Dr. Didi Sungkono: Reformasi Polri Harus Dimulai dari Atas, Polisi Bukan Alat Kekuasaan, Melainkan Penjaga Peradaban

- Penulis

Kamis, 23 Oktober 2025 - 14:15

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Spread the love

Surabaya, Majalahjakarta.com – Kepolisian Republik Indonesia (Polri) sejatinya adalah garda terdepan dalam menjaga ketertiban dan keadilan sosial. Namun, di tengah meningkatnya kritik publik dan turunnya kepercayaan masyarakat, muncul tuntutan agar reformasi Polri tidak berhenti pada tataran slogan, melainkan diwujudkan melalui transformasi menyeluruh yang dimulai dari pucuk pimpinan.

Dalam opininya, Dr. Didi Sungkono, S.H., M.H., seorang wartawan, kolumnis, sekaligus Direktur Lembaga Bantuan Hukum Rastra Justitia, menegaskan bahwa kekuatan Polri bersumber dari kepercayaan rakyat.

“Rasa simpatik dari rakyat akan lahir jika polisi mampu mencerminkan diri sebagai penjaga kehidupan, bukan sekadar penegak hukum. Polisi yang melayani masyarakat dengan keikhlasan adalah cermin polisi berperadaban,” ujarnya.

ADVERTISEMENT

ads

SCROLL TO RESUME CONTENT

Menurut Didi, Polri adalah profesi terhormat. Namun, kehormatan itu akan rapuh bila dirusak oleh perilaku segelintir oknum yang menyalahgunakan wewenang. Ia menyoroti bahwa kepercayaan publik adalah telur di ujung tanduk, yang dapat pecah sewaktu-waktu jika kepolisian gagal menjaga integritas dan moralitas.

Lebih jauh, ia mengingatkan bahwa Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia telah menegaskan peran Polri sebagai pelindung, pengayom, dan pelayan masyarakat. Karena itu, pendekatan Polri harus humanis, santun, dan pragmatis dalam konteks pelayanan publik, bukan represif atau berorientasi pada kekuasaan.

“Polisi harus memanusiakan manusia. Dalam setiap penangkapan, penyelidikan, dan pelayanan, prinsip kemanusiaan harus menjadi pijakan. Polisi digaji dari uang rakyat, maka tugasnya adalah melindungi rakyat, bukan memeras rakyat dengan dalih penegakan hukum,” tegasnya.

Didi juga menyoroti fenomena yang ia sebut sebagai “gunung es” dalam tubuh Polri, yakni praktik jual-beli pasal dan intimidasi terhadap pelapor yang ingin berdamai di luar pengadilan. Ia menilai, fenomena tersebut tidak hanya melukai keadilan, tetapi juga menghancurkan marwah hukum dan empati sosial kepolisian.

Baca Juga:  Korban Mafia Tanah Berharap Keadilan di Tengah Agenda Reformasi Polri

“Keadilan tidak harus diperoleh di pengadilan. Keadilan bisa hadir di mana saja ketika polisi mampu menjadi jembatan, bukan batu sandungan,” tulisnya dalam artikelnya.

Menurutnya, reformasi Polri harus dimulai dari atas ke bawah, dari jajaran jenderal hingga aparat di lapangan. Reformasi sejati, kata Didi, bukan sekadar perombakan struktur, tetapi perubahan paradigma-dari polisi kekuasaan menjadi polisi peradaban.

Ia mengingatkan bahwa kekuasaan tanpa pengawasan berpotensi melahirkan penyimpangan. Karena itu, sistem transparansi dan pengawasan internal Polri harus diperkuat agar tidak memberi ruang bagi tumbuh suburnya praktik kolusi, korupsi, dan nepotisme (KKN).

“Kalau komitmen sudah tergerus dan etika hukum dijadikan alat tawar, maka KUHAP berubah makna: Kasih Uang Habis Perkara. Ini sindiran yang muncul dari rakyat dan tak bisa diabaikan,” ujar Didi menegaskan.

Didi juga menyerukan agar Polri menghidupkan kembali nilai-nilai luhur Rastra Sewakottama (Abdi Utama Bagi Nusa dan Bangsa) dan Tribrata, bukan hanya sebagai semboyan, tetapi sebagai pedoman hidup yang menuntun tindakan aparat dalam menegakkan hukum secara adil dan beradab.

“Sudah saatnya Polri menjadi simbol keteladanan, institusi yang mengedepankan kemanusiaan, menjauhi hidup hedonis, dan menegakkan hukum tanpa pandang bulu. Polisi bukan alat kekuasaan, tapi penjaga peradaban,” tutupnya.(Redho)

Berita Terkait

Negara Rugi Ratusan Triliun, Bandarnya Tetap Tertawa
Menimbang Gelar Pahlawan di Tengah Rekonsiliasi Sejarah
Dewan Kota di Persimpangan Hukum: Antara Representasi Publik dan Formalitas Birokrasi dalam Era Provinsi Daerah Khusus Jakarta
Negara Topeng, Negara Neoliberalisme
Polri, Ijazah, dan Kekacauan Batas Kewenangan
DPR dan Krisis Kepercayaan Publik yang Menganga
Restrukturisasi Whoosh: Efisiensi Baru atau Beban Lama Negara?
Dasco Bungkam Tujuh Bulan, Bom Waktu Judi Kamboja Goyang Fondasi Partai
Berita ini 9 kali dibaca
3 1 vote
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

0 Comments
Inline Feedbacks
View all comments

Berita Terkait

Selasa, 11 November 2025 - 14:26

Menimbang Gelar Pahlawan di Tengah Rekonsiliasi Sejarah

Selasa, 11 November 2025 - 13:52

Dewan Kota di Persimpangan Hukum: Antara Representasi Publik dan Formalitas Birokrasi dalam Era Provinsi Daerah Khusus Jakarta

Selasa, 11 November 2025 - 12:18

Negara Topeng, Negara Neoliberalisme

Selasa, 11 November 2025 - 12:02

Polri, Ijazah, dan Kekacauan Batas Kewenangan

Selasa, 11 November 2025 - 11:24

Restrukturisasi Whoosh: Efisiensi Baru atau Beban Lama Negara?

Selasa, 11 November 2025 - 09:07

Dasco Bungkam Tujuh Bulan, Bom Waktu Judi Kamboja Goyang Fondasi Partai

Senin, 10 November 2025 - 07:59

Jam Intel Redha Mantovani Disorot: Abaikan Buru Terpidana, Sibuk Hadiri CSR Aguan?

Senin, 10 November 2025 - 05:12

Skandal Alutsista: KPK Didesak Bongkar Peran Broker dalam Proyek Kapal TNI AL

Berita Terbaru

Digital

Negara Rugi Ratusan Triliun, Bandarnya Tetap Tertawa

Selasa, 11 Nov 2025 - 14:38

Nasional

Menimbang Gelar Pahlawan di Tengah Rekonsiliasi Sejarah

Selasa, 11 Nov 2025 - 14:26

Analisis

Negara Topeng, Negara Neoliberalisme

Selasa, 11 Nov 2025 - 12:18

Nasional

Polri, Ijazah, dan Kekacauan Batas Kewenangan

Selasa, 11 Nov 2025 - 12:02

0
Would love your thoughts, please comment.x
()
x