Dewan Kota di Persimpangan Hukum: Dari Wadah Partisipasi Menjadi Seremonial Birokrasi

- Penulis

Jumat, 24 Oktober 2025 - 13:17

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Spread the love

Jakarta, Majalahjakarta.com – Dewan Pimpinan Pusat Perkumpulan Peduli Nusantara Tunggal (PPNT) yang fokus pada advokasi kebijakan publik, menyoroti persoalan mendasar dalam tata kelola pemerintahan daerah, khususnya terkait peran dan fungsi Dewan Kota (Dekot) di wilayah strategis seperti Jakarta Pusat.

Sebagai lembaga yang secara normatif diatur melalui Peraturan Daerah Provinsi DKI Jakarta Nomor 5 Tahun 2010 tentang Dewan Kota dan Dewan Kabupaten, serta diperkuat oleh Pergub DKI Jakarta Nomor 171 Tahun 2016, Dewan Kota sejatinya berperan sebagai wadah partisipasi masyarakat dalam perumusan dan pelaksanaan kebijakan pembangunan daerah. Namun, dalam praktiknya, lembaga ini kerap kehilangan orientasi fungsional dan terjebak dalam peran seremonial yang nyaris tanpa daya tawar di mata hukum publik.

Dewan Kota: Dari Amanat Partisipasi Menjadi Formalitas Administratif
Menurut PPNT, fungsi utama Dewan Kota adalah membantu wali kota dalam menjaring aspirasi, memberikan pertimbangan kebijakan, dan memperkuat kontrol publik terhadap jalannya pemerintahan daerah. Namun, fakta lapangan menunjukkan bahwa mekanisme tersebut belum dijalankan secara optimal.

ADVERTISEMENT

ads

SCROLL TO RESUME CONTENT

Dewan Kota di Jakarta Pusat misalnya-yang berada di jantung ekonomi dan politik ibu kota-seharusnya berperan aktif dalam mengawasi implementasi kebijakan strategis seperti penataan ruang usaha mikro, pengendalian kawasan bisnis, hingga perlindungan masyarakat terdampak pembangunan. Sayangnya, lembaga ini lebih sering hadir setelah kebijakan ditetapkan, bukan pada fase perumusan kebijakan publik sebagaimana semangat partisipatory governance yang diamanatkan undang-undang.

Dalam bahasa sederhana, Dekot hari ini lebih sering menjadi “penerima informasi” daripada “pemberi pertimbangan”. Padahal, menurut Pasal 6 ayat (2) Pergub No. 171/2016, Dewan Kota berhak memberikan saran dan masukan terhadap kebijakan pemerintah kota dalam bidang pembangunan, pelayanan publik, dan pemberdayaan masyarakat.

Persoalan Legitimasi dan Kapasitas: Saat Dewan Kota Tak Lagi Menjadi Cermin Warga
Dari sisi hukum publik, legitimasi Dewan Kota bergantung pada transparansi, representasi, dan kapasitas anggotanya. Namun, sejumlah data advokasi PPNT menunjukkan adanya ketimpangan dalam rekrutmen dan fungsi anggota Dewan Kota. Banyak anggota yang justru berasal dari latar belakang non-partisipatif atau memiliki kedekatan politik tertentu, bukan dari basis komunitas yang benar-benar memahami isu-isu warga.

Hal ini menimbulkan paradoks: lembaga yang dirancang untuk memperkuat suara masyarakat justru menjadi instrumen simbolik yang tidak memiliki kekuatan normatif dalam memengaruhi kebijakan publik.

