Jakarta, Majalahjakarta.com – Dewan Pimpinan Pusat Perkumpulan Peduli Nusantara Tunggal (PPNT) Jakarta, sebagai lembaga yang berfokus pada advokasi kebijakan publik, menilai bahwa perubahan status Jakarta dari Daerah Khusus Ibu Kota (DKI) menjadi Daerah Khusus Jakarta (DKJ) bukan sekadar pergantian nomenklatur administratif. Ia adalah pergeseran paradigma hukum dan tata kelola pemerintahan daerah yang membawa konsekuensi besar terhadap peran dan tanggung jawab pejabat publik, terutama para wali kota di wilayah administratif Jakarta.
Dalam struktur baru ini, seorang wali kota di DKJ tidak lagi berposisi sebagai kepala daerah otonom, melainkan sebagai manajer publik di bawah koordinasi langsung Gubernur DKJ. Posisi ini menempatkan wali kota pada garda depan pelaksanaan kebijakan publik, tetapi dengan batasan politik yang lebih sempit.
Peran wali kota sebagai manajer publik menjadi sangat krusial dalam menjaga efektivitas birokrasi, memastikan pelayanan publik berjalan sesuai standar hukum, serta mencegah stagnasi administratif di tengah perubahan sistem pemerintahan. Dengan kata lain, kompetensi manajerial dan integritas hukum kini menjadi dua syarat utama dalam memimpin pemerintahan kota di era DKJ.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Perubahan Status DKI Menjadi DKJ: Pergeseran Paradigma Pemerintahan
Lahirnya Undang-Undang tentang Daerah Khusus Jakarta (DKJ) menandai titik balik sejarah dalam tata kelola pemerintahan nasional. Setelah Presiden menandatangani keputusan pemindahan ibu kota ke Ibu Kota Nusantara (IKN), Jakarta kehilangan statusnya sebagai pusat pemerintahan negara dan diarahkan menjadi kota global dengan fokus ekonomi, keuangan, dan jasa internasional.
Secara yuridis, perubahan ini berdampak langsung pada struktur dan relasi kekuasaan di tingkat daerah. Para wali kota tidak lagi dipilih melalui mekanisme elektoral, melainkan diangkat oleh gubernur, sehingga fungsi politiknya berkurang namun tanggung jawab administratifnya meningkat.
Di sinilah muncul tantangan etika hukum publik: bagaimana menjaga agar pengurangan otonomi politik tidak berujung pada pengikisan akuntabilitas pelayanan?
Sebab, efektivitas birokrasi tanpa mekanisme kontrol publik berisiko melahirkan model pemerintahan yang efisien di atas kertas, namun steril dari partisipasi rakyat.
Wali Kota Sebagai Manajer Publik: Dari Otoritas Menuju Akuntabilitas
Sebagai manajer publik, wali kota di DKJ dituntut untuk berorientasi pada hasil (result-based governance), bukan sekadar menjalankan prosedur administratif. Ia harus mampu mengelola sumber daya secara efisien, mendorong inovasi pelayanan publik, dan membangun koordinasi lintas sektor – mulai dari dunia usaha hingga masyarakat sipil.
Namun di balik tuntutan profesionalisme ini, terdapat paradoks yang perlu dicermati: tanggung jawab besar tanpa legitimasi elektoral. Ketika pemimpin kota tidak dipilih langsung oleh masyarakat, maka dimensi moral dan hukum pelayanan publik menjadi satu-satunya tolok ukur legitimasi sosialnya. Dalam konteks inilah, hukum bukan hanya alat pembatas kekuasaan, tetapi juga fondasi kepercayaan publik.
Wali kota perlu memahami bahwa manajemen publik tidak dapat dipisahkan dari etika hukum. Setiap kebijakan yang diambil harus mencerminkan asas pelayanan publik sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik: kepastian hukum, keterbukaan, partisipasi, dan akuntabilitas. Tanpa implementasi nyata atas asas-asas ini, perubahan status DKJ hanya akan menjadi reformasi administratif tanpa makna substantif.
Menuju Tata Kelola Jakarta yang Adaptif dan Berkeadilan
Perubahan status Jakarta menjadi DKJ seharusnya menjadi momentum untuk membangun tata kelola pemerintahan yang adaptif, transparan, dan inklusif.
Wali kota tidak lagi sekadar pelaksana kebijakan, melainkan penggerak kolaborasi antara pemerintah, sektor swasta, dan masyarakat. Dalam kerangka hukum publik, peran ini menuntut kemampuan untuk menyeimbangkan antara kepatuhan pada hukum dan ketanggapan terhadap kebutuhan sosial.
