Wacana membuka peluang warga negara asing menjadi pimpinan Badan Usaha Milik Negara memicu perdebatan antara pragmatisme ekonomi dan kedaulatan nasional. Ketua MPR Ahmad Muzani memberi lampu hijau bersyarat asalkan sesuai aturan. Namun respons yang tampak santun itu menyembunyikan pertanyaan besar tentang akuntabilitas, konflik kepentingan, dan bagaimana negara menjaga kepentingan publik ketika eksekutif memilih buka pintu pada ekspatriat di era modern.
Jakarta, Majalahjakarta.com – Pernyataan Ketua MPR Ahmad Muzani yang menyatakan tidak mempermasalahkan WNA menduduki posisi pimpinan BUMN asalkan “sejauh peraturannya memungkinkan” tampak sebagai kalimat netral yang menenangkan. (ANTARA News, 17 Oktober 2025).
Kalimat ini menempatkan seluruh persoalan pada ranah hukum positif, seolah semua masalah akan hilang jika sekadar ada payung aturan. Realitas birokrasi dan politik di lapangan, bagaimanapun, jarang sebersih itu; aturan bisa dirancang, ditafsirkan, atau bahkan dilonggarkan sesuai kepentingan aktor yang berkuasa.
Respons Muzani yang dikutip media seperti tvOne dan Suara.com memperkuat kesan bahwa institusi tinggi negara memberi ruang bagi kebijakan eksekutif selama formalitas ditepati. (tvOne, 18 Oktober 2025; Suara.com, 17 Oktober 2025).
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Tetapi kata “sesuai aturan” sering kali menjadi tameng retoris. Ketika aturan berubah lewat Perpres atau regulasi teknis yang diinisiasi oleh eksekutif, unsur checks and balances yang semestinya menjaga kepentingan publik mudah tergerus. Maka pertanyaan etis bukan sekadar apakah ada aturan tetapi siapa yang menulis aturan dan untuk kepentingan siapa aturan itu dibuat.
Argumen ekonomis yang biasa dilontarkan pendukung pembukaan posisi penting di korporasi milik negara adalah soal kompetensi global dan kebutuhan meningkatkan daya saing BUMN. Warta Ekonomi dan beberapa media ekonomi mengulang logika ini, menyebut potensi akses ke modal, manajemen kelas dunia, dan transfer teknologi. (Warta Ekonomi, 17 Oktober 2025).
Tidak ada yang salah dengan mencari kompetensi terbaik. Masalah muncul ketika “kompetensi” dipakai sebagai kata kunci untuk menjustifikasi penunjukan tanpa mekanisme transparan, tanpa batasan konflik kepentingan, dan tanpa jaminan bahwa prioritas publik tetap menjadi fokus utama perusahaan negara.
Kritik paling tajam datang dari sisi akuntabilitas dan kedaulatan ekonomi. Media massa seperti GenPI menyoroti pentingnya memastikan bahwa penempatan ekspatriat tidak menjadi celah bagi pengambilalihan kepengurusan yang membawa risiko subordinasi kepentingan nasional terhadap kepentingan asing. (GenPI, 18 Oktober 2025).
Pertanyaan kunci: bagaimana mekanisme pengawasan berjalan jika direksi bukan warga negara Indonesia? Siapa yang bertanggung jawab secara politik dan hukum ketika keputusan strategis BUMN merugikan publik, sementara pemimpin perusahaan tidak memiliki kewarganegaraan yang sama dengan pemiliknya, yaitu rakyat Indonesia?
Ada pula dimensi politik yang jarang dibahas secara gamblang: legitimasi. Muzani sebagai Ketua MPR memahami bahwa politik formal menuntut legitimasi prosedural. Namun legitimasi substantif kepercayaan publik bahwa keputusan melindungi kepentingan nasional tidak otomatis muncul hanya karena aturan dipenuhi. (ANTARA News, 17 Oktober 2025).
Jika publik mencurigai bahwa pembukaan posisi untuk ekspatriat lahir dari kebutuhan kelompok tertentu atau untuk memperkuat jaringan internasional yang berafiliasi dengan elite tertentu, maka legitimasi itu runtuh. Publik tidak melihat hukum semata; publik menilai motif dan hasil.
Solusi pragmatis ada namun menuntut kebijakan yang ketat. Pertama, setiap penunjukan ekspatriat harus melalui mekanisme seleksi terbuka yang dipublikasikan lengkap dengan kriteria kompetensi dan manajemen konflik kepentingan. Kedua, kontrak kerja pimpinan asing harus memuat klausul akuntabilitas yang meliputi kewajiban hukum, sanksi pidana atau perdata bila merugikan negara, serta klausul masa tugas yang jelas. Ketiga, peran dewan pengawas dan kementerian terkait perlu diperkuat untuk memastikan keputusan strategis sejalan dengan roadmap nasional. (tvOne, 18 Oktober 2025).
Kita juga tidak boleh mengabaikan pengalaman internasional: beberapa negara membuka pintu untuk manajer asing tanpa mengunci kepemilikan strategis atau kontrol kebijakan. Model pembagian peran ini bisa dipelajari, tetapi harus diaplikasikan dengan kesadaran penuh bahwa BUMN bukan perusahaan privat biasa; mereka menanggung misi publik yang melekat. Jika negara memilih buka pintu, ia berkewajiban memasang pagar pembatas kuat agar kepentingan rakyat tidak dijual murah. (Suara.com, 17 Oktober 2025).
Penutup sinis namun realistis: ketika pejabat tinggi menyatakan “tidak masalah asal sesuai aturan” itu bisa berarti dua hal sekaligus atau lebih. Bisa berarti kesiapan negara menerima kompetensi global secara bertanggung jawab. Atau bisa juga menjadi isyarat bahwa celah regulasi akan segera ditambal dengan perpres yang memudahkan penguasa memilih siapa yang mereka butuhkan. Akhirnya pilihan ada pada publik dan lembaga pengawas: apakah akan membiarkan kata “aturan” jadi satu-satunya jaminan, atau menuntut aturan yang kuat, transparan, dan berpihak pada kepentingan rakyat? (ANTARA News, 17 Oktober 2025).
Sumber foto: kompas.com
Dwi TH

















