Jakarta, Majalahjakarta.com – Dewan Pimpinan Pusat Perkumpulan Peduli Nusantara Tunggal (PPNT), sebagai lembaga yang fokus pada isu-isu kebijakan publik, menyoroti urgensi dan legitimasi payung hukum penertiban kawasan, terutama terhadap bangunan ilegal atau yang melanggar ketentuan tata ruang. Persoalan ini tidak sekadar soal fisik pembangunan, melainkan juga menyangkut etos keadilan ruang, hak publik atas lingkungan yang tertib, serta tanggung jawab negara dalam menegakkan aturan tanpa diskriminasi.
Dalam perspektif hukum publik, tindakan penertiban oleh pemerintah merupakan bentuk pelaksanaan fungsi regulatif negara-yakni menjaga ketertiban umum dan menegakkan hukum demi kepentingan publik. Namun, penertiban bukan semata tindakan koersif, melainkan kebijakan yang harus berpijak pada asas-asas keadilan, proporsionalitas, dan transparansi. Di sinilah tantangan kebijakan tata ruang Indonesia: antara penegakan aturan dan keadilan sosial yang sering kali tidak berjalan seiring.
Namun, di balik legitimasi hukum yang kuat, praktik penertiban di lapangan kerap menimbulkan paradoks kebijakan. Pemerintah bertindak tegas terhadap pedagang kecil atau penghuni kawasan kumuh, tetapi lemah di hadapan korporasi besar yang menguasai lahan tanpa izin. Di titik inilah, kebijakan publik kehilangan moralitas hukumnya: hukum ditegakkan hanya kepada yang lemah, sementara yang kuat menulis ulang pasal demi pasal melalui lobi dan kuasa modal.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Penertiban kawasan seharusnya tidak berhenti pada “penegakan aturan”, tetapi menjadi momentum penataan keadilan ruang-bahwa setiap warga negara berhak atas lingkungan yang tertib, sehat, dan adil secara sosial. Jika ruang publik terus dikomodifikasi, maka penegakan hukum hanyalah tirai legalitas bagi ketimpangan struktural.
Dengan demikian, tantangan kebijakan tata ruang bukan lagi sekadar soal administrasi izin, melainkan soal keberpihakan negara: apakah hukum menjadi alat ketertiban semata, ataukah juga instrumen keadilan bagi seluruh rakyat?
Menegakkan Ketertiban Ruang: Kritik atas Paradigma Penertiban Kawasan di Indonesia
Dalam setiap kota dan kabupaten di Indonesia, wajah pembangunan sering kali menampilkan dua realitas yang saling bertolak belakang: gedung megah menjulang di satu sisi, sementara di sisi lain berdiri deretan bangunan liar yang lahir dari keterpaksaan ekonomi. Di tengah ketimpangan ruang inilah, kebijakan penertiban kawasan menjadi ujian serius bagi komitmen negara terhadap keadilan hukum dan sosial.
Perkumpulan Peduli Nusantara Tunggal (PPNT) menilai bahwa penertiban kawasan bukan sekadar urusan administratif, tetapi refleksi dari sejauh mana hukum berpihak kepada publik, bukan hanya kepada modal. Negara memang memiliki dasar hukum yang kuat untuk menertibkan kawasan, namun persoalannya bukan sekadar ada atau tidaknya undang-undang-melainkan bagaimana hukum itu dijalankan secara adil, proporsional, dan konsisten.
Landasan Yuridis Penertiban Kawasan
Secara normatif, ada sejumlah peraturan yang memberi legitimasi bagi pemerintah untuk melakukan penertiban terhadap bangunan atau aktivitas ilegal di berbagai kawasan. Namun, pelaksanaan di lapangan kerap menimbulkan paradoks: hukum tegas di atas kertas, tapi lunak di hadapan kepentingan.
1. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung
Undang-undang ini menegaskan pentingnya penyelenggaraan bangunan gedung yang tertib dan berizin. Kini, izin mendirikan bangunan (IMB) telah berganti menjadi Persetujuan Bangunan Gedung (PBG) sebagai bentuk modernisasi perizinan. Namun, pasal-pasal yang mengatur pembongkaran bangunan tanpa izin kerap menghadapi dilema sosial: antara menegakkan hukum atau menambah jumlah warga miskin kota yang tergusur tanpa solusi.
2. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan
Regulasi ini menjadi dasar bagi penertiban aktivitas dan bangunan ilegal di kawasan hutan. Meski ancaman pidana bagi pelaku sudah tegas, praktiknya menunjukkan bahwa penegakan hukum lebih mudah menyentuh masyarakat kecil daripada korporasi besar yang justru menjadi aktor utama deforestasi.
3. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang Baru
Beberapa pasal dalam KUHP baru membuka ruang untuk menjerat pelaku yang menggunakan lahan secara ilegal. Namun, jika penegakan hukum masih terjebak pada pola lama-menyalahkan rakyat kecil dan membiarkan oligarki lahan-maka pembaruan KUHP hanyalah kosmetik reformasi hukum.
4. Undang-Undang Nomor 51 Prp Tahun 1960 tentang Larangan Pemakaian Tanah Tanpa Izin yang Berhak atau Kuasanya
Undang-undang ini telah lama menjadi dasar penertiban lahan, namun konteks sosialnya berubah. Dulu, ia digunakan untuk menjaga ketertiban agraria; kini, sering dijadikan alat legitimasi penggusuran tanpa dialog partisipatif. Hukum yang sejatinya menjaga hak, justru berisiko menjadi instrumen penyingkiran.
Turunan Aturan Teknis dan Implementasi Daerah
5. Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2021 tentang Pelaksanaan UU Bangunan Gedung
PP ini mengatur teknis pelaksanaan PBG serta prosedur pembongkaran bangunan. Ia memberi panduan hukum yang cukup jelas. Namun, masalah utamanya bukan pada aturan, melainkan pada integritas dan transparansi pelaksanaannya.
Diperkuat oleh Peraturan Menteri PUPR Nomor 18 Tahun 2021, pemerintah berupaya menata ulang sistem perizinan. Sayangnya, di lapangan, sistem digitalisasi PBG belum sepenuhnya menghapus praktik perizinan “transaksional”.
6. Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK)
Berbagai peraturan menteri LHK mengatur izin pemanfaatan kawasan hutan. Namun, lemahnya koordinasi antar lembaga sering membuat pelanggaran lintas sektor sulit ditindak. Penertiban di kawasan hutan tak jarang tumpang tindih antara kebijakan kehutanan, pertanahan, dan investasi.
7. Peraturan Daerah (Perda) tentang Ketertiban Umum dan Tata Ruang Wilayah (RTRW)
Perda menjadi instrumen paling dekat dengan rakyat. Misalnya, Perda Nomor 13 Tahun 2021 Kota Pekanbaru yang digunakan untuk menertibkan kios liar di trotoar. Namun, di banyak daerah, perda sering diterapkan secara represif tanpa memperhatikan faktor ekonomi warga.
Di sisi lain, Perda RTRW menjadi pedoman utama bagi arah pembangunan kota, namun implementasinya sering dilanggar oleh kebijakan proyek strategis nasional yang justru mengubah peruntukan lahan demi investasi.
Hukum Harus Kembali pada Rakyat
Ironinya, ketika rakyat kecil membangun rumah di tanah negara karena desakan ekonomi, mereka disebut “melanggar hukum.” Tapi ketika korporasi menimbun rawa, menggusur kampung, dan membangun resort di kawasan lindung, mereka disebut “mendukung pembangunan.”
Paradoks ini menyingkap bahwa penertiban kawasan bukan semata soal aturan, tapi soal siapa yang punya kuasa untuk menafsirkan hukum.
Negara hukum sejati bukan hanya menertibkan pelanggaran, tapi juga menata keadilan. Penertiban kawasan seharusnya disertai dengan solusi: relokasi manusiawi, penyediaan hunian layak, serta akses keadilan bagi warga terdampak. Tanpa itu, hukum hanya menjadi alat legitimasi bagi ketimpangan struktural ruang.
Dari Penertiban ke Penataan Keadilan Ruang
Ketertiban adalah syarat peradaban, namun keadilan adalah jiwa dari ketertiban itu sendiri.
Jika penertiban kawasan tidak diiringi dengan keberpihakan sosial, maka negara berisiko menjadi penjaga ketertiban tanpa nurani.
Maka, kebijakan publik ke depan harus menempatkan penertiban kawasan sebagai bagian dari agenda reformasi tata ruang yang berkeadilan sosial – bukan sekadar penegakan aturan yang kehilangan arah moralnya.
Arthur Noija SH

















