Jakarta, Majalahjakarta.com – Dua kali menyatakan siap menunjukkan ijazahnya di pengadilan, Joko Widodo kembali absen dalam sidang mediasi gugatan Citizen Lawsuit (CLS) di Pengadilan Negeri Surakarta, Selasa (21/10/2025). Ketidakhadiran mantan presiden ini memunculkan pertanyaan baru tentang komitmen transparansi dan itikad baik dalam menghadapi gugatan publik yang semula ia jawab dengan kesiapan penuh di ruang hukum.
Mantan Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) absen dari sidang mediasi Citizen Lawsuit (CLS) di Pengadilan Negeri Surakarta (PN Solo), Selasa, 21 Oktober 2025. Padahal, sebelumnya ia pernah menyatakan kesediaannya untuk hadir dan menunjukkan ijazah aslinya di pengadilan demi meluruskan dugaan ijazah palsu yang sempat viral di ruang publik.
(Detik.com, 21/10/2025)
Sidang mediasi tersebut digelar sebagai bagian dari gugatan warga negara terhadap Jokowi terkait dugaan keabsahan ijazahnya saat mencalonkan diri sebagai presiden. Gugatan ini diajukan oleh dua warga, Top Taufan dan Bangun Sutoto, yang diwakili kuasa hukum Muhammad Taufiq. “Kami sudah menghadirkan dua prinsipal kami. Ternyata Pak Jokowi tidak hadir,” ujar Taufiq seusai sidang.
(TribunSolo, 21/10/2025)
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Mediator bahkan telah menawarkan opsi agar Jokowi hadir secara virtual melalui call conference. Namun tawaran itu disebut ditolak oleh pihak tergugat. Alhasil, proses mediasi berakhir tanpa kehadiran pihak utama yang digugat, membuat penyelesaian perkara ini tampak berjalan di tempat.
(Tempo.co, 22/10/2025)
Kuasa hukum Jokowi, YB Irpan, menjelaskan bahwa kliennya tidak hadir karena menilai gugatan CLS terhadap mantan presiden tidak tepat secara hukum. Menurutnya, keaslian ijazah Jokowi telah dikonfirmasi oleh lembaga pendidikan dan aparat penegak hukum sejak lama, sehingga gugatan warga tersebut tidak memiliki dasar kuat. “Kami menghormati proses, tetapi tidak melihat urgensi bagi Pak Jokowi untuk hadir secara pribadi,” katanya.
(Kompas.com, 22/10/2025)
CLS dan Hak Warga Menggugat
Citizen Lawsuit merupakan mekanisme hukum yang memberi hak kepada warga negara untuk menggugat negara atau pejabat publik bila dianggap melanggar hak konstitusional warga. Dalam konteks ini, penggugat menilai ketidakterbukaan soal ijazah presiden merupakan pelanggaran terhadap prinsip keterbukaan informasi publik.
(CNN Indonesia, 22/10/2025)
Meski belum tentu berujung pada pembatalan dokumen, CLS menjadi simbol penting dari partisipasi publik terhadap akuntabilitas pejabat negara. Namun, tanpa kehadiran pihak tergugat, mediasi kehilangan makna substantifnya. Ia berubah dari ruang dialog menjadi sekadar prosedur administratif.
Kehadiran yang Tak Pernah Nyata
Dalam sistem hukum yang menjunjung asas equality before the law, kehadiran seorang mantan kepala negara seharusnya menjadi teladan moral. Absennya Jokowi justru memperlihatkan paradoks antara citra publik dan tindakan hukum.
(Tempo.co, 22/10/2025)
Kehadiran fisik di ruang sidang memang bukan segalanya, tetapi ia punya bobot simbolik besar: menandakan kesediaan untuk diuji dan diperiksa secara terbuka. Apalagi ketika isu yang digugat menyentuh aspek personal yang selama ini menjadi sumber polemik di ruang publik.
Janji, Citra, dan Kepercayaan Publik
Jokowi dua kali menyatakan kesiapannya menunjukkan ijazah di pengadilan, bahkan menantang pihak-pihak yang meragukan keasliannya untuk “membuktikan langsung di depan hukum.” Namun janji itu belum pernah terealisasi. Publik tentu tidak bisa memaksa, tetapi mereka berhak bertanya: di mana ruang kejujuran seorang pemimpin diuji, jika bukan di hadapan hukum dan rakyatnya sendiri?
(Detik.com, 21/10/2025)
Citra presiden yang dulu dibangun dengan narasi kesederhanaan dan transparansi kini dihadapkan pada tantangan serius. Bukan semata soal ijazah, melainkan soal konsistensi antara ucapan dan tindakan. Dalam politik, kredibilitas tidak hanya dibangun dari apa yang dikatakan, tapi juga dari keberanian menepati kata-kata sendiri.
Antara Simbol dan Substansi
Kasus ini menjadi potret kecil bagaimana pejabat publik memandang hukum: sebagai panggung, bukan forum. Ketika kehadiran menjadi pilihan politis, bukan kewajiban moral, maka proses hukum kehilangan daya pikatnya di mata rakyat. Di titik itu, mediasi berubah menjadi ritual tanpa makna formalitas tanpa jiwa.
Absensi Jokowi mungkin bukan pelanggaran hukum, tetapi ia meninggalkan ruang hampa dalam logika publik: jika kebenaran mudah dibuktikan, mengapa harus absen? Jika tuduhan keliru, mengapa tidak hadir untuk menegaskan?
Antara Ketidakhadiran dan Keteladanan
Bagi publik, sidang ini mungkin hanya satu episode kecil dari drama panjang demokrasi. Namun dari ruang PN Solo itu, masyarakat belajar satu hal sederhana: bahwa kehadiran bukan sekadar fisik, melainkan cermin keberanian moral.
Dalam politik, sebagaimana dalam hidup, kadang yang absen bukan tubuhnya melainkan komitmennya pada kebenaran.
(Kompas.id, 23/10/2025)
Dwi TH

















