Jakarta, Majalahjakarta.com – Sekretaris Jenderal Lembaga Anti Korupsi Republik Indonesia (LAKRI), Ical Syamsudin, mendesak Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk berani menindaklanjuti dugaan korupsi dalam proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung (KCJB) atau Whoosh, termasuk memeriksa sejumlah eks pejabat yang terlibat dalam proses perencanaan dan pelaksanaannya.
Menurut Ical, KPK tidak boleh terjebak dalam sikap “ewuh pakewuh” terhadap pihak mana pun, termasuk mantan Presiden Joko Widodo, yang disebut-sebut memiliki peran besar dalam proyek strategis tersebut.
“Kalau Komisioner KPK tidak berani dan ewuh pakewuh terhadap eks Presiden Jokowi yang diduga terlibat dalam korupsi besar proyek KA Cepat Whoosh – karena Jokowi yang memilih para komisioner itu – maka KPK bisa mulai dari eks pejabat lain, baik mantan menteri maupun pejabat yang terlibat dalam kontrak kerja sama dengan pihak Tiongkok,” ujar Ical Syamsudin kepada wartawan, Jumat (24/10).
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
LAKRI menilai bahwa keberanian KPK untuk membuka penyelidikan terhadap proyek raksasa senilai lebih dari Rp114 triliun tersebut merupakan ujian moral dan kelembagaan bagi lembaga antirasuah di bawah kepemimpinan baru.
Ical menegaskan, langkah hukum yang berani akan menjadi bukti bahwa KPK masih independen, bukan alat kekuasaan politik.
Ia juga menilai pandangan mantan Menko Polhukam Mahfud MD, yang membuka peluang pemeriksaan terhadap Jokowi, merupakan langkah konstitusional dan konstruktif.
“Pernyataan Mahfud MD itu solusi yang tepat. Sebab, pemeriksaan terhadap mantan presiden bukan tabu selama ada bukti kuat. Itu justru menunjukkan bahwa hukum berdiri di atas semua pihak,” katanya.
Sebelumnya, Mahfud MD melalui kanal YouTube Kata Mahfud MD menegaskan bahwa tidak ada aturan yang melarang KPK memanggil mantan kepala negara bila terdapat indikasi pelanggaran hukum.
Menurutnya, proyek Whoosh berpotensi memiliki unsur mark-up dari sisi kontrak, pembiayaan, dan perubahan struktur pendanaan yang membebani keuangan negara.
Dalam konteks kebijakan publik, para analis menilai proyek KCJB menjadi cermin dari lemahnya akuntabilitas dan transparansi tata kelola megaproyek nasional. Sejumlah pengamat hukum publik menilai, tanpa keberanian politik dan penegakan hukum yang konsisten, proyek-proyek strategis semacam ini rentan menjadi ladang korupsi terstruktur.
Di sisi lain, publik kini menunggu konsistensi janji Presiden Prabowo Subianto, yang sebelumnya berulang kali berkomitmen akan menindak tegas para koruptor tanpa pandang bulu.
“Jika Prabowo benar-benar ingin menegakkan janji politiknya di hadapan rakyat, maka kasus Whoosh ini harus dibuka seterang-terangnya. Tapi jika dibiarkan, publik akan menilai Prabowo sekadar melanjutkan tradisi impunitas kekuasaan,” ujar Ical.
Bagi LAKRI, skandal Whoosh bukan sekadar kasus hukum, tetapi juga ujian integritas negara hukum dan arah reformasi kelembagaan antikorupsi.
Di tengah menurunnya kepercayaan publik terhadap KPK, penanganan kasus ini akan menjadi pembeda: apakah KPK masih milik rakyat atau sudah menjadi pelindung elite. (Red)

















