Jakarta, Majalahjakarta.com – Dalam praktik hukum agraria di Indonesia, fenomena penyerobotan tanah masih menjadi luka terbuka yang belum menemukan obat tuntas. Meski kasus ini kerap mencuat di ruang publik, hingga kini aturan hukum positif yang secara tegas mengatur tentang penyerobotan tanah masih samar dan parsial.
Gerai Hukum Art & Rekan, yang selama ini konsisten mengadvokasi kasus-kasus pertanahan di Jakarta, menyoroti bahwa Pasal 167 KUHP sesungguhnya tidak mengatur secara spesifik mengenai penyerobotan tanah. Pasal ini lebih tepat diterapkan untuk perbuatan memasuki rumah, ruangan, atau pekarangan tertutup milik orang lain tanpa izin, bukan untuk kasus penguasaan atau pengambilalihan tanah secara melawan hukum.
Padahal, di lapangan, banyak kasus penyerobotan tanah justru melibatkan penggeseran batas tanah, pencabutan patok, atau penguasaan fisik secara sepihak, yang secara sosial dan ekonomi menimbulkan kerugian besar bagi pemilik sah.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Pasal 167 KUHP: Antara Norma Umum dan Ketidakcukupan Substansi
Pasal 167 KUHP menegaskan larangan bagi siapa pun yang masuk ke dalam rumah atau pekarangan tertutup milik orang lain tanpa izin, serta tidak segera pergi setelah diminta oleh pemiliknya. Unsur tindak pidananya meliputi:
1. Masuk secara melawan hukum, baik dengan cara memaksa, membongkar, atau menyelinap;
2. Tidak segera pergi setelah diminta oleh pemilik atau wakil yang berhak.
Sanksinya pun relatif ringan – pidana penjara paling lama sembilan bulan atau denda maksimal Rp4,5 juta. Bahkan jika dilakukan dengan ancaman atau oleh beberapa orang sekaligus, hukuman hanya bisa diperberat hingga satu tahun empat bulan.
Dengan demikian, Pasal 167 KUHP hanya menyentuh aspek “fisik” dari perbuatan memasuki pekarangan, bukan aspek kepemilikan atau hak atas tanah itu sendiri.
Pasal 385 KUHP: Jalan yang Lebih Relevan, Namun Masih Terbatas
Dalam konteks penyerobotan tanah, Pasal 385 KUHP tentang penggelapan hak atas barang tidak bergerak kerap dianggap lebih sesuai. Pasal ini menjerat pelaku yang secara sengaja menguasai atau memperjualbelikan tanah milik orang lain dengan tipu daya atau tanpa hak.
Namun, implementasinya tidak mudah. Pembuktian unsur “niat jahat” dan “penggelapan hak” seringkali rumit di lapangan, apalagi jika sengketa sudah bercampur dengan persoalan administrasi pertanahan, seperti sertifikat ganda, kesalahan ukur, atau lemahnya sistem pengawasan Badan Pertanahan Nasional (BPN).
Pasal 167 KUHP: Antara Perlindungan Rumah dan Ketidakjelasan terhadap Penyerobotan Tanah
Di tengah meningkatnya konflik agraria dan persoalan penguasaan tanah tanpa hak, masyarakat sering mendengar istilah “penyerobotan tanah”. Namun, secara hukum positif, istilah ini tidak serta-merta dijabarkan secara tegas dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
Salah satu pasal yang kerap disinggung dalam konteks ini adalah Pasal 167 KUHP, yang mengatur mengenai tindakan memasuki rumah, ruangan, atau pekarangan orang lain tanpa izin.
Namun, benarkah pasal ini cukup kuat untuk melindungi hak atas tanah warga dari praktik penyerobotan yang marak terjadi?
Bunyi Lengkap Pasal 167 KUHP
1. Barangsiapa dengan melawan hak orang lain masuk dengan memaksa ke dalam rumah atau ruangan yang tertutup atau pekarangan, yang dipakai oleh orang lain, atau sedang ada di situ dengan tidak ada haknya, tidak dengan segera pergi dari tempat itu atas permintaan orang yang berhak atau atas nama orang yang berhak, dihukum penjara selama-lamanya sembilan bulan atau denda sebanyak-banyak Rp4.500.
