Surabaya, Majalahjakarta.com – Gelombang kritik dan keprihatinan publik kembali menguat pasca keluarnya putusan Pengadilan Tinggi (PT) Pontianak yang membebaskan terdakwa kasus korupsi miliaran rupiah, Paulus Andy Mursalim, dari segala tuntutan hukum.
Putusan tersebut sontak menimbulkan tanda tanya besar, sebab sebelumnya majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Pontianak telah menjatuhkan vonis 10 tahun penjara, denda Rp500 juta, serta uang pengganti Rp31,47 miliar terhadap terdakwa.
Kini, seluruh hukuman itu dibatalkan dan terdakwa dinyatakan bebas murni.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Pengamat Hukum: “Ini Bukti Matinya Keadilan”
Menanggapi hal itu, Dr. Didi Sungkono, S.H., M.H., pengamat hukum sekaligus dosen senior, menilai putusan tersebut tidak hanya mencederai rasa keadilan masyarakat, tetapi juga menimbulkan dugaan serius tentang adanya praktik tak wajar dalam proses hukum.
“Sangat miris dan memprihatinkan. Vonis berat dari pengadilan negeri bisa berubah total menjadi bebas di tingkat banding. Ini jelas tidak mencerminkan kepekaan terhadap rasa keadilan dan kepedulian pada nasib bangsa,” ujar Didi Sungkono saat dimintai tanggapan oleh awak media, Rabu (22/10/2025).
Ia menambahkan, tindakan para penegak hukum harusnya memperberat hukuman terhadap pelaku korupsi, bukan malah memberi ruang pembebasan.
“Pelaku korupsi telah merugikan negara dan rakyat. KUHAP bukan berarti Kasih Uang Habis Perkara. Jika terjadi hal seperti ini, patut diduga ada sesuatu yang tidak beres dalam proses hukum,” tegasnya.
Desak Evaluasi Hakim Pengadilan Tinggi
Dr. Didi Sungkono meminta Komisi Yudisial (KY) dan Mahkamah Agung (MA) turun tangan memeriksa majelis hakim yang memutus perkara di PT Pontianak.
“Majelis hakim harus dievaluasi secara mendalam. Jika terbukti ada pelanggaran etik atau indikasi jual beli perkara, ini harus diusut tuntas. Hukum tidak boleh menjadi barang dagangan,” ujarnya.
Menurutnya, prinsip transparansi dan akuntabilitas di lembaga yudisial harus diperkuat agar kepercayaan publik terhadap sistem peradilan tidak runtuh.
Latar Belakang Kasus
Sebelumnya, pada 3 September 2025, Pengadilan Tipikor Pontianak menyatakan Paulus Andy Mursalim bersalah melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat (1) UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001.
Namun, dalam putusan banding yang dipimpin oleh majelis hakim Pransis Sinaga, Tri Andita Juristiawati, dan Dwi Jaka Susanta, PT Pontianak menyatakan terdakwa tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah, serta memerintahkan pengembalian seluruh hak dan asetnya.
Putusan tersebut juga memerintahkan agar terdakwa segera dibebaskan dari tahanan.
Publik Pertanyakan Independensi dan Transparansi
Putusan bebas ini menuai gelombang reaksi keras di media sosial dan kalangan akademisi. Sejumlah pengamat menilai adanya kejanggalan hukum karena perubahan vonis yang terlalu drastis tanpa penjelasan yang jelas kepada publik.
“Ini bukan perkara kecil. Kerugian negara mencapai puluhan miliar rupiah. Publik berhak tahu dasar pertimbangan hukum apa yang membuat terdakwa bisa bebas murni,” ujar seorang pakar hukum pidana dari Universitas Tanjungpura yang enggan disebutkan namanya.
Sementara itu, Kejaksaan Tinggi Kalimantan Barat hingga kini belum mengeluarkan pernyataan resmi apakah akan menempuh kasasi ke Mahkamah Agung (MA) atau menerima putusan tersebut.
Kejanggalan Penegakan Hukum
Kasus ini membuka kembali perdebatan publik tentang konsistensi penegakan hukum di Indonesia, terutama dalam perkara korupsi yang dikategorikan sebagai extraordinary crime.
Ketika putusan bebas terjadi tanpa transparansi dan akuntabilitas yang kuat, kepercayaan masyarakat terhadap lembaga peradilan berpotensi terkikis.
“Rakyat menunggu sikap tegas kejaksaan untuk mengajukan kasasi. Jika dibiarkan, putusan semacam ini bisa menjadi preseden buruk dan merusak semangat pemberantasan korupsi,” tutup Didi Sungkono. (Redho)

















