Kefamenanu TTU, Majalahjakarta.com – Udara pagi di Kefamenanu, ibu kota Kabupaten Timor Tengah Utara (TTU), masih terasa lembap ketika sejumlah jaksa tampak lalu-lalang di halaman Kantor Kejaksaan Negeri TTU, Rabu (22/10/2025). Di ruang penyidik yang beraroma kertas dan kopi, sebuah berkas tebal tergeletak di atas meja kayu. Di sampulnya tertulis: Perkara Dugaan Tindak Pidana Korupsi Dana BOS dan DAK Sekolah Luar Biasa (SLB) Benpasi.
Hari itu, Kejaksaan Negeri TTU resmi menetapkan Elen Makatita, mantan Kepala SLB Benpasi, sebagai tersangka kasus dugaan korupsi dana pendidikan. Penetapan ini merupakan puncak dari serangkaian penyelidikan panjang yang menelusuri aliran uang publik yang sejatinya diperuntukkan bagi anak-anak berkebutuhan khusus, namun diduga berbelok arah di tengah jalan birokrasi.
“Penetapan tersangka dilakukan setelah pemeriksaan saksi-saksi dan pengumpulan alat bukti yang cukup,” ujar salah satu penyidik kejaksaan dengan nada hati-hati.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Selama empat tahun, dari 2018 hingga 2022, dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) terus mengalir ke SLB Benpasi. Pada 2022, tambahan dana DAK (Dana Alokasi Khusus) juga dikucurkan. Namun, laporan kegiatan dan tanda tangan administrasi ternyata menyimpan kejanggalan. Jaksa menemukan sejumlah indikasi kegiatan fiktif, pengadaan alat bantu belajar yang tidak sesuai spesifikasi, hingga belanja sekolah yang tak dapat dipertanggungjawabkan.
Menurut sumber internal kejaksaan, sebagian dana yang seharusnya menjadi penyokong fasilitas belajar, justru menjadi alat kepentingan pribadi. “Ada pola klasik-laporan beres di atas kertas, tapi nihil manfaat di lapangan,” ujar seorang jaksa senior yang enggan disebut namanya.
Namun, kasus ini sejatinya melampaui sekadar perkara hukum. Ia menyentuh ranah yang lebih dalam: hak dasar anak-anak disabilitas yang terampas oleh kelalaian dan kerakusan orang dewasa.
“Dana itu bukan angka dalam laporan, tapi nyawa dalam proses belajar,” kata Maria Lopo, aktivis pendidikan inklusif di Kefamenanu. “Ketika uangnya raib, yang hilang bukan cuma fasilitas, tapi masa depan anak-anak itu.”
Di ruang kelas sederhana SLB Benpasi, beberapa murid masih setia datang setiap pagi. Mereka menulis huruf demi huruf dengan pensil pendek, tanpa tahu bahwa nama sekolah mereka kini sedang dibicarakan di ruang sidang dan halaman berita nasional.
Kejaksaan memastikan proses hukum akan berjalan hingga tuntas. Elen Makatita dijerat dengan pasal-pasal Tindak Pidana Korupsi berdasarkan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo UU Nomor 20 Tahun 2001. Namun publik berharap, keadilan tak berhenti pada satu nama.
Karena setiap rupiah yang diselewengkan dari dana pendidikan khusus, berarti sepotong masa depan anak-anak difabel yang ikut terkikis – perlahan, tapi pasti.
Catatan redaksi:
Kasus SLB Benpasi mencerminkan lemahnya sistem pengawasan kebijakan pendidikan inklusif di daerah. Berdasarkan data Kemendikbudristek 2024, lebih dari 60% SLB di Indonesia masih bergantung sepenuhnya pada dana BOS dan DAK tanpa mekanisme audit internal yang kuat.
Minimnya sistem transparansi berbasis digital serta lemahnya partisipasi masyarakat memperpanjang rantai ketertutupan birokrasi pendidikan di daerah 3T (terdepan, terluar, tertinggal). Korupsi dana BOS di sekolah-sekolah luar biasa bukan hanya bentuk pelanggaran hukum, melainkan indikator gagalnya kebijakan publik dalam melindungi kelompok rentan. (Lukas)

