Ketika Dewan Kota kehilangan independensi dan kapasitas analitik, maka fungsi pengawasan sosial dan advokasi kebijakan yang seharusnya menjadi jiwa lembaga itu berubah menjadi ritual administratif tanpa nilai substantif

Dewan Kota: Wajah Representasi Warga yang Terlupakan
Secara normatif, fungsi dan tugas Dewan Kota (Dekot) diatur untuk memperkuat partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah. Dalam kerangka hukum publik, Dekot seharusnya menjadi institusi penghubung antara warga dan pemerintah kota, bukan sekadar pelengkap struktur birokrasi yang hadir di ruang seremonial tanpa daya pengaruh. Namun, realitasnya sering kali menunjukkan hal sebaliknya-fungsi vital Dekot kerap tereduksi menjadi sekadar formalitas administratif yang kehilangan ruh partisipatifnya.

1. Menyerap Aspirasi Masyarakat: Dari “Jembatan” Menjadi “Pengamat”
Salah satu fungsi utama Dewan Kota adalah menyerap dan menyalurkan aspirasi masyarakat. Idealnya, lembaga ini berperan aktif dalam memperjuangkan kepentingan warga terkait isu-isu publik seperti banjir, kemacetan, ketimpangan pelayanan publik, hingga tata kelola ruang kota.

Namun, di lapangan, fungsi aspiratif ini justru melemah. Banyak Dewan Kota lebih berperan sebagai penerima informasi ketimbang pengolah aspirasi. Mereka mendengarkan, mencatat, namun jarang menindaklanjuti dalam bentuk rekomendasi kebijakan yang memiliki bobot hukum. Akibatnya, suara warga berhenti di meja rapat, bukan di meja kebijakan.

Dalam perspektif hukum administrasi publik, lemahnya kanal aspirasi ini memperlihatkan defisit partisipasi (participatory deficit) yang bertentangan dengan prinsip good governance sebagaimana diatur dalam UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.

2. Mengawasi Pembangunan: Ketika Fungsi Kontrol Dipreteli
Secara normatif, Dewan Kota memiliki mandat melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan program dan kegiatan pemerintah kota, termasuk di wilayah strategis seperti Jakarta Pusat-yang menjadi barometer pembangunan ibu kota.

Namun, pertanyaannya: sejauh mana fungsi pengawasan itu dijalankan secara efektif dan independen?
Berdasarkan hasil advokasi Perkumpulan Peduli Nusantara Tunggal (PPNT), sebagian besar Dewan Kota tidak memiliki instrumen kontrol yang kuat, baik secara hukum maupun administratif. Rekomendasi mereka sering tidak mengikat dan bahkan diabaikan oleh pemerintah kota dengan alasan “tidak memiliki kekuatan eksekutif.”

Padahal, dalam prinsip check and balance lokal, pengawasan publik harus menjadi roh demokrasi daerah. Ketika Dewan Kota kehilangan fungsi kontrolnya, maka ruang publik kehilangan salah satu mekanisme etis untuk mencegah penyimpangan kebijakan.

3. Memberikan Pertimbangan: Dari Suara Moral ke Formalitas Musyawarah
Fungsi memberikan pertimbangan kepada wali kota merupakan aspek krusial dalam desain kelembagaan Dekot. Ia menjadi ruang deliberatif untuk memastikan kebijakan publik tidak hanya efektif secara administratif, tetapi juga adil secara sosial.

Namun, sering kali pertimbangan Dewan Kota tidak lebih dari nota kesepahaman simbolik tanpa analisis kebijakan yang berbasis data. Tidak ada mekanisme evaluatif yang sistematis, tidak ada audit sosial yang terukur, dan tidak ada forum publik yang terinstitusionalisasi untuk menindaklanjuti rekomendasi mereka.

Dalam konteks ini, Dekot terperangkap dalam politik prosedural: hadir dalam musyawarah, absen dalam substansi. Ini menandakan lemahnya kapasitas kelembagaan dan ketiadaan mandat hukum yang menjamin keterlibatan mereka dalam siklus kebijakan daerah.

4. Mendukung Program Pemerintah: Antara Kolaborasi dan Ketundukan
Fungsi terakhir Dewan Kota adalah mendukung program-program pemerintah kota yang bertujuan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Dukungan ini penting, tetapi berisiko jika dipahami secara sempit-yakni sekadar menyetujui tanpa menilai.

