi Pemilihan Umum,” melainkan “Komisi Penerbangan Umum.” Rakyat pun bertanya: bagaimana lembaga yang mengatur pemilu bisa lupa bahwa demokrasi tak memerlukan pilot tambahan, melainkan integritas di landasan?

Menurut data Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), biaya sewa jet pribadi berkisar antara Rp1,2 miliar hingga Rp2,5 miliar per jam tergantung jenis pesawat dan rute. Jika dihitung kasar, 59 kali penerbangan berarti cukup untuk membiayai pembangunan 30 sekolah di daerah tertinggal. Tapi rupanya, prioritas bangsa ini lebih gemar terbang ketimbang menanam.
(Tempo.co, 24 Oktober 2025).

DKPP memang tidak berwenang menjatuhkan sanksi administratif seperti pemecatan. Namun, putusan etik seharusnya menjadi sinyal kuat bagi publik bahwa ada batas moral dalam mengelola uang negara. Sayangnya, batas itu seringkali lentur sefleksibel sabuk pengaman di kabin kelas bisnis.

Ketua KPU dalam konferensi pers membela diri: “Kami tidak melanggar hukum, hanya prosedur administrasi.” Kalimat itu memicu gelombang sinisme di kalangan akademisi. Dosen etika publik dari Universitas Gadjah Mada, Yanuar Sasmita, menyebut pembelaan tersebut “menunjukkan miskinnya kesadaran etik pejabat publik.”
(Republika, 25 Oktober 2025).

Baca Juga:  Darurat Kedaulatan Ekonomi Indonesia

Yanuar menambahkan, “Kalau semua tindakan pejabat diukur dengan legalitas semata tanpa menimbang moralitas, maka korupsi tinggal menunggu waktu. Jet pribadi hanyalah simbol dari jauhnya jarak antara rakyat dan kekuasaan.” Kalimat itu bergema di banyak ruang diskusi daring, menjadi bahan renungan sekaligus sindiran halus terhadap arah demokrasi hari ini.

Laporan investigatif Katadata (26 Oktober 2025) menemukan bahwa penerbangan-penerbangan tersebut sebagian besar dilakukan ke kota-kota besar, bukan daerah terpencil sebagaimana klaim efisiensi. Bahkan, beberapa jadwal perjalanan beririsan dengan kegiatan non-pemilu, seperti menghadiri forum internasional dan acara keluarga. Jika benar demikian, maka yang terbang bukan sekadar pejabat, melainkan nurani publik yang ikut melayang.

Dalam sidang DKPP, terungkap pula bahwa KPU tidak dapat menunjukkan dokumen justifikasi penggunaan jet tersebut secara rinci. “Terdapat kelalaian administratif dan pelanggaran etik yang berulang,” tulis putusan resmi yang dibacakan di Jakarta. Namun, publik tak lagi fokus pada kata “kelalaian.” Yang mereka tangkap hanyalah: lagi-lagi uang rakyat terbang.
(CNN Indonesia, 21 Oktober 2025).

Ketika ditanya apakah sanksi etik itu cukup berat, seorang anggota DKPP menjawab diplomatis: “Kami sudah memberikan teguran keras. Selebihnya menjadi tanggung jawab moral masing-masing.” Jawaban itu, lagi-lagi, membuat banyak orang tertawa getir. Moral, di negeri ini, sering dianggap barang pribadi, padahal dampaknya publik.

Seorang aktivis antikorupsi dari ICW, Ghina Rahayu, menyebut kasus ini sebagai “cermin rapuhnya penegakan etik di lembaga negara.” Ia menambahkan, “Yang dihukum bukan perilaku menyalahgunakan uang, tapi karena lupa menutupi jejaknya dengan baik.” Pernyataan itu menggigit, dan seperti biasa benar adanya.
(Tirto.id, 22 Oktober 2025).