Keberhasilan reformasi DKJ tidak hanya ditentukan oleh kecepatan birokrasi, tetapi juga oleh kualitas moral kepemimpinan publik yang mampu menghidupkan nilai-nilai hukum dalam praktik pelayanan. Sebab hukum yang adil tidak berhenti pada teks undang-undang, melainkan hidup dalam cara pemerintah memperlakukan rakyatnya.
Fungsi Wali Kota sebagai Manajer Publik di Era DKJ: Antara Pelayanan dan Akuntabilitas
Perubahan status Jakarta dari Daerah Khusus Ibu Kota (DKI) menjadi Daerah Khusus Jakarta (DKJ) membawa konsekuensi hukum dan administratif yang signifikan. Dalam sistem baru ini, wali kota tidak lagi menjadi kepala daerah otonom, melainkan manajer publik di bawah koordinasi Gubernur DKJ. Transformasi ini menuntut perubahan paradigma – dari sekadar pelaksana kebijakan menuju pengelola pelayanan publik yang berorientasi pada efisiensi, inovasi, dan partisipasi masyarakat.
Dalam perspektif hukum publik, posisi wali kota sebagai manajer publik merupakan perwujudan dari prinsip-prinsip tata kelola pemerintahan yang baik (good governance). Ia tidak hanya bertanggung jawab terhadap struktur birokrasi di wilayahnya, tetapi juga terhadap bagaimana hukum pelayanan publik diterjemahkan menjadi kebijakan yang nyata, adil, dan bermanfaat bagi warga.
1. Mengidentifikasi Kebutuhan Lokal: Dari Pusat ke Akar Masalah
Pasca-DKJ, keberhasilan wali kota tidak lagi diukur dari sejauh mana ia menjalankan instruksi pusat, melainkan dari kemampuannya memahami realitas sosial di tingkat lokal. Setiap wilayah di Jakarta memiliki karakteristik dan problematikanya sendiri – dari kepadatan penduduk, kemiskinan urban, hingga ketimpangan layanan dasar.
Dalam kerangka hukum pelayanan publik, identifikasi kebutuhan lokal adalah bagian dari prinsip partisipasi dan kepentingan umum. Artinya, wali kota dituntut untuk menjadi pendengar yang baik, bukan sekadar pelaksana yang patuh. Ia harus mampu mengolah aspirasi warga menjadi kebijakan berbasis data dan kebutuhan nyata, bukan kebijakan berbasis proyek jangka pendek.
2. Manajemen Sumber Daya: Efektivitas di Tengah Keterbatasan
Sebagai manajer publik, wali kota harus piawai dalam mengelola sumber daya finansial, fisik, dan manusia agar pembangunan tetap berjalan efisien.
Namun, berbeda dengan kepala daerah otonom di provinsi lain, wali kota DKJ bekerja dalam ruang kewenangan yang terbatas. Di sinilah muncul tantangan administratif: bagaimana memastikan efektivitas birokrasi dalam sistem yang hierarkis?
Dalam konteks hukum publik, setiap keputusan pengelolaan anggaran harus mengacu pada asas akuntabilitas dan keterbukaan sebagaimana diatur dalam UU Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik.
Kegagalan dalam pengelolaan sumber daya bukan hanya masalah teknis, tetapi juga pelanggaran terhadap prinsip hukum yang menjamin hak warga atas pelayanan yang adil dan transparan.
3. Menjalin Kerja Sama: Kolaborasi sebagai Pilar Baru Tata Kelola
Salah satu fungsi manajerial penting di era DKJ adalah kemampuan wali kota dalam membangun jejaring kerja sama lintas sektor – baik dengan dunia usaha, akademisi, maupun komunitas lokal.
Kerja sama ini tidak boleh dimaknai sebagai privatisasi kewenangan, melainkan sebagai bentuk kolaborasi strategis untuk memperkuat kapasitas pelayanan publik.
Namun, PPNT Jakarta mengingatkan bahwa kolaborasi harus tetap berpijak pada prinsip hukum dan kepentingan publik.
Kemitraan dengan pihak swasta, misalnya, harus transparan dan diawasi secara ketat agar tidak berubah menjadi bentuk baru dari komersialisasi layanan publik.
Wali kota memiliki tanggung jawab moral dan hukum untuk memastikan bahwa setiap kerja sama dijalankan dalam koridor kepentingan masyarakat, bukan kepentingan modal.