Sebagai civic body, Dekot seharusnya menjadi mitra kritis, bukan corong birokrasi. Dukungan tanpa kritik justru menegasikan esensi partisipasi publik. Dalam banyak kasus, terutama di Jakarta Pusat, Dekot sering diposisikan sebagai alat legitimasi kebijakan, bukan sebagai penyeimbangnya.

Jika pola ini terus berlanjut, maka fungsi Dewan Kota tidak lagi berperan sebagai pengawal kepentingan publik, melainkan hanya sebagai penonton kebijakan yang sudah jadi.

Ketika Dewan Kota Lupa Fungsi: Krisis Legitimasi di Tengah Kota
Dalam struktur pemerintahan daerah, Dewan Kota (Dekot) seharusnya menjadi simpul antara rakyat dan negara-penghubung yang menjamin aspirasi warga tetap hidup dalam kebijakan publik. Namun, apa jadinya jika lembaga yang seharusnya menjadi “penyambung lidah warga” justru kehilangan arah dan tak memahami tugasnya?
Di wilayah strategis seperti Jakarta Pusat, di mana setiap kebijakan berdampak langsung pada denyut ekonomi nasional, ketidaktahuan fungsi Dekot bukan sekadar persoalan teknis-melainkan krisis legitimasi hukum publik.

1. Legitimasi yang Runtuh: Ketika Representasi Hanya Jadi Seremonial
Dalam sistem demokrasi lokal, legitimasi Dewan Kota lahir dari kemampuannya menyerap aspirasi dan menyalurkan kepentingan warga. Namun ketika keputusan publik diambil tanpa pemahaman mendalam dari anggota Dekot, legitimasi moral dan politik mereka pun runtuh.
Alih-alih menjadi lembaga representatif, Dekot berubah menjadi ornamen birokrasi-hadir di rapat, tetapi absen dalam substansi.

Menurut kajian Pusat Kajian Tata Kelola Daerah (2024), lebih dari 60% anggota Dewan Kota di Jakarta mengaku belum memahami sepenuhnya mekanisme advokasi kebijakan publik di tingkat kota administrasi. Fakta ini menjelaskan mengapa banyak keputusan daerah diambil tanpa partisipasi bermakna dari Dekot.
Ketika keterlibatan hanya formal, keputusan publik kehilangan legitimasi sosialnya, dan kepercayaan masyarakat ikut terkikis.

2. Cacat Administrasi: Ketika Hukum Ditinggalkan oleh Pejabatnya
Ketidaktahuan tugas bukan hanya mencederai etika publik, tetapi juga menimbulkan cacat hukum administratif.
Dalam perspektif hukum administrasi negara, setiap proses kebijakan harus melalui prosedur partisipatif dan transparan sebagaimana diatur dalam UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Ketika Dewan Kota tidak dilibatkan secara substansial atau tidak memahami fungsinya, maka keputusan publik bisa dianggap cacat prosedural dan berpotensi dianulir secara hukum.

Ironisnya, banyak pejabat daerah justru menganggap Dewan Kota sebagai pelengkap seremonial tanpa otoritas berarti. Padahal, secara normatif, Dekot memiliki posisi strategis untuk mengoreksi arah kebijakan publik agar tidak menyimpang dari prinsip kepentingan umum.

Tanpa fungsi kontrol yang jelas, hukum publik kehilangan salah satu penjaga moralnya, dan keputusan pemerintah berisiko menjadi otoritarian di tingkat lokal.

Baca Juga:  Reformasi Polri: Jalan Panjang Mengembalikan Marwah Hukum

3. Ketidakpercayaan Publik: Ketika Warga Tidak Lagi Percaya “Wakilnya”
Kepercayaan publik adalah modal sosial yang paling mahal dalam demokrasi lokal. Namun, ketika Dewan Kota gagal menjalankan tugasnya, kepercayaan publik berubah menjadi skeptisisme.
Warga tidak lagi melihat Dekot sebagai pelindung kepentingan mereka, melainkan sekadar simbol tanpa fungsi.

