Jakarta, Majalahjakarta.com – Ketika pemulihan kerugian negara berhenti di panggung konferensi pers
Setiap kali aparat penegak hukum mengumumkan penyitaan rumah mewah milik tersangka korupsi, rakyat menaruh harapan: uang negara akan kembali, keadilan ditegakkan, dan kerugian publik dipulihkan. Namun setelah gemuruh berita mereda, publik kembali bertanya dengan nada getir ke mana sebenarnya hasil sitaan itu mengalir?
Baru-baru ini, Kejaksaan Agung (Kejagung) melakukan penyitaan terhadap sebuah rumah mewah di kawasan Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, yang diduga milik tersangka Mohammad Riza Chalid (MRC) dalam perkara dugaan korupsi tata kelola minyak mentah dan tindak pidana pencucian uang (TPPU). Menurut laporan Detik.com edisi 18 Oktober 2025, penyitaan dilakukan oleh Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) terhadap satu bidang tanah dan bangunan di Jalan Hang Lekir XI Blok H/2, Kebayoran Baru, seluas 557 meter persegi. Rumah tersebut tercatat atas nama Kanesa Ilona Riza, anak dari tersangka MRC.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Langkah penyitaan ini patut diapresiasi sebagai bagian dari proses penegakan hukum dan upaya pemulihan kerugian negara. Namun, di balik tindakan hukum tersebut, publik kembali menghadapi tanda tanya lama: ke mana sebenarnya hasil sitaan-sitaan besar ini bermuara? Mengapa tidak pernah ada laporan terbuka yang menjelaskan berapa nilai total aset yang sudah berhasil disita, dilelang, dan dikembalikan ke kas negara?
Pertanyaan ini menggema luas di ruang publik, terutama setelah mantan pejabat kepolisian Susno Duadji menulis di platform X (Twitter) pada 18 Oktober 2025:
“Rakyat bertanya ke mana ya uang sitaan hasil tindak pidana yang jumlahnya sudah triliun?”
Kalimat sederhana itu mewakili keresahan kolektif: bahwa transparansi pasca-penyitaan masih sebatas janji.
Kasus Riza Chalid bukan peristiwa tunggal. Dalam laporan Kompas.com tanggal 19 Oktober 2025, penyitaan rumah di Kebayoran Baru menambah daftar panjang aset MRC yang telah diamankan Kejagung, termasuk sebuah rumah mewah di Bogor yang berdiri di atas lahan seluas sekitar 6.500 meter persegi. Juru Bicara Kejagung Anang Supriatna menyatakan bahwa seluruh aset tersebut “diduga merupakan hasil dan/atau sarana kejahatan” dan akan dijadikan barang bukti dalam perkara TPPU.
Namun daftar aset yang disita tidak serta-merta menjawab pertanyaan publik. Kapan aset-aset itu dilelang? Berapa hasilnya? Ke mana dana hasil lelang disalurkan? Dalam laporan Tempo.co edisi 20 Oktober 2025, beberapa sumber internal Kejagung menyebut bahwa proses lelang dan pencairan hasil sitaan “membutuhkan waktu lama” karena harus melalui verifikasi hukum dan audit internal. Tapi bagi publik, alasan administratif bukan jawaban, melainkan kabut yang menutupi kejelasan.
Sebagai warga yang mengikuti pemberantasan korupsi, saya melihat pola yang terus berulang. Kasus diumumkan besar-besaran, angka kerugian negara mencapai triliunan rupiah, aset mewah disita, namun kemudian berita perlahan meredup tanpa penjelasan lanjutan. Rakyat hanya mendengar jargon “pemulihan kerugian negara”, tetapi tidak pernah melihat hasil konkret. Seolah penegakan hukum berhenti di tengah jalan seperti teater panjang tanpa babak penutup.
Analisis CNN Indonesia tanggal 19 Oktober 2025 memperkuat pandangan ini. Sejumlah pakar hukum tata negara menilai bahwa “transparansi publik dalam pengelolaan uang sitaan tindak pidana belum menjadi prioritas lembaga penegak hukum di Indonesia.” Memang benar, laporan tahunan Kejagung mencantumkan data sitaan, tetapi tidak dalam format yang mudah diakses publik atau diverifikasi secara independen.
