Masyarakat Pela Gandong di Maluku Dan Hukum Agraria di Indonesia

- Penulis

Jumat, 24 Oktober 2025 - 10:06

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Spread the love

Jakarta, Majalahjakarta.com – Dalam sejarah panjang kebudayaan Maluku, konsep Pela Gandong bukan sekadar simbol persaudaraan antar negeri. Ia adalah napas sosial yang membangun tatanan kehidupan masyarakat dari generasi ke generasi. Namun, di tengah upaya negara menata hukum agraria nasional, nilai-nilai Pela Gandong kini berhadapan dengan realitas hukum positif yang kerap abai pada konteks lokal dan sejarah adat.

Sebagaimana diketahui, sistem hukum agraria nasional-yang berakar pada Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) Tahun 1960-secara normatif mengakui eksistensi hukum adat sepanjang masih hidup dan tidak bertentangan dengan kepentingan nasional. Tetapi, dalam praktiknya, pengakuan tersebut sering bersifat administratif dan formalistik, belum menyentuh esensi kultural yang menghidupi masyarakat adat di lapangan.

Konflik pun muncul ketika tanah ulayat-yang secara adat dimaknai sebagai “tanah hidup” milik bersama negeri-negeri Pela Gandong-dianggap sebagai objek sertifikasi individual oleh hukum negara. Di sinilah persinggungan tajam antara nilai komunal dan sistem privat dalam hukum agraria nasional tampak jelas.

ADVERTISEMENT

ads

SCROLL TO RESUME CONTENT

Dalam konteks Pela Gandong, tanah bukan sekadar aset ekonomi, melainkan simbol hubungan spiritual antara manusia, leluhur, dan alam. Ikatan Pela Gandong mengatur bagaimana negeri-negeri adat saling menjaga dan menggunakan tanah secara kolektif untuk kepentingan bersama. Kendati Pela Gandong tidak secara eksplisit mengatur hukum tanah, nilai solidaritas, keseimbangan, dan keadilan sosial yang terkandung di dalamnya menjadi dasar bagi penyelesaian sengketa dan tata kelola ruang adat.

Namun, tantangan terbesar hukum agraria kita adalah ketidakmampuannya mengakomodasi “nilai hidup” semacam ini. Negara masih terjebak dalam pendekatan positivistik-yang memisahkan manusia dari tanahnya-alih-alih pendekatan kultural yang memahami tanah sebagai bagian dari identitas sosial dan spiritual masyarakat adat.

Sudah saatnya negara meninjau ulang paradigma hukum agraria dengan menempatkan kearifan lokal seperti Pela Gandong bukan sebagai ornamen budaya, tetapi sebagai pilar konseptual kebijakan pertanahan. Sebab, hanya dengan cara itu, hukum agraria nasional dapat menjadi “hukum yang hidup” sebagaimana dicita-citakan oleh Pasal 5 UUPA.

Hak Ulayat, Pela Gandong, dan Krisis Pengakuan dalam Hukum Agraria Nasional
Sejak diundangkannya Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) Tahun 1960, negara berjanji menjadikan tanah sebagai sumber kemakmuran rakyat, bukan alat penguasaan segelintir pihak. Salah satu bentuk janji itu adalah pengakuan terhadap hak ulayat masyarakat hukum adat, sepanjang hak tersebut masih hidup dan tidak bertentangan dengan kepentingan nasional. Namun, lebih dari enam dekade kemudian, janji itu masih menjadi wacana normatif yang belum sepenuhnya berwujud keadilan substantif.

Pengakuan yang Bersyarat
Dalam Pasal 3 UUPA dan Pasal 18B ayat (2) UUD 1945, negara mengakui hak-hak tradisional masyarakat hukum adat. Secara konstitusional, pengakuan ini terlihat kuat. Namun, praktiknya sering kali bersifat bersyarat dan birokratis: hak ulayat baru diakui jika diinventarisasi, ditetapkan, dan “tidak mengganggu kepentingan pembangunan nasional.” Akibatnya, pengakuan berubah menjadi penundaan, dan hak ulayat kehilangan makna substantif di hadapan logika investasi dan perizinan tanah negara.

Padahal, di Maluku, sistem Pela Gandong yang berakar dari nilai persaudaraan antar negeri adat telah lama menata hubungan manusia dengan tanah dan ruang hidupnya. Pela Gandong mengajarkan bahwa tanah bukan sekadar objek kepemilikan, tetapi ruang kebersamaan dan identitas sosial. Setiap negeri Pela dan Gandong saling menghormati batas tanah dan hak pengelolaannya, bukan atas dasar sertifikat, melainkan atas dasar kepercayaan, sejarah, dan moral adat.

