Jakarta, Majalahjakarta.com – Dewan Pimpinan Pusat Perkumpulan Peduli Nusantara Tunggal (PPNT), yang selama ini konsisten dalam advokasi kebijakan publik, menyoroti peran dan fungsi Dewan Kota (Dekot) DKI Jakarta yang seharusnya menjadi lembaga musyawarah perwakilan masyarakat di tingkat kota administrasi. Dalam konteks hukum publik, keberadaan Dekot merupakan bagian dari sistem demokrasi partisipatif yang menempatkan masyarakat sebagai subjek, bukan sekadar objek kebijakan.
Namun, di lapangan, idealisme tersebut sering kali tereduksi oleh praktik yang tidak sejalan dengan mandat publik.
Sebagai contoh, perwakilan dari Kecamatan Johar Baru, yang tergabung dalam Dewan Kota Jakarta Pusat, seharusnya berperan aktif menjembatani aspirasi warga dengan pemerintah kota. Sayangnya, ada kecenderungan bahwa fungsi representasi ini melemah karena minimnya komunikasi publik dan keterlibatan langsung dalam persoalan sosial yang mendesak.
Masyarakat Johar Baru menilai bahwa selama dua periode menjalankan amanah, perwakilan Dewan Kota belum sepenuhnya menunjukkan kepekaan terhadap dinamika sosial di wilayahnya. Kritik dan koreksi publik kerap dianggap serangan, padahal keduanya adalah vitamin demokrasi yang menjaga fungsi pengawasan sosial tetap hidup. Jangan anti kritik, jangan menutup diri dari koreksi. Wakil rakyat bukan simbol status, melainkan pelayan publik yang wajib turun tangan, bukan hanya saat membutuhkan dukungan elektoral.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Lebih dari sekadar kegiatan seremonial seperti bakti sosial atau bedah rumah, fungsi pengawasan dan advokasi terhadap kebijakan pembangunan seharusnya menjadi prioritas utama. Johar Baru, sebagai wilayah dengan kerentanan sosial tinggi, membutuhkan representasi yang berani bersuara, bukan hanya berfoto di spanduk kegiatan.
Persoalan yang lebih serius muncul di tingkat akar rumput: konflik lahan dan aspek hukum. Di wilayah RW 10 / RT 13 Johar Baru, lahan milik Yayasan X yang berada di bawah Rumah Sakit Yaskrista dilaporkan diduduki oleh pihak yang tidak memiliki hubungan hukum sah dengan yayasan tersebut. Ironisnya, persoalan ini bahkan telah berujung pada gugatan terhadap Lurah Johar Baru di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Pertanyaannya: di mana posisi Dewan Kota dalam mengawal persoalan publik seperti ini? Apakah diam menjadi pilihan politik baru?
Sebagai representasi warga di tingkat kota administrasi, Dewan Kota seharusnya menjadi garda depan advokasi kebijakan lokal, bukan sekadar perpanjangan tangan kekuasaan.
Tanggung jawab moral dan politik melekat pada setiap perwakilan, terlebih ketika menyangkut persoalan hukum, keamanan, dan hak kepemilikan warga.
Jika fungsi representasi publik terhenti pada agenda simbolik, maka Dekot hanya akan menjadi “panggung formalitas” tanpa substansi.
Sudah saatnya Dewan Kota Jakarta Pusat, khususnya perwakilan dari Johar Baru, kembali pada marwah konstitusionalnya: melayani, mengayomi, dan mengawal kepentingan warga secara nyata.
Dewan Kota Johar Baru: Antara Representasi Semu dan Krisis Legitimasi dalam Sistem Non-Otonom Jakarta
Secara hukum publik, DKI Jakarta tidak memiliki daerah otonom di tingkat kota atau kabupaten. Artinya, kota administrasi seperti Jakarta Pusat tidak memiliki DPRD sendiri, dan tidak menjalankan fungsi legislasi lokal secara independen.