Pertanyaan publik yang berulang juga muncul dalam kasus-kasus besar lain seperti Asabri, Jiwasraya, hingga BTS Kominfo. Setiap kali ada pengumuman penyitaan triliunan rupiah, publik langsung bertanya hal serupa: “Berapa yang benar-benar kembali ke negara?” Sayangnya, pertanyaan itu lebih sering dijawab dengan diam.
Tak heran bila muncul sinisme seperti unggahan foto viral di media sosial yang bertuliskan,
“Pakar hukum aja bingung, apalagi kami rakyat kecil.”
Kutipan ini terdengar jenaka, tetapi sesungguhnya getir. Ia adalah potret kelelahan publik terhadap sistem hukum yang menuntut kepercayaan tanpa memberikan bukti.
Dalam laporan CNBC Indonesia tanggal 18 Oktober 2025, disebutkan bahwa total nilai aset sitaan dan pemulihan kerugian negara dari seluruh kasus korupsi sepanjang tahun 2025 mencapai lebih dari Rp 42 triliun. Angka ini tampak besar, namun data tersebut bersifat agregat tanpa rincian kasus per kasus. Padahal publik berhak tahu berapa nilai yang berasal dari setiap perkara, termasuk kasus Riza Chalid.
Tanpa transparansi detail, kepercayaan publik terhadap lembaga penegak hukum sulit tumbuh. Rakyat butuh melihat hasil nyata, bukan sekadar angka di layar televisi. Andaikan Kejagung atau Kementerian Keuangan memublikasikan laporan tahunan terbuka yang mencantumkan daftar aset yang disita, nilai lelang, tanggal setoran ke kas negara, dan peruntukan dana tersebut, maka citra lembaga hukum akan meningkat secara drastis.
Tulisan opini di Republika.co.id tanggal 20 Oktober 2025 bahkan menyebut langkah Kejagung ini sebagai momentum penting untuk memperkuat akuntabilitas publik. Namun tanpa komunikasi yang jujur dan terbuka, keberhasilan teknis seperti penyitaan aset hanya tampak sebagai “pencitraan hukum” indah di permukaan, tapi belum menyentuh akar persoalan: ketidakjelasan pengelolaan hasil sitaan.
Rakyat sejatinya mendukung penuh langkah penyitaan aset koruptor. Dukungan itu tampak di kolom-kolom komentar media sosial:
“Lanjutkan, Kejagung! Sita semua yang bisa disita, bantu pemulihan ekonomi rakyat!”
Namun dukungan ini bisa cepat memudar jika tidak diimbangi dengan transparansi dan akuntabilitas. Sebab bagi masyarakat, penyitaan bukan sekadar tindakan hukum, melainkan simbol pengembalian keadilan.
Kritik paling tajam sesungguhnya sederhana: lembaga penegak hukum jangan berhenti di panggung konferensi pers. Setelah menyita, laporkan. Setelah melelang, umumkan. Setelah uang masuk ke kas negara, buka datanya untuk publik. Karena keadilan tidak hanya tentang menghukum pelaku, tetapi juga mengembalikan hak masyarakat yang dirampas oleh korupsi.
Jika transparansi tidak dibangun, maka pemberantasan korupsi hanya akan menjadi pertunjukan mahal yang kehilangan maknanya. Dan ketika rakyat sudah tidak lagi percaya bahwa aset sitaan benar-benar kembali untuk kesejahteraan mereka, maka semua jargon “penegakan hukum tanpa pandang bulu” tinggal retorika kosong.
Kasus Riza Chalid seharusnya menjadi momentum pembenahan sistem pengelolaan aset sitaan. Kejaksaan sudah melangkah di jalur yang benar melalui penyitaan. Kini tinggal satu langkah penting lagi: membuka secara jujur dan periodik ke publik ke mana hasilnya disalurkan. Karena transparansi bukan sekadar tuntutan rakyat, melainkan fondasi kepercayaan yang menentukan masa depan penegakan hukum di negeri ini. (Dwi TH)

