4. Mobilisasi Komunitas: Demokrasi dari Bawah
Dalam sistem pemerintahan yang semakin terpusat, peran partisipatif masyarakat menjadi semakin penting. Wali kota harus mampu menggerakkan komunitas lokal – baik di tingkat kelurahan, RW, maupun kelompok masyarakat sipil – untuk terlibat dalam proses pembangunan.
Partisipasi publik tidak hanya memperkuat legitimasi kebijakan, tetapi juga memperkecil jarak antara warga dan pemerintah. Dalam konteks hukum publik, hal ini sejalan dengan asas partisipasi masyarakat yang diatur dalam UU Pelayanan Publik, di mana warga memiliki hak untuk mengawasi, memberi masukan, bahkan mengkritik kinerja pemerintah daerah.
Wali kota yang mampu mengelola partisipasi masyarakat bukan hanya pemimpin birokrasi, tetapi pemimpin moral yang menjaga hubungan timbal balik antara pemerintah dan rakyatnya.
5. Pengawasan Internal: Membangun Integritas Birokrasi
Tugas seorang wali kota sebagai manajer publik tidak berhenti pada pelaksanaan kebijakan, tetapi juga mencakup pengawasan terhadap prosedur dan kinerja birokrasi di bawahnya.
Ia harus memastikan bahwa setiap program pembangunan dijalankan sesuai aturan hukum, tanpa penyimpangan, kolusi, atau kelalaian.
Pengawasan internal adalah bentuk nyata penerapan asas akuntabilitas publik.
Dalam praktiknya, wali kota perlu memperkuat sistem audit internal, memastikan laporan keuangan terbuka, dan menegakkan disiplin administratif tanpa pandang bulu.
PPNT Jakarta menilai bahwa pengawasan berbasis etika hukum menjadi penentu utama keberhasilan reformasi birokrasi DKJ. Sebab, tanpa integritas di tubuh birokrasi, konsep manajer publik hanya akan berhenti pada jargon administratif – bukan praktik pemerintahan yang bersih dan melayani.
Menakar Etika Hukum dalam Pelayanan Publik: Ujian Baru bagi Wali Kota di Era DKJ
Perubahan status Jakarta menjadi Daerah Khusus Jakarta (DKJ) bukan hanya peristiwa administratif, melainkan transformasi hukum dan moral dalam tata kelola pelayanan publik.
Di tengah transisi ini, wali kota memiliki peran strategis – bukan sekadar pelaksana kebijakan daerah, tetapi manajer publik yang tunduk pada hukum, berpihak pada masyarakat, dan bertanggung jawab secara etis serta administratif.
Pelayanan publik tidak lagi dapat dipandang sebagai rutinitas birokrasi. Ia merupakan manifestasi langsung dari kontrak sosial antara negara dan warga negara. Dalam kerangka hukum publik, pelayanan yang buruk, lamban, atau diskriminatif bukan sekadar kesalahan teknis – tetapi pelanggaran terhadap hak dasar warga sebagaimana dijamin oleh Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik.
1. Hak Dasar Masyarakat: Negara Tidak Boleh Lalai Melayani
Undang-undang telah menegaskan bahwa pelayanan publik adalah hak dasar setiap warga negara, bukan bentuk kemurahan hati pemerintah.
Artinya, ketika masyarakat datang ke kantor pemerintahan untuk mengurus dokumen, meminta izin, atau mengadukan masalah, mereka sedang menagih janji konstitusional negara.
Di sinilah hukum berperan sebagai penjaga moral pelayanan publik. Ia memastikan agar setiap bentuk layanan – dari pengurusan administrasi hingga layanan sosial – berjalan secara adil, transparan, dan tanpa diskriminasi.
Kelalaian, ketidakpastian, atau pungutan liar bukan hanya tindakan amoral, tetapi juga pelanggaran hukum yang menggerus kepercayaan publik terhadap negara.
2. Standar Pelayanan: Bukan Formalitas, Melainkan Akuntabilitas
Dalam praktiknya, banyak pemerintah daerah masih menjadikan standar pelayanan sebatas dokumen administratif yang disusun untuk memenuhi kewajiban formal. Padahal, UU 25/2009 mengharuskan standar pelayanan mencakup dasar hukum, persyaratan, prosedur, waktu penyelesaian, biaya, produk layanan, hingga mekanisme pengaduan.
Bagi seorang wali kota di DKJ, standar pelayanan adalah kompas moral sekaligus alat ukur hukum. Standar yang kabur atau tidak diterapkan berarti membuka ruang bagi kesewenang-wenangan birokrasi.