Hasil survei Lembaga Survei Kebijakan Daerah (LSKD, 2025) menunjukkan bahwa 72% warga Jakarta tidak mengetahui apa peran Dewan Kota, dan dari yang tahu pun, sebagian besar menilai lembaga itu tidak berdaya.
Krisis kepercayaan ini memperlemah sinergi antara pemerintah dan masyarakat.
Ketika rakyat tidak lagi percaya, kebijakan publik kehilangan legitimasi sosial dan menjadi sekadar perintah administratif dari atas ke bawah (top-down governance).

4. Aspirasi yang Tak Tersampaikan: Ketika Jembatan Rakyat Runtuh
Salah satu fungsi utama Dewan Kota adalah menjadi kanal aspirasi masyarakat. Tapi tanpa komunikasi efektif dan pemahaman mendalam terhadap dinamika sosial, aspirasi warga hanya berakhir sebagai catatan rapat-bukan agenda kebijakan.

Di Jakarta Pusat, misalnya, berbagai persoalan krusial seperti banjir, kemacetan, dan penggusuran sering kali tidak memiliki jalur advokasi yang jelas di tingkat Dekot. Akibatnya, isu warga tidak pernah sampai ke meja pengambil keputusan.

Dalam kerangka hukum publik, kondisi ini menandakan mati surinya prinsip partisipasi (participatory governance) yang menjadi dasar legitimasi kebijakan daerah. Tanpa partisipasi aktif, pemerintahan daerah kehilangan akar sosialnya.

5. Pembangunan yang Tak Terkontrol: Ketika Fungsi Pengawasan Lumpuh
Ketiadaan pemahaman tugas menyebabkan fungsi pengawasan Dewan Kota lumpuh total.
Program-program pembangunan di wilayah strategis, seperti revitalisasi kawasan Menteng, Tanah Abang, atau Kemayoran, sering berjalan tanpa kontrol publik yang memadai.
Ketika fungsi kontrol lemah, proyek pembangunan rawan penyimpangan anggaran, ketidakefisienan, bahkan pelanggaran tata ruang.

Data dari Inspektorat DKI Jakarta (2024) menunjukkan bahwa 30% proyek infrastruktur di tingkat kota tidak diawasi secara optimal oleh Dewan Kota.
Akibatnya, masyarakat dirugikan—baik secara ekonomi maupun ekologis.
Lebih jauh, hal ini melanggar prinsip transparansi dan akuntabilitas publik sebagaimana diamanatkan oleh Good Governance Charter dan berbagai regulasi pengawasan daerah.

Ketika Ketidaktahuan Menjadi Pelanggaran: Krisis Hukum dalam Tubuh Dewan Kota
Dalam teori tata kelola pemerintahan daerah, ketidaktahuan bukan alasan pembenar atas pelanggaran hukum. Namun, di banyak kota besar, termasuk Jakarta Pusat-wilayah yang menjadi jantung administrasi dan ekonomi nasional-ketidaktahuan itu justru kerap menjadi akar masalah kebijakan publik.
Dewan Kota (Dekot), yang seharusnya menjadi penjaga nalar hukum dan etika publik, sering terjebak dalam jebakan klasik: menyetujui kebijakan tanpa memahami dasar hukumnya.

Akibatnya, keputusan yang diambil tidak jarang menyimpang dari hierarki peraturan perundang-undangan, bertentangan dengan asas-asas hukum administrasi, bahkan berpotensi melanggar hak-hak konstitusional warga.

Pelanggaran Hukum: Ketika Kebijakan Menyimpang dari Koridor
Salah satu konsekuensi serius dari ketidakpahaman anggota Dewan Kota adalah terjadinya pelanggaran hukum substantif dan prosedural.
Dalam banyak kasus, kebijakan daerah dihasilkan melalui proses yang tidak sesuai dengan ketentuan UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan-yang secara tegas mengatur asas kesesuaian antara peraturan daerah dan hukum yang lebih tinggi.

