Jakarta, Majalahjakarta.com – Fenomena yang mencuat di wilayah Kelurahan Johar Baru, Jakarta Pusat, tepatnya di RW 10/RT 13, kembali menyingkap sisi buram pengelolaan aset sosial di tingkat akar rumput. Berdasarkan temuan lapangan dan hasil wawancara Tim Investigasi Dewan Pimpinan Pusat Perkumpulan Peduli Nusantara Tunggal, diketahui adanya pihak tertentu yang menduduki tanah milik yayasan secara sepihak, tanpa dasar hukum yang sah, dan bahkan tidak tercatat sebagai warga kelurahan maupun bagian dari pengurus atau karyawan yayasan.
Peristiwa ini bukan sekadar sengketa lahan biasa. Ia adalah cermin lemahnya kepatuhan hukum dan tata kelola sosial di wilayah perkotaan, terutama menyangkut aset yang memiliki fungsi sosial dan kemanusiaan.
Aset Yayasan Bukan Milik Pribadi
Dalam konteks hukum, aset yayasan-termasuk tanah dan bangunannya-merupakan kekayaan yang dipisahkan dari pendiri, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 jo. UU Nomor 28 Tahun 2004 tentang Yayasan.
Aset tersebut tidak boleh dialihkan, diambil, atau digunakan untuk kepentingan pribadi, karena ia memiliki tujuan sosial, keagamaan, dan kemanusiaan yang dilindungi undang-undang. Dengan demikian, setiap tindakan menduduki atau menguasai aset yayasan tanpa hak merupakan bentuk perbuatan melawan hukum (PMH) sebagaimana diatur dalam Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer).
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Lebih jauh, penguasaan tanpa izin terhadap tanah yang sah milik badan hukum dapat berimplikasi pidana, termasuk pelanggaran terhadap Pasal 385 KUHP tentang penguasaan lahan tanpa hak dan Pasal 167 KUHP tentang memasuki pekarangan orang lain tanpa izin.
Fenomena seperti ini kerap terjadi bukan hanya karena ketidaktahuan masyarakat akan hukum, tetapi juga akibat kelambanan negara dalam melakukan pengawasan dan penegakan hukum di level lokal.
Yayasan, yang sejatinya merupakan lembaga nirlaba berperan sosial, seringkali tidak memiliki perlindungan efektif terhadap asetnya, terutama ketika aset tersebut berada di wilayah padat penduduk dengan tingkat konflik kepemilikan tinggi.
Ketika Tanah Yayasan Dirusak oleh Ketidaktahuan:
Pendudukan tanah milik yayasan oleh pihak yang bukan pengurus, pembina, atau bagian dari lembaga tersebut kini menjadi potret ironis lemahnya penegakan hukum atas aset sosial di Indonesia.
Kasus-kasus serupa marak muncul di berbagai daerah – dari Jakarta hingga kota-kota satelit – menunjukkan bahwa kepemilikan sosial sering kali lebih mudah dirampas dibandingkan kepemilikan pribadi. Ironis, bukan?
Padahal secara hukum, posisi yayasan sangat jelas dan tegas: ia adalah badan hukum yang kekayaannya dipisahkan dari pendirinya, dan diperuntukkan untuk mencapai tujuan sosial, keagamaan, atau kemanusiaan.
Namun di lapangan, fakta menunjukkan, aset yayasan kerap menjadi sasaran empuk bagi pihak-pihak yang “bermain abu-abu” di antara celah hukum dan pembiaran aparat.
Dasar Hukum yang Terlupakan: Yayasan Bukan Warisan Pribadi
Menurut Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 jo. UU Nomor 28 Tahun 2004 tentang Yayasan, secara eksplisit ditegaskan bahwa:
1. Yayasan adalah badan hukum yang kekayaannya dipisahkan dan diperuntukkan untuk mencapai tujuan tertentu.
2. Yayasan tidak memiliki anggota, melainkan pengurus, pembina, dan pengawas yang bertanggung jawab terhadap keberlangsungan misi sosial lembaga.
Artinya, ketika ada pihak yang menduduki atau menguasai tanah milik yayasan tanpa dasar hukum yang sah, tindakan tersebut secara otomatis merupakan pelanggaran terhadap hak kepemilikan badan hukum.
Itu bukan sekadar “konflik warga”, melainkan pelanggaran terhadap hukum positif Indonesia.
Pelanggaran terhadap Hak Kepemilikan: Dari Perdata hingga Pidana
Pelanggaran atas hak kepemilikan yayasan dapat menimbulkan konsekuensi hukum berlapis – baik perdata maupun pidana.
Dalam perspektif hukum perdata, tindakan menduduki tanah yayasan tanpa hak dapat dikualifikasikan sebagai perbuatan melawan hukum (PMH) sebagaimana diatur dalam Pasal 1365 KUHPer.
Sedangkan dari sisi pidana, hal ini dapat dijerat melalui Pasal 385 KUHP (penguasaan lahan tanpa hak) atau bahkan Pasal 167 KUHP (memasuki pekarangan tanpa izin).
Dengan kata lain, pendudukan semacam ini tidak bisa dianggap remeh atau sekadar urusan administratif kelurahan. Ia adalah tindak pidana yang menggerogoti fondasi keadilan sosial dan etika publik.
Pengurusan Aset Yayasan: Antara Tanggung Jawab dan Kerapuhan Hukum
Pengelolaan aset yayasan wajib dilakukan sesuai Anggaran Dasar dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Apabila pengurus lalai atau bahkan berkolusi dengan pihak luar hingga menimbulkan kerugian bagi yayasan, maka pengurus dapat dimintai pertanggungjawaban secara pribadi.
Hal ini ditegaskan dalam Pasal 35 dan 37 UU Yayasan, yang memuat prinsip fiduciary duty-yakni tanggung jawab moral dan hukum untuk bertindak demi kepentingan yayasan, bukan individu.
Namun realitas di lapangan berkata lain.
Banyak pengurus yayasan tidak memiliki kapasitas hukum memadai, sementara lembaga pengawasan pemerintah daerah cenderung pasif, menjadikan aset sosial seperti tanah dan bangunan rentan diserobot atau dimanipulasi oleh pihak yang lebih kuat secara sosial maupun ekonomi.
Konsekuensi Hukum dan Jalan Tindakan
Kasus seperti ini bukan hanya menuntut kesadaran hukum, tetapi juga tindakan konkret yang berbasis regulasi.
1. Tuntutan Perdata
Yayasan dapat mengajukan gugatan pengosongan tanah dan ganti rugi atas segala kerugian yang timbul akibat pendudukan ilegal. Pengadilan Negeri menjadi ruang legal bagi pemulihan hak kepemilikan badan hukum.
2. Tuntutan Pidana
Jika ditemukan unsur kesengajaan dan itikad buruk, pelaku dapat dijerat dengan pasal penggelapan atau perampasan hak, dan dalam kasus tertentu bisa dikenakan pasal berlapis, termasuk penyerobotan lahan serta pemalsuan dokumen kepemilikan.
3. Laporan Resmi ke Aparat dan Dinas Terkait
Laporan kepada Kepolisian, Badan Pertanahan Nasional (BPN), dan Kementerian Hukum dan HAM menjadi langkah strategis untuk memulihkan status aset dan mendorong penegakan hukum administratif dan pidana secara simultan.
Arthur Noija SH

