2. Barangsiapa masuk dengan memecah atau memanjat, memakai kunci palsu, perintah palsu atau pakaian dinas palsu, atau barangsiapa dengan tidak sepengetahuan yang berhak dan bukan karena kekeliruan, masuk ke tempat yang disebut tadi dan kedapatan di sana pada waktu malam, dianggap sebagai sudah masuk dengan memaksa.
3. Jika ia mengeluarkan ancaman atau memakai daya upaya yang dapat menakutkan, maka dihukum penjara selama-lamanya satu tahun empat bulan.
4. Hukuman sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan (3) dapat ditambah sepertiganya, jika kejahatan tersebut dilakukan oleh dua orang atau lebih secara bersama-sama, (K.U.H.P. 88, 168, 235, 363, 365, 429).
Makna Sosial dan Filosofis di Balik Pasal 167 KUHP
Pasal 167 KUHP sejatinya disusun untuk melindungi ketenteraman dan hak privasi pemilik rumah atau pekarangan, bukan secara spesifik untuk melindungi hak kepemilikan tanah dari segi hukum agraria.
Norma ini muncul sebagai upaya negara dalam menjaga rasa aman dan kedamaian sosial, di mana tindakan memasuki rumah orang lain tanpa izin dianggap sebagai perbuatan tidak sopan dan berpotensi memicu kejahatan.
Namun dalam konteks kekinian, di mana konflik tanah seringkali disertai perebutan fisik dan penguasaan lahan, pasal ini terasa terlalu sempit. Ia hanya menyentuh “permukaan” pelanggaran, tanpa menyentuh substansi hak kepemilikan atau penguasaan tanah yang lebih dalam.
Keterbatasan Pasal 167 KUHP dalam Kasus Penyerobotan Tanah
Dari sisi hukum agraria, penyerobotan tanah bukan sekadar soal masuk ke pekarangan tanpa izin, tetapi juga menguasai, menggunakan, atau bahkan mengklaim tanah orang lain tanpa dasar hukum yang sah.
Artinya, meskipun seseorang dapat dijerat dengan Pasal 167 KUHP karena memasuki pekarangan tanpa izin, substansi pelanggaran terhadap hak kepemilikan tanah tidak tersentuh sepenuhnya.
Dalam hal ini, Pasal 385 KUHP – tentang penggelapan hak atas barang tidak bergerak (tanah) – justru lebih relevan karena menyasar pada aspek penipuan, penguasaan ilegal, atau pemindahtanganan tanah tanpa hak.
Namun sayangnya, penegakan Pasal 385 KUHP di lapangan masih lemah akibat tumpang tindih regulasi, kesulitan pembuktian niat jahat (mens rea), dan lemahnya administrasi pertanahan nasional.
Menelisik Unsur “Huisvredebreuk”: Ketika Perlindungan Rumah Tidak Selalu Melindungi Hak Atas Tanah
Dalam kajian hukum pidana klasik, Pasal 167 KUHP dikenal sebagai pasal tentang huisvredebreuk – yang secara harfiah berarti “pelanggaran terhadap kedamaian rumah tangga”.
Istilah ini mungkin terdengar sederhana, namun di baliknya tersimpan dimensi hukum dan sosial yang kompleks, terutama ketika dikaitkan dengan kasus penyerobotan tanah yang masih menjadi luka terbuka dalam sistem agraria Indonesia.
Menurut R. Soesilo, salah satu pakar hukum pidana Indonesia, pasal ini sesungguhnya tidak dirancang untuk mengatur konflik pertanahan secara langsung, tetapi untuk melindungi hak privat seseorang atas rumah dan pekarangannya dari gangguan pihak lain.
Meski demikian, di lapangan, pasal ini sering ditarik-tarik untuk dijadikan dasar hukum dalam kasus penguasaan tanah secara ilegal – suatu praktik yang menunjukkan adanya tumpang tindih penegakan hukum antara ranah pidana dan agraria.
Unsur-Unsurnya: Antara Niat dan Perbuatan
R. Soesilo membagi unsur dalam Pasal 167 KUHP menjadi dua aspek penting: unsur subjektif dan unsur objektif.
1. Unsur Subjektif – Unsur Kesengajaan (Dolus)
Unsur ini berkaitan dengan niat pelaku.