Ketika Dewan Kota gagal memahami asas tersebut, produk kebijakan menjadi cacat secara hukum. Misalnya, dalam beberapa tahun terakhir, Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) menemukan bahwa lebih dari 18% produk hukum daerah di DKI Jakarta perlu direvisi karena tidak sesuai dengan norma hukum nasional.
Artinya, sebagian keputusan publik dibuat tanpa kesadaran hukum yang memadai, menjadikan Dekot bukan lagi pengawal hukum publik, melainkan pelanggar tak sadar dari sistem yang mereka wakili.

Dari Ketidaktahuan ke Malpraktik Kebijakan
Ketidakpahaman Dewan Kota terhadap tugas dan kewenangannya bukanlah masalah sepele. Ia adalah bentuk malpraktik kebijakan (policy malpractice) yang berdampak langsung pada legitimasi hukum pemerintahan daerah.
Ketika Dekot mengesahkan kebijakan tanpa analisis hukum dan sosial yang mendalam, masyarakat menjadi korban dari kebijakan yang salah arah.

Contoh konkret dapat dilihat pada kasus revisi penataan zonasi wilayah Jakarta Pusat (2023) yang menuai protes karena tidak melalui mekanisme konsultasi publik yang memadai dan berpotensi melanggar Perda Tata Ruang Provinsi DKI Jakarta.
Kasus ini menunjukkan bagaimana ketidaktahuan dan kelalaian prosedural dapat berubah menjadi pelanggaran hukum publik, merugikan warga sekaligus mempermalukan institusi.

Hukum Tak Hanya Hitam di Atas Putih
Banyak anggota Dewan Kota memandang hukum sebatas teks normatif-sekadar pasal dan ayat dalam dokumen. Padahal, hukum publik sejatinya adalah roh moral dan akal sehat kebijakan.
Ketika fungsi itu diabaikan, hukum kehilangan makna, dan kebijakan berubah menjadi alat administratif tanpa arah moral.

Jakarta Pusat, sebagai episentrum kebijakan nasional, seharusnya menjadi contoh bagaimana representasi politik berpadu dengan kesadaran hukum.
Namun, faktanya, banyak keputusan diambil hanya atas dasar “kepraktisan politik” dan “kesepakatan birokratis”, bukan atas dasar legal reasoning yang benar.
Dalam konteks ini, Dewan Kota bukan hanya lalai, tetapi berpotensi menjadi pelanggar hukum institusional-mereka melanggar mandat konstitusional untuk menjaga kepentingan publik di bawah koridor hukum.

Krisis Kepercayaan dan Hilangnya Legitimasi Publik
Dampak paling fatal dari ketidakpahaman ini adalah hilangnya kepercayaan publik.
Ketika warga menyadari bahwa peraturan yang diterapkan ternyata cacat hukum atau tidak relevan dengan kebutuhan mereka, rasa hormat terhadap institusi publik pun menurun.

Survei Lembaga Indikator Demokrasi Lokal (2025) menunjukkan bahwa hanya 28% warga Jakarta yang menilai Dewan Kota bekerja secara transparan dan sesuai hukum.
Data ini mencerminkan krisis legitimasi serius. Tanpa kepercayaan publik, fungsi representasi Dewan Kota menjadi nihil-dan demokrasi lokal kehilangan nyawanya.

Mengembalikan Marwah Dewan Kota: Dari Seremonial ke Substansial
Dalam kerangka hukum publik modern, anggota Dewan Kota dituntut bukan hanya hadir di ruang sidang, tetapi juga hadir secara intelektual dan moral dalam setiap proses kebijakan.
Artinya, mereka harus memahami dasar hukum, metodologi kebijakan, serta dampak sosial dari setiap keputusan yang disahkan.