Publik kini menunggu: apakah DPR, Kementerian Keuangan, atau lembaga pengawas lainnya akan menindaklanjuti? Atau kasus ini akan melayang bersama debu di landasan? Pengalaman menunjukkan, banyak perkara etik yang berakhir tanpa efek jera. Mereka yang jatuh karena etika, seringkali kembali dengan jabatan baru di tempat lain.

Ironi terbesar dari kisah ini bukanlah jumlah uang yang hilang, melainkan kepercayaan yang perlahan terkikis. Demokrasi dibangun di atas kejujuran dan tanggung jawab bukan di atas awan. Dan ketika lembaga penyelenggara pemilu lebih sibuk menghitung jam terbang ketimbang suara rakyat, barangkali kita sedang menyaksikan masa depan demokrasi yang sudah kehilangan arah angin.

Rakyat mungkin tak pernah naik jet pribadi, tapi mereka tahu bagaimana rasanya ditinggalkan di darat oleh para pemimpinnya. Kasus ini bukan sekadar pelanggaran etik ia adalah refleksi tentang bagaimana kekuasaan sering kehilangan gravitasi moral. Dan ketika moral sudah terbang terlalu tinggi, jatuhnya biasanya lebih keras dari yang kita kira. (Sumber foto: gelora.co)

Dwi Taufan Hidayat

Berita Terkait

Duit Sitaan Koruptor, Ujian Janji Keadilan
Darurat Kedaulatan Ekonomi Indonesia
Mengurai Mitos Kebal Hukum: Ketika Pusat Pengelolaan Komplek Kemayoran (PPK Kemayoran) Dikatakan “Tak Tersentuh”
Rampas Uang, Tutup Mata Korupsi Negara
Pertumbuhan 5 Persen, Tapi Siapa yang Untung?
Pahlawan atau Pengampunan Politik yang Tertunda
UIN Jakarta Kucurkan Rp2,85 Miliar Beasiswa untuk Dosen dan Tendik: Dorong Kualitas SDM dan Layanan Kampus
Jakarta Jadi Kota Kedua Terbanyak Pembeli Jersey Persib
Berita ini 10 kali dibaca
4 1 vote
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

0 Comments
Inline Feedbacks
View all comments

Berita Terkait

Kamis, 6 November 2025 - 04:03

Air Bersih, Upeti, dan Kekacauan Regulasi: Menguliti Polemik PAM JAYA-PPK Kemayoran

Kamis, 6 November 2025 - 03:30

Duit Sitaan Koruptor, Ujian Janji Keadilan

Rabu, 5 November 2025 - 19:27

Darurat Kedaulatan Ekonomi Indonesia

Rabu, 5 November 2025 - 19:03

Mengurai Mitos Kebal Hukum: Ketika Pusat Pengelolaan Komplek Kemayoran (PPK Kemayoran) Dikatakan “Tak Tersentuh”

Rabu, 5 November 2025 - 17:56

Rampas Uang, Tutup Mata Korupsi Negara

Rabu, 5 November 2025 - 17:24

Pahlawan atau Pengampunan Politik yang Tertunda

Selasa, 4 November 2025 - 16:56

Pengamat Hukum Didi Sungkono: Pemimpin yang Ditolak Rakyat Sebaiknya Mundur Secara Ksatria

Selasa, 4 November 2025 - 16:29

UIN Jakarta Kucurkan Rp2,85 Miliar Beasiswa untuk Dosen dan Tendik: Dorong Kualitas SDM dan Layanan Kampus

Berita Terbaru

Hukum

Duit Sitaan Koruptor, Ujian Janji Keadilan

Kamis, 6 Nov 2025 - 03:30

Berita

Darurat Kedaulatan Ekonomi Indonesia

Rabu, 5 Nov 2025 - 19:27

Berita

Rampas Uang, Tutup Mata Korupsi Negara

Rabu, 5 Nov 2025 - 17:56

0
Would love your thoughts, please comment.x
()
x