Jakarta, Majalahjakarta.com – Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa membawa semangat baru dalam reformasi perpajakan nasional. Ia berjanji, negara tak akan lagi mengejar penerimaan dengan cara-cara preman. Namun, ketegasan hukum tetap ditegakkan terhadap para pengemplang besar konglomerat, jaringan sembilan naga, dan pengusaha tambang hitam sebagai langkah memulihkan martabat fiskal sekaligus menegakkan keadilan ekonomi.
Suasana ruang konferensi pers di Kantor Kementerian Keuangan, Kamis malam (23/10/2025), terasa tenang. Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa berdiri tegak di depan mikrofon, mengenakan jas hitam dan dasi biru muda. Di hadapan para jurnalis, ia menyampaikan janji yang tak biasa bagi pejabat keuangan: tidak akan ada lagi gaya premanisme dalam mengejar target pajak.
(Sumber: tvOneNews, 23 Oktober 2025)
“Kalau ada potensi bocor sana-sini, itu yang akan dikejar. Tapi bukan berarti jadi kayak preman, gedor rumah orang jam lima pagi. Kami akan buat penagihan lebih profesional,” ujarnya dengan nada tenang namun penuh penekanan. Ucapan itu disambut tatapan kagum dari hadirin yang seolah menangkap arah baru kebijakan fiskal Indonesia.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Pernyataan itu tak sekadar basa-basi. Purbaya ingin mengubah paradigma lama dalam sistem perpajakan yang kerap menimbulkan rasa takut. Bagi dia, negara tidak boleh hadir sebagai penagih hutang yang beringas, melainkan pelayan publik yang beretika. “Kita ini pelayan negara, bukan pemalak,” katanya menegaskan.
(Sumber: Kompas, 24 Oktober 2025)
Reformasi yang dicanangkannya berporos pada profesionalisme dan transparansi. Kemenkeu tengah membangun sistem digital lintas sektor—menghubungkan data perbankan, pertanahan, hingga transaksi daring untuk menutup celah penghindaran pajak. Dengan basis data yang kuat, petugas pajak tak perlu lagi mengetuk pintu rumah wajib pajak dengan ancaman, cukup dengan validasi digital dan mekanisme hukum.
(Sumber: CNBC Indonesia, 24 Oktober 2025)
Namun, di balik pendekatan yang humanis itu, tersimpan ketegasan yang tajam. Purbaya menegaskan, kelunakan bukan berarti kelemahan. Ia menaruh perhatian serius pada para pengemplang pajak besar konglomerat lama, jaringan sembilan naga, dan pengusaha tambang hitam yang selama ini leluasa memainkan celah hukum. “Tegas bukan berarti kasar. Tapi kalau melanggar hukum, kita akan kejar sampai tuntas,” ujarnya.
(Sumber: Bisnis Indonesia, 24 Oktober 2025)
Langkah itu dianggap banyak pihak sebagai bentuk keberanian baru dalam memulihkan keadilan fiskal. Selama ini, masyarakat kecil sering merasa dikejar karena keterlambatan membayar pajak, sementara kelompok superkaya justru bebas mengakali sistem. Di bawah kepemimpinan Purbaya, arah itu hendak dibalik: yang besar tak lagi kebal, yang kecil tak lagi gentar.
(Sumber: Kontan, 25 Oktober 2025)
Sejumlah ekonom menilai kebijakan ini sebagai terobosan etis. Dengan tidak mengandalkan tekanan fisik, negara menunjukkan kedewasaan dalam penegakan fiskal. “Ketegasan selektif terhadap pengemplang besar justru memperkuat rasa keadilan dan meningkatkan kepercayaan publik,” ujar ekonom senior dari Universitas Indonesia, dalam sebuah diskusi yang menyoroti arah reformasi ini.
(Sumber: Katadata, 25 Oktober 2025)
Bagi Purbaya, inti persoalan pajak bukan sekadar angka, melainkan rasa kepercayaan. Ia percaya, ketika ekonomi membaik dan pemerintah dipercaya, rakyat akan membayar pajak dengan sukarela. “Kalau ekonomi membaik, kita gampang cari uang. Pasti kita dengan senang hati, riang gembira bayar pajak. Nggak perlu dikejar-kejar,” ujarnya ringan, namun sarat makna.
(Sumber: tvOneNews, 23 Oktober 2025)
Kata-kata itu mencerminkan filosofi fiskal yang beradab: bahwa kepatuhan lahir bukan dari ketakutan, melainkan dari rasa ikut memiliki negara. Pajak, dalam pandangan Purbaya, bukan sekadar pungutan, tapi jembatan antara rakyat dan negara antara keringat individu dan kemaslahatan bersama.
Untuk mewujudkannya, Kementerian Keuangan juga menata ulang etika pelayanan publik. Petugas pajak diwajibkan tampil ramah, menjelaskan dengan sabar, dan memberi ruang klarifikasi sebelum mengambil tindakan hukum. “Pajak adalah wajah negara. Kalau wajah itu ramah, rakyat akan percaya,” kata Purbaya dalam kesempatan terpisah.
(Sumber: Tempo, 25 Oktober 2025)
Namun, ketegasan tetap menjadi fondasi utama. Bagi mereka yang dengan sengaja mengemplang pajak miliaran rupiah, memindahkan aset ke luar negeri, atau bermain di wilayah abu-abu transaksi tambang, Kemenkeu menyiapkan jalur hukum yang tegas dan transparan. Tidak ada kompromi untuk pelanggaran besar, sebab di situlah letak keadilan sesungguhnya.
Langkah itu mendapat dukungan publik. Banyak kalangan menilai pendekatan soft power ini sejalan dengan semangat negara modern yang menegakkan hukum tanpa kekerasan. Seorang pelaku UMKM di Depok bahkan berkata, “Kalau pajak ditarik dengan cara yang sopan dan jelas manfaatnya, kami akan bayar dengan hati senang.”
Di mata pengamat kebijakan publik, arah reformasi ini merupakan reposisi negara dari penguasa menjadi pelayan. Pajak tidak lagi menjadi alat tekanan, tetapi alat partisipasi. Ia menjadi cermin baru dari cara negara memperlakukan warganya: dengan hormat, keadilan, dan akal sehat.
(Sumber: The Jakarta Post, 25 Oktober 2025)
Ketika konferensi pers usai, Purbaya menutup pembicaraan dengan kalimat sederhana namun kuat: “Kita semua ingin negara ini maju, tapi jangan sampai cara kita mundur.” Ucapannya disambut tepuk tangan ringan, tapi sarat makna. Di wajahnya, terpancar keyakinan bahwa reformasi pajak bukan sekadar mengubah sistem, melainkan mengubah cara pandang negara terhadap rakyatnya.
Jika langkah ini benar dijalankan, Indonesia boleh berharap pada babak baru peradaban fiskal: di mana ketegasan berdiri sejajar dengan keadilan, dan profesionalisme menggantikan rasa takut. Saat itu tiba, pajak bukan lagi alat penagihan, melainkan wujud kepercayaan untuk membangun negeri bersama.
Dwi Taufan Hidayat

