Meskipun dalam teks pasal tidak disebutkan secara eksplisit kata “sengaja”, hukum menafsirkan bahwa tindakan memasuki rumah atau pekarangan orang lain harus dilakukan dengan kesengajaan.
Artinya, pelaku mengetahui bahwa tempat tersebut bukan miliknya, namun tetap memilih untuk memasukinya tanpa hak.
Jika unsur “sengaja” ini tidak dapat dibuktikan – misalnya karena pelaku salah alamat, tidak sadar batas kepemilikan, atau tidak ada niat melawan hukum – maka pasal ini tidak dapat diterapkan.
Hal ini menegaskan bahwa hukum pidana tidak cukup menilai akibat semata, tetapi juga motif batin dan kesadaran hukum pelaku.
2. Unsur Objektif – Perbuatan Melawan Hukum
Unsur objektif menyangkut tindakan nyata yang dilakukan. Dalam konteks Pasal 167, unsur ini mencakup:
Perbuatan memasuki rumah, ruangan, atau pekarangan milik orang lain;
Dilakukan dengan cara melawan hukum;
Disertai unsur paksaan.
Unsur “paksaan” di sini merupakan elemen mutlak.
Jika seseorang masuk ke rumah atau pekarangan tanpa izin tetapi tanpa unsur kekerasan, ancaman, atau tipu daya, maka perbuatan tersebut tidak memenuhi unsur pidana dari Pasal 167 KUHP.
Namun, unsur paksaan tidak harus berupa kekerasan fisik saja.
Ia juga dapat diwujudkan dalam bentuk ancaman psikologis – misalnya mengacungkan senjata, memaksa dengan tekanan, atau memanipulasi situasi agar pemilik tidak berdaya.
Hukum yang Gagal Menyentuh Akar Masalah Penyerobotan Tanah
Persoalannya muncul ketika pasal yang seharusnya melindungi privasi rumah tangga digunakan untuk menjerat pelaku penyerobotan tanah. Secara yuridis, ini menunjukkan ketidaktepatan norma (mismatch of norms).
Sebab, penyerobotan tanah tidak selalu melibatkan unsur “memasuki rumah dengan paksaan”, melainkan lebih luas – mencakup penguasaan lahan tanpa hak, pemindahan patok, atau penggunaan tanah yang sudah bersertifikat milik orang lain.
Artinya, Pasal 167 KUHP hanya menyentuh aspek permukaan dari perbuatan penyerobotan, sementara substansi pelanggaran terhadap hak kepemilikan tanah (hak milik, hak guna, atau hak pakai) justru luput.
Dalam praktik penegakan hukum, hal ini sering menyebabkan kriminalisasi sepihak atau ketidakpastian hukum, terutama ketika konflik tanah melibatkan pihak yang secara administratif lemah – seperti petani kecil atau warga yang belum memiliki sertifikat resmi meskipun menguasai tanah secara turun-temurun.
Hukum Pidana Harus Menyatu dengan Kebijakan Agraria
Kasus-kasus agraria tidak bisa hanya dilihat dari kacamata pidana klasik yang menilai niat dan perbuatan semata.
Perlu pendekatan studi kebijakan hukum yang integratif, di mana hukum pidana, perdata, dan administrasi pertanahan berjalan seimbang.
Kelemahan dalam Pasal 167 KUHP justru membuka ruang bagi reformasi hukum agraria yang lebih humanis dan kontekstual.
Negara perlu meninjau ulang pasal-pasal lama yang tidak lagi relevan dengan dinamika kepemilikan tanah modern, serta memastikan bahwa setiap instrumen hukum berpihak pada keadilan substantif, bukan sekadar legalitas formal.
Saatnya Meninjau Ulang “Kebebasan Rumah Tangga” dalam Makna yang Lebih Luas
Pasal 167 KUHP memang menjaga kedamaian rumah dan pekarangan, tetapi belum sepenuhnya mampu menjaga “rumah besar” bernama tanah air.
Di tengah meningkatnya ketimpangan penguasaan tanah dan konflik agraria, hukum pidana seharusnya tidak hanya melindungi dinding rumah, tetapi juga melindungi ruang hidup rakyat.
Keadilan agraria sejati tidak lahir dari teks pasal semata, melainkan dari keberanian negara memperbarui hukum agar berpihak pada manusia, bukan sekadar pada kepemilikan.
Arthur Noija SH

















