Reformasi Pajak: Tegas Tanpa Premanisme Negara

- Penulis

Sabtu, 25 Oktober 2025 - 02:27

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Spread the love

Jakarta, Majalahjakarta.com – Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa membawa semangat baru dalam reformasi perpajakan nasional. Ia berjanji, negara tak akan lagi mengejar penerimaan dengan cara-cara preman. Namun, ketegasan hukum tetap ditegakkan terhadap para pengemplang besar konglomerat, jaringan sembilan naga, dan pengusaha tambang hitam sebagai langkah memulihkan martabat fiskal sekaligus menegakkan keadilan ekonomi.

Suasana ruang konferensi pers di Kantor Kementerian Keuangan, Kamis malam (23/10/2025), terasa tenang. Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa berdiri tegak di depan mikrofon, mengenakan jas hitam dan dasi biru muda. Di hadapan para jurnalis, ia menyampaikan janji yang tak biasa bagi pejabat keuangan: tidak akan ada lagi gaya premanisme dalam mengejar target pajak.
(Sumber: tvOneNews, 23 Oktober 2025)

“Kalau ada potensi bocor sana-sini, itu yang akan dikejar. Tapi bukan berarti jadi kayak preman, gedor rumah orang jam lima pagi. Kami akan buat penagihan lebih profesional,” ujarnya dengan nada tenang namun penuh penekanan. Ucapan itu disambut tatapan kagum dari hadirin yang seolah menangkap arah baru kebijakan fiskal Indonesia.

ADVERTISEMENT

ads

SCROLL TO RESUME CONTENT

Pernyataan itu tak sekadar basa-basi. Purbaya ingin mengubah paradigma lama dalam sistem perpajakan yang kerap menimbulkan rasa takut. Bagi dia, negara tidak boleh hadir sebagai penagih hutang yang beringas, melainkan pelayan publik yang beretika. “Kita ini pelayan negara, bukan pemalak,” katanya menegaskan.
(Sumber: Kompas, 24 Oktober 2025)

Reformasi yang dicanangkannya berporos pada profesionalisme dan transparansi. Kemenkeu tengah membangun sistem digital lintas sektor—menghubungkan data perbankan, pertanahan, hingga transaksi daring untuk menutup celah penghindaran pajak. Dengan basis data yang kuat, petugas pajak tak perlu lagi mengetuk pintu rumah wajib pajak dengan ancaman, cukup dengan validasi digital dan mekanisme hukum.
(Sumber: CNBC Indonesia, 24 Oktober 2025)

Namun, di balik pendekatan yang humanis itu, tersimpan ketegasan yang tajam. Purbaya menegaskan, kelunakan bukan berarti kelemahan. Ia menaruh perhatian serius pada para pengemplang pajak besar konglomerat lama, jaringan sembilan naga, dan pengusaha tambang hitam yang selama ini leluasa memainkan celah hukum. “Tegas bukan berarti kasar. Tapi kalau melanggar hukum, kita akan kejar sampai tuntas,” ujarnya.
(Sumber: Bisnis Indonesia, 24 Oktober 2025)

Langkah itu dianggap banyak pihak sebagai bentuk keberanian baru dalam memulihkan keadilan fiskal. Selama ini, masyarakat kecil sering merasa dikejar karena keterlambatan membayar pajak, sementara kelompok superkaya justru bebas mengakali sistem. Di bawah kepemimpinan Purbaya, arah itu hendak dibalik: yang besar tak lagi kebal, yang kecil tak lagi gentar.
(Sumber: Kontan, 25 Oktober 2025)

Sejumlah ekonom menilai kebijakan ini sebagai terobosan etis. Dengan tidak mengandalkan tekanan fisik, negara menunjukkan kedewasaan dalam penegakan fiskal. “Ketegasan selektif terhadap pengemplang besar justru memperkuat rasa keadilan dan meningkatkan kepercayaan publik,” ujar ekonom senior dari Universitas Indonesia, dalam sebuah diskusi yang menyoroti arah reformasi ini.
(Sumber: Katadata, 25 Oktober 2025)

Baca Juga:  Cinta Ritel dan Kuburan Warung Tradisi

Bagi Purbaya, inti persoalan pajak bukan sekadar angka, melainkan rasa kepercayaan. Ia percaya, ketika ekonomi membaik dan pemerintah dipercaya, rakyat akan membayar pajak dengan sukarela. “Kalau ekonomi membaik, kita gampang cari uang. Pasti kita dengan senang hati, riang gembira bayar pajak. Nggak perlu dikejar-kejar,” ujarnya ringan, namun sarat makna.
(Sumber: tvOneNews, 23 Oktober 2025)

Kata-kata itu mencerminkan filosofi fiskal yang beradab: bahwa kepatuhan lahir bukan dari ketakutan, melainkan dari rasa ikut memiliki negara. Pajak, dalam pandangan Purbaya, bukan sekadar pungutan, tapi jembatan antara rakyat dan negara antara keringat individu dan kemaslahatan bersama.

