Jakarta, Majalahjakarta.com – Kerangka berpikir 7P Ichsanuddin Noorsy bukan sekadar menyerukan audit investigatif yang berhenti pada pencarian kesalahan administratif. Ia menuntut audit yang melahirkan transformasi struktural-audit yang mampu membongkar akar persoalan tata kelola, bukan sekadar menambal cacat prosedural.
Secara sistematis, menurut pendekatan 7P Noorsy, fokus utama terletak pada penyelesaian masalah struktural biaya pembangunan dan operasional KCIC. Artinya, audit bukan hanya alat pembuktian hukum, melainkan instrumen koreksi terhadap kebijakan ekonomi, tata distribusi anggaran, dan arah pembangunan nasional yang kerap lebih berpihak pada modal daripada kepentingan publik.
Audit KCIC dan Kerangka 7P Ichsanuddin Noorsy: Dari Angka Menuju Perubahan Struktural
Audit terhadap proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung (KCIC) sejatinya tidak boleh berhenti pada tumpukan angka dan tabel keuangan. Dalam kerangka berpikir 7P Ichsanuddin Noorsy, audit harus menjadi instrumen perubahan struktural yang menilai sejauh mana proyek ini selaras dengan mandat konstitusi dan kepentingan rakyat. Ia bukan sekadar alat hitung, melainkan sarana kritik terhadap arah pembangunan nasional yang kerap terjebak dalam logika modal dan utang.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
1. Paradigma
Audit KCIC harus berpijak pada paradigma ekonomi konstitusi – bahwa setiap pembangunan infrastruktur wajib tunduk pada kepentingan rakyat, bukan pada kuasa korporasi asing atau jejaring oligarki domestik. Karena itu, pertanyaan pokoknya bukan sekadar “berapa besar biaya yang dikeluarkan,” melainkan apakah proyek ini meningkatkan kedaulatan ekonomi Indonesia atau justru memperdalam ketergantungan struktural terhadap Tiongkok dan utang luar negeri.
2. Produksi
Dalam dimensi produksi, Noorsy menekankan pentingnya audit atas rantai nilai ekonomi nasional. KCIC harus diuji: apakah material, teknologi, SDM, dan logistiknya memperkuat industri dalam negeri, atau justru menutup ruang bagi transfer teknologi dan kemandirian produksi? Bila yang terjadi adalah dominasi impor dan kontraktor asing, maka penyelesaian strukturalnya bukan sekadar revisi kontrak, tetapi reorientasi kebijakan industri nasional agar mampu memproduksi komponen strategis transportasi massal sendiri.
3. Pembiayaan
Dimensi pembiayaan menjadi jantung masalah. Audit investigatif KCIC wajib membuka secara terang struktur utang, suku bunga, jaminan APBN, serta beban fiskal jangka panjang yang ditanggung rakyat. Bila terdeteksi pembengkakan biaya dan potensi debt trap, maka solusi strukturalnya adalah redesain sistem pembiayaan nasional – agar proyek strategis tak lagi disandarkan pada pinjaman luar negeri yang berisiko menjerat kedaulatan fiskal bangsa.
4. Perdagangan (Trade)
Audit juga harus menelaah dampak KCIC terhadap neraca perdagangan nasional. Bila impor barang, jasa, dan tenaga kerja dari Tiongkok jauh lebih besar dibanding manfaat ekspor atau perputaran ekonomi lokal, maka proyek ini gagal secara struktural. Solusinya adalah restrukturisasi perjanjian kerja sama, sehingga industri penunjang domestik dapat tumbuh dan berperan nyata dalam rantai ekonomi proyek strategis.
5. Pemerintahan (Politics of Policy)
Audit struktural tak berhenti pada neraca, tetapi menembus politik kebijakan. Harus diuji: apakah keputusan proyek KCIC diambil berdasarkan prinsip good governance – adil, transparan, akuntabel, dan bebas dari konflik kepentingan? Bila ditemukan indikasi penyimpangan dan keterlibatan elite politik dalam jejaring bisnis, maka penyelesaian strukturalnya bukan hanya sanksi administratif, melainkan reformasi tata kelola proyek strategis nasional agar terbebas dari praktik otoriter dan korup. Audit semacam ini bukan sekadar investigasi, tetapi pembongkaran sistemik atas kerugian negara yang dihasilkan oleh kebijakan elitis.
6. Pendapatan
Dimensi pendapatan menuntut evaluasi terhadap kontribusi KCIC bagi produktivitas ekonomi rakyat di sepanjang koridor Jakarta–Bandung. Apakah ia menciptakan multiplier effect atau justru menjadi beban fiskal baru tanpa imbal hasil sosial-ekonomi? Bila jawabannya negatif, maka solusinya adalah penataan ulang model bisnis dan tarif KCIC, agar menjadi sumber pendapatan berkelanjutan bagi negara, bukan sekadar ladang keuntungan bagi operator dan investor.
7. Peradaban
Puncak dari seluruh dimensi 7P adalah peradaban. Noorsy mengingatkan bahwa pembangunan fisik tanpa visi peradaban hanyalah kemewahan kosong. Audit KCIC harus menilai: apakah proyek ini memperkuat martabat bangsa, membangun kemandirian, dan meneguhkan keadilan sosial? Atau justru menjadikan bangsa ini sekadar pasar bagi modal asing? Penyelesaian struktural di sini berarti reorientasi arah pembangunan nasional agar berpijak pada nilai konstitusional, keadilan sosial, dan budaya bangsa yang berdaulat.
Kesimpulan Analitis: Audit sebagai Pintu Koreksi Struktural
Pada akhirnya, menurut kerangka berpikir 7P Ichsanuddin Noorsy, audit terhadap proyek Kereta Cepat Jakarta–Bandung (KCIC) bukanlah garis akhir, melainkan pintu masuk bagi koreksi struktural nasional. Audit sejati bukan sekadar alat pembuktian administrasi, tetapi momentum untuk menata ulang arah pembangunan bangsa – mencakup reformasi sistem pembiayaan, revitalisasi industrialisasi nasional, penataan kebijakan publik, serta reorientasi pembangunan agar kembali berpihak pada ekonomi konstitusi dan kedaulatan rakyat.
Sebuah audit investigatif yang hanya berhenti pada perhitungan rugi-laba akan gagal menyentuh akar persoalan, bila tidak diikuti langkah-langkah korektif yang bersifat struktural dan berkelanjutan. Karena itu, jalan pembenahan mestinya diarahkan pada tiga agenda pokok:
1. Reformulasi kontrak dan sistem pembiayaan KCIC agar transparan, adil, dan tidak membebani fiskal negara;
2. Redesain kebijakan industrialisasi nasional berbasis kemandirian teknologi dan sumber daya dalam negeri;
3. Reorientasi pembangunan nasional sesuai prinsip ekonomi konstitusi, yang menempatkan rakyat sebagai subjek, bukan sekadar objek pembangunan.
Dengan demikian, audit KCIC – bila dijalankan dalam semangat 7P Noorsy – bukan sekadar evaluasi proyek, tetapi sebuah gerakan intelektual untuk memulihkan rasionalitas ekonomi bangsa, agar pembangunan tidak lagi tersandera oleh utang, ketergantungan, dan kepentingan modal asing.
Ichsanuddin Noorsy

