Peran Lembaga Adat dalam Bayang-Bayang Negara
Dalam struktur sosial masyarakat Maluku, lembaga adat Pela Gandong berfungsi sebagai penjaga moral dan mediator sosial. Ia memastikan bahwa penggunaan tanah adat tetap sesuai nilai-nilai keseimbangan dan keberlanjutan. Dalam kasus sengketa tanah antarnegeri, lembaga adat menjadi forum penyelesaian pertama dan utama, sering kali lebih efektif daripada proses hukum formal yang panjang dan berbiaya tinggi.

Namun, dalam kerangka hukum nasional, otoritas lembaga adat sering direduksi menjadi “komplementer” atau pelengkap administratif, bukan entitas hukum yang memiliki kewenangan otonom. Inilah ironi besar dalam sistem agraria kita: lembaga adat yang selama ratusan tahun menjaga harmoni justru kehilangan legitimasi di era modernisasi hukum.

Tumpang Tindih dan Krisis Legitimasi
Pengakuan hukum yang setengah hati melahirkan tumpang tindih kewenangan dan kepemilikan tanah. Di banyak wilayah Maluku, tanah adat yang secara historis diakui oleh lembaga Pela Gandong kini berstatus sebagai tanah negara atau telah diberikan hak guna usaha (HGU) kepada korporasi. Konflik pun tak terhindarkan-bukan karena hukum adat menolak negara, tetapi karena negara gagal memahami logika sosial adat.

Krisis legitimasi ini menuntut reformasi paradigma hukum agraria, agar hukum tidak berhenti pada pengakuan simbolik, melainkan bergerak menuju rekognisi substantif. Pengakuan yang sejati harus berarti pemberdayaan lembaga adat, bukan sekadar pelabelan administratif. Negara perlu belajar dari Pela Gandong, bahwa hukum yang hidup bukan yang tertulis di lembaran negara, melainkan yang dijalankan dalam hati masyarakat.

Konflik Tanah dan Krisis Pengakuan: Menyatukan Pela Gandong dan Hukum Agraria Nasional
Di tengah upaya negara menata keadilan agraria, persoalan klasik tentang tanah ulayat masyarakat adat terus mengemuka. Konflik demi konflik muncul, bukan semata karena perebutan sumber daya, tetapi karena benturan paradigma antara hukum negara dan hukum adat. Salah satu contoh yang paling relevan dapat ditemukan dalam konteks Pela Gandong di Maluku, di mana nilai-nilai persaudaraan adat berhadapan dengan logika hukum agraria yang kaku dan administratif.

Akar Konflik: Ketika Izin Menafikan Adat
Salah satu penyebab utama konflik agraria adalah pengabaian terhadap izin dan klaim adat. Tidak jarang, perusahaan tambang atau perkebunan memperoleh izin eksploitasi dari pemerintah tanpa melalui konsultasi dan persetujuan masyarakat adat setempat. Dalam logika hukum negara, izin dianggap sah karena dikeluarkan oleh otoritas formal. Namun, dalam perspektif Pela Gandong, hal itu merupakan pelanggaran moral terhadap hak ulayat dan relasi sosial yang telah diwariskan secara turun-temurun.

Ironisnya, konflik yang seharusnya bisa dicegah melalui musyawarah adat justru berujung pada kriminalisasi masyarakat adat yang mempertahankan tanahnya. Inilah bentuk ketidakadilan struktural dalam sistem hukum agraria kita-negara lebih cepat melindungi izin korporasi daripada nilai-nilai kearifan lokal yang menjadi dasar kehidupan masyarakat.

Baca Juga:  Asas-Asas Hukum Pidana dalam KUHP Baru

Perbedaan Paradigma: Kolektif Adat vs Individual Negara
Hukum agraria nasional dibangun atas dasar kepemilikan individual dan sertifikasi tanah, sedangkan hukum adat Pela Gandong berakar pada kepemilikan komunal dan tanggung jawab sosial. Dalam sistem Pela Gandong, tanah bukan milik pribadi, tetapi milik bersama negeri yang dijaga untuk kepentingan generasi kini dan mendatang.

Ketika logika negara yang menuntut bukti tertulis (sertifikat) berhadapan dengan logika adat yang berbasis ingatan kolektif dan kesepakatan moral, maka yang terjadi adalah asimilasi paksa nilai adat ke dalam sistem hukum formal. Akibatnya, masyarakat adat kehilangan ruang untuk mempertahankan identitas hukumnya sendiri.

