Jakarta, Majalahjakarta.com – Di saat banyak politisi menunggu panggilan reshuffle, Mahfud MD justru memilih menjauh dari lingkar kekuasaan. Ia menolak jabatan bukan karena tidak mampu, melainkan karena masih percaya bahwa kekuasaan bukan hadiah bagi yang kalah dalam pertarungan politik. Di tengah budaya politik yang sering menjadikan kekuasaan sebagai panggung bagi kompromi, sikap ini terasa seperti embun di musim kemarau.
Mahfud MD, dalam wawancara dengan Tempo (16 Oktober 2025), menyatakan dirinya memang sempat ditawari posisi Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan di kabinet baru Presiden Prabowo Subianto. Namun ia menolak dengan alasan yang sederhana sekaligus bermakna: “Menurut standar etis saya, yang duduk di pemerintahan sebaiknya mereka yang memenangi pertarungan politik. Saya ikut bertarung dan kalah, jadi tidak pantas.” Sebuah kalimat yang ringan diucapkan, tapi berat dijalankan oleh kebanyakan politisi.
Keputusan itu langsung memantik percakapan publik. Di tengah praktik politik yang sering kali mengaburkan batas antara kekuasaan dan kepantasan, Mahfud menegaskan garis moralnya sendiri. Ia menunjukkan bahwa kekalahan tidak selalu harus ditebus dengan kursi baru. Ia memilih menjadi pengingat bahwa kalah dalam pemilihan bukan berarti kalah dalam martabat. Dalam percakapan dengan Kompas (17 Oktober 2025), Mahfud menambahkan bahwa dirinya lebih siap membantu dalam kapasitas nonstruktural, seperti menjadi penasihat reformasi kepolisian posisi yang tidak mengikat, sementara, dan tidak politis. “Itu pun belum pasti, mungkin hanya sebulan atau dua bulan,” ujarnya ringan.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Sikap semacam ini bukan hal baru bagi Mahfud. Pada 2014, ketika Joko Widodo dan Jusuf Kalla memenangkan pemilihan presiden, ia juga menolak ajakan bergabung dengan kabinet. Alasannya sama: integritas. Ia merasa tak elok menerima jabatan dari pihak yang dulu menjadi lawan dalam kontestasi. Catatan Detik.com (18 Oktober 2025) mengingatkan bahwa pada tahun itu Mahfud adalah Ketua Tim Pemenangan Prabowo-Hatta. Ia tidak pernah memanfaatkan kedekatan itu untuk menegosiasikan kursi kekuasaan. Sebuah konsistensi yang langka di republik yang sering lupa batas antara politik dan pragmatisme.
Dalam banyak hal, Mahfud adalah figur yang menegaskan bahwa politik tak harus membatalkan nurani. Ia adalah cendekiawan hukum yang lebih percaya pada integritas ketimbang jabatan. Keputusan untuk mundur dari kekuasaan bukan bentuk kelemahan, melainkan cara untuk tetap berjarak dari jebakan loyalitas semu. “Lebih pas Pak Mahfud di luar,” tulis kolumnis Tempo dalam analisis mingguan mereka (18 Oktober 2025). “Dari luar, suaranya lebih nyaring dan berani.” Pandangan itu tidak keliru: Mahfud dari luar kekuasaan justru lebih bebas menjadi korektor moral, tanpa beban partai, tanpa belenggu jabatan.
Di sisi lain, Presiden Prabowo tampaknya memahami posisi itu. Ia tahu Mahfud adalah sosok yang lebih berguna sebagai penjaga nurani demokrasi ketimbang sebagai penghias kabinet. Dalam wawancara singkat dengan Kompas TV (17 Oktober 2025), Prabowo menyebut Mahfud sebagai “seorang negarawan sejati” yang “selalu bekerja dengan prinsip.” Pernyataan itu bukan basa-basi politik; melainkan pengakuan bahwa etika memang masih punya tempat, meski kecil, di antara gemuruh kepentingan.
Jika ditarik lebih jauh, keputusan Mahfud menolak jabatan bisa dibaca sebagai kritik senyap terhadap budaya kekuasaan kita. Di negeri ini, jabatan sering dianggap alat penghiburan bagi yang kalah atau hadiah bagi yang setia. Mahfud menolak keduanya. Ia memilih menjaga jarak dari sistem yang sering menukar idealisme dengan pragmatisme. Dalam pengertian itu, Mahfud bukan sekadar menolak jabatan ia sedang mengajarkan publik tentang batas antara legitimasi dan loyalitas.
Lebih jauh lagi, sikap ini menegaskan kembali salah satu pelajaran penting dalam demokrasi: bahwa etika tidak berakhir di bilik suara. Kalah dalam pemilu tidak membuat seseorang kehilangan hak moral untuk berbicara. Justru di situlah ujian sesungguhnya: mampu tetap berintegritas meski tidak berkuasa. Mahfud telah membuktikan hal itu berulang kali. Seperti catatan Kompas.id (18 Oktober 2025), selama menjabat Menko Polhukam, ia dikenal berani bersuara keras tentang reformasi hukum, pembenahan kepolisian, dan pembersihan korupsi—bahkan ketika itu berarti berseberangan dengan rekan satu kabinet.
Kini, ketika memilih “pensiun” dari jabatan publik, Mahfud justru tampak lebih tenang. Dalam wawancara dengan Tempo (16 Oktober 2025), ia berkata, “Saya ingin mengajar, menulis, dan berbicara di ruang publik.” Sebuah kalimat sederhana yang sarat makna: Mahfud tidak meninggalkan republik, ia hanya berpindah arena perjuangan. Dari ruang rapat kabinet ke ruang kelas, dari meja sidang ke mimbar akademik. Ia tetap melayani negeri, tapi dengan cara yang lebih sunyi dan jujur.
Sikap seperti ini barangkali tampak kuno di tengah politik transaksional. Namun justru di situ letak nilainya. Mahfud menegaskan bahwa kejujuran masih mungkin hidup dalam sistem yang sibuk menukar etika dengan jabatan. Ia tidak sedang menolak kekuasaan, ia sedang menolak kehilangan diri. Dan dalam setiap demokrasi yang sehat, orang-orang seperti Mahfud adalah pengingat: bahwa kemuliaan jabatan tidak ditentukan oleh kursi yang diduduki, melainkan oleh cara seseorang tahu kapan harus berdiri dan pergi.
Dwi Taufan Hidayat

