Oleh karena itu, penerapan standar bukan hanya kewajiban administratif, tetapi juga bukti akuntabilitas moral pemerintah kepada masyarakat.
Kritiknya: banyak unit layanan publik di perkotaan yang masih menilai efisiensi dari sisi “kecepatan,” bukan dari kepuasan dan keadilan prosedural.
Wali kota harus memahami bahwa pelayanan yang cepat tetapi tidak transparan tetap melanggar asas hukum pelayanan publik.
3. Peran Penyelenggara: Pelayan, Bukan Penguasa
Dalam konteks hukum publik, aparatur pemerintah bukanlah pemegang kekuasaan mutlak, melainkan abdi masyarakat yang diikat oleh asas akuntabilitas dan profesionalitas. Prinsip “pelayanan prima” bukan jargon kosong – ia adalah kewajiban hukum dan moral bagi setiap penyelenggara negara.
Sebagai manajer publik, wali kota harus memastikan bahwa setiap layanan yang diberikan:
Efektif dalam mencapai tujuan masyarakat,
Efisien dalam penggunaan sumber daya,
Inovatif dalam menyesuaikan kebutuhan warga, dan
Berorientasi pada kepuasan serta keadilan publik.
Inovasi pelayanan publik tidak boleh menyalahi prinsip hukum. Digitalisasi layanan, misalnya, harus tetap menjamin aksesibilitas bagi kelompok rentan – warga lanjut usia, masyarakat miskin, atau mereka yang kurang melek teknologi.
Modernisasi tanpa keadilan sosial hanya akan melahirkan bentuk baru dari eksklusi publik yang dilegitimasi teknologi.
4. Tanggung Jawab Hukum: Pelayanan Buruk Adalah Pelanggaran
Salah satu aspek yang sering diabaikan dalam hukum pelayanan publik adalah tanggung jawab hukum pejabat publik.
UU 25/2009 memberikan ruang bagi masyarakat untuk mengajukan pengaduan bahkan gugatan hukum jika pelayanan publik melanggar standar atau melibatkan penyalahgunaan wewenang.
Seorang wali kota di DKJ memiliki posisi ganda: ia adalah manajer publik yang dituntut efisien, tetapi juga penanggung jawab hukum atas setiap kelalaian dalam sistem layanan di bawahnya. Ketika terjadi penyimpangan, seperti pungutan tidak resmi, diskriminasi, atau keterlambatan layanan, maka tanggung jawab tidak berhenti pada petugas lapangan – rantainya bisa naik hingga ke tingkat wali kota.
Inilah wujud konkret dari asas responsibilitas dan akuntabilitas publik. Hukum tidak sekadar menjerat, tetapi mendidik agar pejabat publik memahami bahwa kewenangan adalah amanah, bukan hak istimewa.
Refleksi: Pelayanan Publik sebagai Cermin Etika Pemerintahan
Pelayanan publik adalah wajah paling nyata dari negara. Di sanalah hukum bersentuhan langsung dengan kehidupan masyarakat. Di era DKJ, di mana struktur pemerintahan lebih tersentralisasi, integritas pelayanan publik menjadi ujian utama kualitas demokrasi lokal.
Seorang wali kota tidak cukup hanya memimpin birokrasi dengan baik; ia harus menjadi penjaga nilai-nilai hukum dan etika pelayanan. Ia dituntut untuk menjaga keseimbangan antara efisiensi administratif dan tanggung jawab moral kepada warga.
Sebagaimana diingatkan Perkumpulan Peduli Nusantara Tunggal (PPNT) Jakarta, “pelayanan publik yang berkeadilan bukan hanya soal aturan, tetapi tentang kesadaran moral bahwa setiap warga berhak dilayani tanpa syarat.”
Jika wali kota gagal memastikan prinsip tersebut, maka transisi menuju DKJ yang beradab hanya akan menjadi rebranding administratif tanpa perubahan substansial.
Pada akhirnya, pelayanan publik dalam perspektif hukum publik bukan sekadar urusan teknis, tetapi tolok ukur kualitas pemerintahan itu sendiri.
Hukum hadir bukan untuk membatasi kreativitas birokrasi, tetapi untuk memastikan bahwa setiap inovasi tetap berpihak pada rakyat.
Karena dalam pelayanan publik, ukuran keberhasilan bukan seberapa cepat sistem bekerja – tetapi seberapa adil dan manusiawi negara melayani rakyatnya.
Arthur Noija SH

