Untuk mewujudkannya, Kementerian Keuangan juga menata ulang etika pelayanan publik. Petugas pajak diwajibkan tampil ramah, menjelaskan dengan sabar, dan memberi ruang klarifikasi sebelum mengambil tindakan hukum. “Pajak adalah wajah negara. Kalau wajah itu ramah, rakyat akan percaya,” kata Purbaya dalam kesempatan terpisah.
(Sumber: Tempo, 25 Oktober 2025)

Namun, ketegasan tetap menjadi fondasi utama. Bagi mereka yang dengan sengaja mengemplang pajak miliaran rupiah, memindahkan aset ke luar negeri, atau bermain di wilayah abu-abu transaksi tambang, Kemenkeu menyiapkan jalur hukum yang tegas dan transparan. Tidak ada kompromi untuk pelanggaran besar, sebab di situlah letak keadilan sesungguhnya.

Langkah itu mendapat dukungan publik. Banyak kalangan menilai pendekatan soft power ini sejalan dengan semangat negara modern yang menegakkan hukum tanpa kekerasan. Seorang pelaku UMKM di Depok bahkan berkata, “Kalau pajak ditarik dengan cara yang sopan dan jelas manfaatnya, kami akan bayar dengan hati senang.”

Di mata pengamat kebijakan publik, arah reformasi ini merupakan reposisi negara dari penguasa menjadi pelayan. Pajak tidak lagi menjadi alat tekanan, tetapi alat partisipasi. Ia menjadi cermin baru dari cara negara memperlakukan warganya: dengan hormat, keadilan, dan akal sehat.
(Sumber: The Jakarta Post, 25 Oktober 2025)

Ketika konferensi pers usai, Purbaya menutup pembicaraan dengan kalimat sederhana namun kuat: “Kita semua ingin negara ini maju, tapi jangan sampai cara kita mundur.” Ucapannya disambut tepuk tangan ringan, tapi sarat makna. Di wajahnya, terpancar keyakinan bahwa reformasi pajak bukan sekadar mengubah sistem, melainkan mengubah cara pandang negara terhadap rakyatnya.

Jika langkah ini benar dijalankan, Indonesia boleh berharap pada babak baru peradaban fiskal: di mana ketegasan berdiri sejajar dengan keadilan, dan profesionalisme menggantikan rasa takut. Saat itu tiba, pajak bukan lagi alat penagihan, melainkan wujud kepercayaan untuk membangun negeri bersama.

Dwi Taufan Hidayat

Berita Terkait

Air Bersih, Upeti, dan Kekacauan Regulasi: Menguliti Polemik PAM JAYA-PPK Kemayoran
Duit Sitaan Koruptor, Ujian Janji Keadilan
Darurat Kedaulatan Ekonomi Indonesia
Mengurai Mitos Kebal Hukum: Ketika Pusat Pengelolaan Komplek Kemayoran (PPK Kemayoran) Dikatakan “Tak Tersentuh”
Rampas Uang, Tutup Mata Korupsi Negara
Pertumbuhan 5 Persen, Tapi Siapa yang Untung?
Pahlawan atau Pengampunan Politik yang Tertunda
Pengamat Hukum Didi Sungkono: Pemimpin yang Ditolak Rakyat Sebaiknya Mundur Secara Ksatria
Berita ini 7 kali dibaca
4 1 vote
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

0 Comments
Inline Feedbacks
View all comments

Berita Terkait

Kamis, 6 November 2025 - 04:03

Air Bersih, Upeti, dan Kekacauan Regulasi: Menguliti Polemik PAM JAYA-PPK Kemayoran

Kamis, 6 November 2025 - 03:30

Duit Sitaan Koruptor, Ujian Janji Keadilan

Rabu, 5 November 2025 - 19:27

Darurat Kedaulatan Ekonomi Indonesia

Rabu, 5 November 2025 - 19:03

Mengurai Mitos Kebal Hukum: Ketika Pusat Pengelolaan Komplek Kemayoran (PPK Kemayoran) Dikatakan “Tak Tersentuh”

Rabu, 5 November 2025 - 17:56

Rampas Uang, Tutup Mata Korupsi Negara

Rabu, 5 November 2025 - 17:24

Pahlawan atau Pengampunan Politik yang Tertunda

Selasa, 4 November 2025 - 16:56

Pengamat Hukum Didi Sungkono: Pemimpin yang Ditolak Rakyat Sebaiknya Mundur Secara Ksatria

Selasa, 4 November 2025 - 16:29

UIN Jakarta Kucurkan Rp2,85 Miliar Beasiswa untuk Dosen dan Tendik: Dorong Kualitas SDM dan Layanan Kampus

Berita Terbaru

Hukum

Duit Sitaan Koruptor, Ujian Janji Keadilan

Kamis, 6 Nov 2025 - 03:30

Berita

Darurat Kedaulatan Ekonomi Indonesia

Rabu, 5 Nov 2025 - 19:27

Berita

Rampas Uang, Tutup Mata Korupsi Negara

Rabu, 5 Nov 2025 - 17:56

0
Would love your thoughts, please comment.x
()
x