Inkonsistensi Negara dan Kelemahan Regulasi
Masalah lain yang memperparah konflik adalah inkonsistensi negara dalam mengakui hak ulayat. Di satu sisi, pemerintah mengklaim mendukung perlindungan masyarakat adat. Namun di sisi lain, banyak kebijakan sektoral-terutama di bidang pertambangan, kehutanan, dan perkebunan-yang justru menegasikan hak tersebut.

Lebih jauh, kelemahan regulasi turunan UUPA di tingkat daerah membuat pengakuan hak ulayat menjadi proses yang rumit dan berbelit. Masyarakat adat sering kali tidak memiliki dokumen hukum yang diakui secara formal, sementara pemerintah daerah belum memiliki instrumen hukum yang kuat untuk menegaskan keberadaan wilayah adat. Akibatnya, hak ulayat berhenti di atas kertas, sementara tanah adat terus menyusut di lapangan.

Membangun Harmoni: Jalan Tengah Hukum Adat dan Negara
Upaya menuju keadilan agraria yang sejati menuntut adanya harmonisasi antara hukum adat Pela Gandong dan hukum agraria nasional. Harmonisasi ini bukan sekadar soal sinkronisasi aturan, tetapi menyangkut rekonstruksi paradigma hukum itu sendiri.

Negara perlu menempatkan lembaga adat bukan sebagai pelengkap, melainkan sebagai subjek hukum sejajar dalam proses pengambilan keputusan atas tanah dan sumber daya alam. Salah satu langkah konkret adalah melalui penyusunan peraturan daerah (Perda) atau peraturan pemerintah yang memberikan ruang rekognisi substantif terhadap hak ulayat.

Dengan demikian, hukum adat tidak lagi diperlakukan sebagai warisan masa lalu, melainkan sebagai pilar moral dan sosial yang dapat memperkuat keadilan agraria nasional.

Dari Tanah ke Martabat: Jalan Panjang Pengakuan Hak Adat dalam Hukum Agraria Nasional
Dalam lanskap hukum agraria Indonesia, pengakuan terhadap masyarakat adat bukan hanya persoalan kepemilikan tanah, melainkan juga pengakuan atas eksistensi dan martabat sosial mereka. Di Maluku, di mana sistem Pela Gandong telah lama menata hubungan manusia dengan tanah, laut, dan sesama, isu pengakuan hak adat menemukan maknanya yang paling nyata: tanah bukan benda mati, tetapi roh kebersamaan.

Sayangnya, semangat ini belum sepenuhnya tercermin dalam praktik kebijakan negara. Di banyak wilayah adat, hak masyarakat masih dipandang subordinat terhadap kepentingan ekonomi dan investasi. Padahal, keadilan agraria tidak dapat dicapai tanpa melibatkan masyarakat sebagai subjek utama dalam setiap proses pengambilan keputusan.

Partisipasi Masyarakat: Dari Objek Menjadi Subjek Kebijakan
Salah satu kelemahan mendasar dalam sistem hukum agraria kita adalah minimnya partisipasi masyarakat adat dalam proses perumusan maupun pelaksanaan kebijakan pertanahan. Kebijakan sering disusun dari atas ke bawah (top-down), dengan sedikit ruang bagi masyarakat untuk bersuara. Akibatnya, banyak kebijakan yang tidak sensitif terhadap realitas sosial dan historis masyarakat adat.

Dalam konteks Pela Gandong, partisipasi bukan hanya formalitas konsultasi, melainkan ritual moral dan sosial yang mengikat seluruh warga dalam keputusan bersama. Masyarakat adat seharusnya tidak sekadar diundang mendengar, tetapi dilibatkan sejak tahap perencanaan hingga evaluasi, sebagaimana semangat Pasal 18B UUD 1945 yang mengakui hak-hak tradisional mereka.

Penguatan Kelembagaan: Pilar Sosial yang Terpinggirkan
Lembaga adat dalam sistem Pela Gandong selama ini berfungsi sebagai penjaga keseimbangan sosial dan ekologis, sekaligus mediator penyelesaian konflik. Namun, dalam kerangka hukum formal, lembaga-lembaga ini kerap dipandang sebagai entitas sosial tanpa kekuatan hukum yang memadai.

Untuk mewujudkan keadilan agraria yang sejati, penguatan kelembagaan adat menjadi keharusan. Negara harus berhenti memperlakukan lembaga adat sebagai simbol budaya semata, dan mulai mengakuinya sebagai aktor hukum lokal yang sah.

Kebijakan berbasis masyarakat (community-based policy) dapat menjadi model baru pengelolaan sumber daya alam. Dengan memperkuat kelembagaan adat, negara tidak hanya menjaga harmoni sosial, tetapi juga memastikan pengelolaan tanah dan alam yang berkelanjutan dan berkeadilan.