Dalam konteks tersebut, Dewan Kota (Dekot) hadir bukan sebagai lembaga politik dengan kewenangan membentuk peraturan daerah (perda), melainkan sebagai lembaga konsultatif non-otonom. Keberadaannya diatur dalam Peraturan Daerah Nomor 6 Tahun 2011, yang menegaskan peran Dewan Kota/Kabupaten sebagai wadah partisipasi masyarakat dalam perencanaan pembangunan dan penyampaian aspirasi warga kepada pemerintah daerah.
Secara teoritis, konsep Dewan Kota ini dimaksudkan untuk memperkuat governance yang partisipatif dan inklusif – sejalan dengan prinsip good governance yang menekankan transparansi, akuntabilitas, dan responsivitas terhadap kebutuhan publik. Namun dalam praktik, idealisme itu kerap terjerembab dalam persoalan representasi semu.
Dewan Kota perwakilan Johar Baru misalnya, secara struktural memiliki mandat untuk menjadi jembatan antara masyarakat dan Pemerintah Kota Jakarta Pusat. Mereka diharapkan menjadi kanal aspirasi, terutama dalam isu-isu sosial, lingkungan, hingga konflik pembangunan yang tidak terakomodasi dalam forum formal seperti Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang).
Namun, publik menilai bahwa fungsi ini sering kali terhenti pada tataran administratif, bukan advokatif. Dekot seolah hadir tanpa daya dorong kebijakan.
Fakta menunjukkan, ketika konflik sosial dan sengketa lahan marak di Johar Baru – mulai dari kasus okupasi tanah yayasan hingga persoalan sosial di tingkat RW – reaksi Dewan Kota nyaris tak terdengar. Padahal, sebagai lembaga yang secara normatif berfungsi menampung dan menyalurkan aspirasi warga, mereka seharusnya menjadi “penggerak moral” yang menekan pemerintah kota untuk bertindak cepat dan adil.
Dalam kacamata kebijakan publik, ketidakaktifan semacam ini menunjukkan adanya kesenjangan antara legitimasi formal dan kinerja substantif. Artinya, Dewan Kota sah secara hukum, tetapi belum berfungsi secara sosial.
Lebih tajam lagi, publik mulai mempertanyakan: untuk siapa sebenarnya Dewan Kota bekerja – untuk warga atau untuk birokrasi?
Kritik ini bukan tanpa dasar. Dalam survei persepsi publik DKI Jakarta tahun-tahun terakhir (misalnya data BPS dan riset LSI 2023), indeks kepercayaan terhadap lembaga non-eksekutif tingkat kota cenderung stagnan di bawah 55 persen. Rendahnya kepercayaan publik menandakan bahwa representasi masyarakat belum bekerja secara efektif. Warga kehilangan ruang advokasi di tingkat akar rumput.
Jika Dewan Kota ingin keluar dari jebakan formalitas birokratis, maka perlu ada reformulasi peran:
dari sekadar lembaga konsultatif menjadi lembaga advokasi kebijakan lokal,
dari pelengkap administrasi menjadi penjaga moralitas publik,
dari simbol representasi menjadi aktor kebijakan yang proaktif mengawal keadilan sosial.
Sebab, dalam demokrasi perkotaan yang matang, kehadiran lembaga tanpa fungsi adalah bentuk kemewahan yang berbahaya.
Dewan Kota Johar Baru harus membuktikan eksistensinya tidak hanya melalui kegiatan seremonial, tetapi melalui keberanian membela aspirasi masyarakat, terutama mereka yang suaranya sering dibungkam oleh struktur.
Dewan Kota Johar Baru: Mitra Pemerintah atau Sekadar Penonton Kebijakan Publik?
Dalam sistem pemerintahan non-otonom DKI Jakarta, Dewan Kota memainkan peran strategis sebagai jembatan antara masyarakat dan pemerintah kota administrasi. Secara formal, lembaga ini disebut sebagai mitra wali kota, dengan fungsi membantu identifikasi masalah publik dan mendorong solusi kolaboratif di tingkat lokal.