Di tengah kompleksitas Jakarta Pusat sebagai pusat bisnis, pemerintahan, dan sosial politik, peran Dekot menjadi penentu arah peradaban kota.
Jika gagal memahami fungsi hukumnya, maka kegagalan itu bukan hanya administratif-melainkan kegagalan historis: kegagalan sebuah lembaga untuk menjaga martabat hukum dan keadilan publik.

Saatnya Reformasi Hukum dalam Tubuh Dewan Kota
Kini, sudah saatnya dilakukan reformasi hukum dan kelembagaan Dewan Kota.
Setiap anggota harus dibekali pendidikan hukum publik, pelatihan advokasi kebijakan, dan mekanisme audit etika kelembagaan.
Kepemimpinan berbasis pemahaman hukum bukan lagi pilihan-melainkan keharusan.

Karena tanpa pemahaman hukum, Dewan Kota kehilangan fungsinya sebagai pengawal rakyat.
Dan ketika pengawal kehilangan pedoman, rakyatlah yang akhirnya menjadi korban dari kebijakan yang melanggar hukum atas nama pembangunan.

Arthur Noija SH

Berita Terkait

Air Bersih, Upeti, dan Kekacauan Regulasi: Menguliti Polemik PAM JAYA-PPK Kemayoran
Duit Sitaan Koruptor, Ujian Janji Keadilan
Darurat Kedaulatan Ekonomi Indonesia
Mengurai Mitos Kebal Hukum: Ketika Pusat Pengelolaan Komplek Kemayoran (PPK Kemayoran) Dikatakan “Tak Tersentuh”
Rampas Uang, Tutup Mata Korupsi Negara
Marak Debitur Dijerat Pasal Penggelapan Objek Fidusia, Pakar Hukum: “Jangan Campur Urusan Perdata dengan Pidana”
Pengamat Hukum Didi Sungkono: Pemimpin yang Ditolak Rakyat Sebaiknya Mundur Secara Ksatria
Apel Pagi di Lapas Banda Aceh: Momentum Disiplin dan Apresiasi Pegawai Teladan
Berita ini 22 kali dibaca
4.5 2 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

0 Comments
Inline Feedbacks
View all comments

Berita Terkait

Kamis, 6 November 2025 - 04:03

Air Bersih, Upeti, dan Kekacauan Regulasi: Menguliti Polemik PAM JAYA-PPK Kemayoran

Kamis, 6 November 2025 - 03:30

Duit Sitaan Koruptor, Ujian Janji Keadilan

Rabu, 5 November 2025 - 19:27

Darurat Kedaulatan Ekonomi Indonesia

Rabu, 5 November 2025 - 19:03

Mengurai Mitos Kebal Hukum: Ketika Pusat Pengelolaan Komplek Kemayoran (PPK Kemayoran) Dikatakan “Tak Tersentuh”

Rabu, 5 November 2025 - 17:56

Rampas Uang, Tutup Mata Korupsi Negara

Rabu, 5 November 2025 - 17:24

Pahlawan atau Pengampunan Politik yang Tertunda

Selasa, 4 November 2025 - 16:56

Pengamat Hukum Didi Sungkono: Pemimpin yang Ditolak Rakyat Sebaiknya Mundur Secara Ksatria

Selasa, 4 November 2025 - 16:29

UIN Jakarta Kucurkan Rp2,85 Miliar Beasiswa untuk Dosen dan Tendik: Dorong Kualitas SDM dan Layanan Kampus

Berita Terbaru

Hukum

Duit Sitaan Koruptor, Ujian Janji Keadilan

Kamis, 6 Nov 2025 - 03:30

Berita

Darurat Kedaulatan Ekonomi Indonesia

Rabu, 5 Nov 2025 - 19:27

Berita

Rampas Uang, Tutup Mata Korupsi Negara

Rabu, 5 Nov 2025 - 17:56

0
Would love your thoughts, please comment.x
()
x