Legalisasi Tanah Adat: Dari Pengakuan ke Perlindungan
Langkah strategis berikutnya adalah mempercepat legalisasi tanah adat. Banyak wilayah adat di Indonesia, termasuk di Maluku, telah memiliki sistem penguasaan tanah yang jelas secara sosial, namun tidak diakui secara administratif. Akibatnya, tanah-tanah tersebut rawan diklaim oleh pihak luar melalui izin usaha atau proyek pembangunan.

Pemerintah daerah perlu menyusun Peraturan Daerah (Perda) yang secara spesifik mengatur pengakuan dan perlindungan tanah adat. Legalisasi ini bukan berarti memformalkan adat menjadi birokrasi, tetapi memberikan payung hukum agar masyarakat adat tidak terus-menerus berada di pinggiran sistem hukum.

Dengan legalisasi yang jelas, hak ulayat akan memiliki posisi hukum yang kuat, lembaga adat memperoleh legitimasi, dan konflik agraria dapat diminimalkan.

Menuju Hukum Agraria yang Berkeadilan dan Kontekstual
Hukum agraria nasional tidak akan pernah adil jika terus berangkat dari paradigma homogen yang mengabaikan keragaman sosial dan sejarah lokal. Indonesia tidak dibangun dari satu hukum yang seragam, melainkan dari mosaik hukum adat yang hidup dan berakar di setiap daerah.

Dalam konteks itu, Pela Gandong adalah cermin dari hukum yang hidup (living law)-hukum yang lahir dari pengalaman, solidaritas, dan keseimbangan alam. Jika hukum negara ingin benar-benar berpihak kepada rakyat, maka ia harus belajar dari kearifan adat: bahwa tanah bukan milik siapa yang berkuasa, melainkan milik mereka yang menjaganya dengan hati dan tanggung jawab.

Oleh: Perkumpulan Peduli Nusantara Tunggal
(Refleksi kebijakan dan sejarah hukum adat di Maluku)
Arthur Noija SH

Berita Terkait

Air Bersih, Upeti, dan Kekacauan Regulasi: Menguliti Polemik PAM JAYA-PPK Kemayoran
Duit Sitaan Koruptor, Ujian Janji Keadilan
Darurat Kedaulatan Ekonomi Indonesia
Mengurai Mitos Kebal Hukum: Ketika Pusat Pengelolaan Komplek Kemayoran (PPK Kemayoran) Dikatakan “Tak Tersentuh”
Rampas Uang, Tutup Mata Korupsi Negara
Pertumbuhan 5 Persen, Tapi Siapa yang Untung?
Pahlawan atau Pengampunan Politik yang Tertunda
Marak Debitur Dijerat Pasal Penggelapan Objek Fidusia, Pakar Hukum: “Jangan Campur Urusan Perdata dengan Pidana”
Berita ini 33 kali dibaca
4.5 2 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

0 Comments
Inline Feedbacks
View all comments

Berita Terkait

Kamis, 6 November 2025 - 04:03

Air Bersih, Upeti, dan Kekacauan Regulasi: Menguliti Polemik PAM JAYA-PPK Kemayoran

Kamis, 6 November 2025 - 03:30

Duit Sitaan Koruptor, Ujian Janji Keadilan

Rabu, 5 November 2025 - 19:27

Darurat Kedaulatan Ekonomi Indonesia

Rabu, 5 November 2025 - 19:03

Mengurai Mitos Kebal Hukum: Ketika Pusat Pengelolaan Komplek Kemayoran (PPK Kemayoran) Dikatakan “Tak Tersentuh”

Rabu, 5 November 2025 - 17:56

Rampas Uang, Tutup Mata Korupsi Negara

Rabu, 5 November 2025 - 17:24

Pahlawan atau Pengampunan Politik yang Tertunda

Selasa, 4 November 2025 - 16:56

Pengamat Hukum Didi Sungkono: Pemimpin yang Ditolak Rakyat Sebaiknya Mundur Secara Ksatria

Selasa, 4 November 2025 - 16:29

UIN Jakarta Kucurkan Rp2,85 Miliar Beasiswa untuk Dosen dan Tendik: Dorong Kualitas SDM dan Layanan Kampus

Berita Terbaru

Hukum

Duit Sitaan Koruptor, Ujian Janji Keadilan

Kamis, 6 Nov 2025 - 03:30

Berita

Darurat Kedaulatan Ekonomi Indonesia

Rabu, 5 Nov 2025 - 19:27

Berita

Rampas Uang, Tutup Mata Korupsi Negara

Rabu, 5 Nov 2025 - 17:56

0
Would love your thoughts, please comment.x
()
x