Surabaya, Majalahjakarta.com – Kepolisian Republik Indonesia (Polri) sejatinya adalah garda terdepan dalam menjaga ketertiban dan keadilan sosial. Namun, di tengah meningkatnya kritik publik dan turunnya kepercayaan masyarakat, muncul tuntutan agar reformasi Polri tidak berhenti pada tataran slogan, melainkan diwujudkan melalui transformasi menyeluruh yang dimulai dari pucuk pimpinan.
Dalam opininya, Dr. Didi Sungkono, S.H., M.H., seorang wartawan, kolumnis, sekaligus Direktur Lembaga Bantuan Hukum Rastra Justitia, menegaskan bahwa kekuatan Polri bersumber dari kepercayaan rakyat.
“Rasa simpatik dari rakyat akan lahir jika polisi mampu mencerminkan diri sebagai penjaga kehidupan, bukan sekadar penegak hukum. Polisi yang melayani masyarakat dengan keikhlasan adalah cermin polisi berperadaban,” ujarnya.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Menurut Didi, Polri adalah profesi terhormat. Namun, kehormatan itu akan rapuh bila dirusak oleh perilaku segelintir oknum yang menyalahgunakan wewenang. Ia menyoroti bahwa kepercayaan publik adalah telur di ujung tanduk, yang dapat pecah sewaktu-waktu jika kepolisian gagal menjaga integritas dan moralitas.
Lebih jauh, ia mengingatkan bahwa Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia telah menegaskan peran Polri sebagai pelindung, pengayom, dan pelayan masyarakat. Karena itu, pendekatan Polri harus humanis, santun, dan pragmatis dalam konteks pelayanan publik, bukan represif atau berorientasi pada kekuasaan.
“Polisi harus memanusiakan manusia. Dalam setiap penangkapan, penyelidikan, dan pelayanan, prinsip kemanusiaan harus menjadi pijakan. Polisi digaji dari uang rakyat, maka tugasnya adalah melindungi rakyat, bukan memeras rakyat dengan dalih penegakan hukum,” tegasnya.
Didi juga menyoroti fenomena yang ia sebut sebagai “gunung es” dalam tubuh Polri, yakni praktik jual-beli pasal dan intimidasi terhadap pelapor yang ingin berdamai di luar pengadilan. Ia menilai, fenomena tersebut tidak hanya melukai keadilan, tetapi juga menghancurkan marwah hukum dan empati sosial kepolisian.
“Keadilan tidak harus diperoleh di pengadilan. Keadilan bisa hadir di mana saja ketika polisi mampu menjadi jembatan, bukan batu sandungan,” tulisnya dalam artikelnya.
Menurutnya, reformasi Polri harus dimulai dari atas ke bawah, dari jajaran jenderal hingga aparat di lapangan. Reformasi sejati, kata Didi, bukan sekadar perombakan struktur, tetapi perubahan paradigma-dari polisi kekuasaan menjadi polisi peradaban.
Ia mengingatkan bahwa kekuasaan tanpa pengawasan berpotensi melahirkan penyimpangan. Karena itu, sistem transparansi dan pengawasan internal Polri harus diperkuat agar tidak memberi ruang bagi tumbuh suburnya praktik kolusi, korupsi, dan nepotisme (KKN).
“Kalau komitmen sudah tergerus dan etika hukum dijadikan alat tawar, maka KUHAP berubah makna: Kasih Uang Habis Perkara. Ini sindiran yang muncul dari rakyat dan tak bisa diabaikan,” ujar Didi menegaskan.
Didi juga menyerukan agar Polri menghidupkan kembali nilai-nilai luhur Rastra Sewakottama (Abdi Utama Bagi Nusa dan Bangsa) dan Tribrata, bukan hanya sebagai semboyan, tetapi sebagai pedoman hidup yang menuntun tindakan aparat dalam menegakkan hukum secara adil dan beradab.
“Sudah saatnya Polri menjadi simbol keteladanan, institusi yang mengedepankan kemanusiaan, menjauhi hidup hedonis, dan menegakkan hukum tanpa pandang bulu. Polisi bukan alat kekuasaan, tapi penjaga peradaban,” tutupnya.(Redho)

