Namun pertanyaannya, apakah peran tersebut benar-benar dijalankan secara substantif – atau sekadar menjadi simbol partisipasi yang kehilangan daya gigit?
Secara normatif, anggota Dewan Kota memiliki mandat membantu wali kota dalam mengidentifikasi dan menyelesaikan persoalan yang muncul di wilayahnya. Mereka juga diharapkan menciptakan sinergi antara pemerintah dan masyarakat, terutama dalam meningkatkan kualitas pelayanan publik.
Idealnya, hubungan mitra ini bersifat simbiotik – pemerintah mendapatkan masukan berbasis realitas lapangan, sementara masyarakat memiliki saluran komunikasi resmi untuk menyuarakan aspirasi dan kritik terhadap kebijakan publik.
Namun, dalam praktiknya, sinergi itu sering kali berjalan timpang. Dewan Kota terjebak dalam posisi ambigu: di satu sisi dianggap mitra pemerintah, di sisi lain kehilangan otonomi moral untuk menyuarakan kritik tajam. Ketika kritik dianggap ancaman, partisipasi publik berubah menjadi basa-basi politik.
Padahal, menurut teori hukum publik, fungsi representatif seperti Dewan Kota justru harus menegakkan prinsip check and balance di tingkat lokal – bukan sekadar memperhalus kebijakan yang sudah ditetapkan birokrasi.
Dari sisi fungsi, Dekot memiliki tanggung jawab menyalurkan aspirasi masyarakat agar dapat ditindaklanjuti dan dijadikan bahan pertimbangan dalam perumusan kebijakan serta program kerja pemerintah kota. Dengan kata lain, Dewan Kota merupakan transmission belt antara realitas sosial dan kebijakan publik.
Namun di lapangan, aspirasi sering berhenti di meja musyawarah tanpa tindak lanjut konkret. Banyak warga Johar Baru menilai suara mereka tidak lagi bergema di tingkat kota administrasi. Ketika persoalan sosial, keamanan, dan pembangunan muncul, Dekot kerap absen sebagai pengawal aspirasi warga.
Lebih jauh lagi, keberadaan Dewan Kota seharusnya menjamin partisipasi publik yang inklusif. Dalam konsep participatory governance, setiap kebijakan lokal mestinya melewati dialog sosial, bukan sekadar perintah administratif. Tetapi ironinya, partisipasi masyarakat justru direduksi menjadi seremoni tahunan dalam forum Musrenbang, tanpa advokasi berkelanjutan.
Fungsi penguatan pelayanan publik pun sering kali berhenti pada tataran retorika.
Padahal, efektivitas pelayanan tidak hanya soal kecepatan birokrasi, tetapi juga keberanian moral untuk mendengar keluhan warga kecil.
Secara hukum, Dewan Kota Johar Baru memang tidak memiliki kekuasaan legislatif yang mengikat secara langsung. Tetapi dalam perspektif kebijakan publik, keberadaannya memegang makna sosial-politik yang besar: menjadi kanal komunikasi, penjaga nurani, dan penghubung antara logika kebijakan dan realitas rakyat.
Ketika Dewan Kota bungkam, masyarakat kehilangan wakil yang berbicara atas nama mereka di ruang kekuasaan.
Karena itu, fungsi Dewan Kota harus ditafsir ulang – bukan sekadar mitra pemerintah, tetapi mitra rakyat dalam menegakkan keadilan kebijakan.
Dewan Kota Johar Baru seharusnya berdiri di sisi masyarakat, bukan tenggelam dalam arus birokrasi.
Kritik bukanlah ancaman, melainkan bentuk cinta terhadap tata kelola pemerintahan yang lebih adil dan manusiawi.
Arthur Noija SH

















